Friday, August 22, 2008

Neocortical Warfare: Operasi Cuci Otak

Sudah lama pengen nulis tentang artikel ini, tapi belum sempat karena ada dua kendala, yaitu bahan2 yang ada di otak saya masih berantakan (belum terstruktur) dan juga referensi yang mendukung pemikiran saya belum ketemu.
Saya menemukan artikel ini di gatra.com
dan kebetulan hampir sama persis dengan apa yang saya pikirkan, kemudian saya copy-paste aja ke blog ini.
Kebetulan sang penulis artikel ini,
Budiono Kartohadiprodjo, adalah salah satu guru saya, maka tidak heran kalau tulisan beliau hampir sama dengan apa yang saya pikirkan.

Selamat membaca!


____________________________


Merdeka atau mati! Sejarah Indonesia mencatat, semboyan itu bukanlah omong kosong. Ia pernah muncul sebagai kesadaran kolektif yang menimbulkan kekuatan yang dahsyat. Semboyan itu lahir dari nasionalisme yang telah mengkristal sebagai persepsi umum. Nasionalisme mengobarkan perlawanan yang amat fanatik oleh mereka yang terjajah terhadap penjajah. Semangat itu pula yang melahirkan bangsa Indonesia.

Pergerakan kebangsaan Indonesia memperoleh momentum pada akhir Perang Pasifik. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pun berkumandang pada 17 Agustus 1945. Keyakinan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa tak bisa ditawar-tawar lagi. Ia tak bisa pula diintimidasi oleh kekuatan bersenjata seberapa pun besarnya. Kekuatan senjata tak efektif lagi untuk pembenaran sebuah bangsa berhak memperlakukan bangsa lain sebagai jongos dan babu.

Maka, ketika dianggap hendak merampas kemerdekaan yang telah diraih, kekuatan Inggris dan Belanda menghadapi perlawanan sengit bangsa Indonesia. Bangsa-bangsa Barat mencatat pengalaman pahit ketika vis a vis harus menghadapi semangat nasionalisme ini. Di luar Belanda, Amerika Serikat dan Prancis punya kenangan buruk di Vietnam. Rusia mencatat sejarah kelam di Afghanistan.

Tatanan dunia memang telah banyak berubah sejak 63 tahun silam, ketika bangsa ini lahir. Globalisasi yang menafikan batas-batas wilayah negara kini menjadi mantra baru. Muncul paham baru bahwa peran negara harus ditarik ke belakang, dan biarkan korporasi multinasional mengelola hubungan kepentingan bangsa. Kedaulatan negara, nasionalisme, dan kebangsaan dianggap urusan jadul, jaman dulu, yang tidak relevan.

Kita sering tersihir oleh mantra globalisasi itu, seraya melupakan nasionalisme. Kenyataan bahwa terjadi proses pemiskinan negara-negara tertentu di tengah globalisasi cukup dijelaskan bahwa itu hanya lantaran mismanajemen pembangunan. Kita menafikan pula bahwa agenda korporasi multinasional dan badan-badan dunia itu bekerja sejalan dengan kepentingan negara maju, yang sesungguhnya tidak terlalu peduli terhadap kesenjangan global dan eksploitasi bumi.

Dalam konteks inilah nasionalisme Indonesia bisa dianggap sebagai gangguan. Apa yang terjadi jika RI mengatur lalu lintas 50.000 kapal kargo dan tanker yang melintas Selat Malaka per tahun. Lalu lalang tanker di perairan ini mengangkut 10,5 juta barel minyak per hari. Sulit dibayangkan tragedi yang akan menimpa bila tanker satu juta barel bertabrakan di selat yang padat itu. Kalau saja Indonesia ini negara kuat, dengan rakyatnya yang teguh memegang nasionalisme, bisa kita paksa tanker-tanker raksasa itu melewati Selat Lombok atau Selat Sunda. Selain menghasilkan keuntungan, ini menekan risiko lingkungan.

Tindakan sepihak itu tentu akan menghadapi perlawanan korporasi multinasional dan negara-negara yang ada di belakang mereka. Di tempat lain (baca: negara maju), nasionalisme tetap dijaga untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri. Pemuda-pemuda Amerika terus dibangkitkan nasionalismenya agar bersedia menjadi serdadu yang ditempatkan di Jepang, Korea, Timur Tengah, atau Afghanistan. Bagi mereka, yang tidak boleh adalah nasionalisme di tempat lain. Bagi mereka, ancaman perang tak akan pernah berakhir.

Kekuatan militer Amerika Serikat adalah perangkat keras untuk menjaga kepentingan mereka, selain untuk mengintimidasi nasionalisme orang lain yang mengusik kepentingan mereka. Tapi itu senjata pamungkas. Yang didahulukan ialah melumpuhkan nasionalisme dan semangat persatuan-kesatuan di tempat orang lain.

Dengan pengalamannya di pelbagai kawasan, mereka tahu, daripada mereka menekan nasionalisme dengan senjata yang perlu ongkos besar, mengapa tak melakukan operasi cuci otak saja yang lebih murah.

***

Menurut evolusinya, otak itu tersegmentasi dalam tiga organ: bagian batang atau otak reptilia (primitif), sistem limbic (otak mamalia), dan neokorteks. Hasil evolusi pertama adalah otak reptil yang terkait insting hidup, bernapas, mencari makan, dan dorongan untuk reproduksi. Manusia memiliki bagian otak reptil, yang menyumbang daya kecerdasan paling rendah.

Di sekeliling otak reptil terdapat sistem limbic, yang membungkus batang otak seperti kerah baju. Bagian ini sering disebut paleo mamalian. Otak ini berkaitan dengan perasaan atau emosi, memori, bioritmik, dan sistem kekebalan. Sistem limbic memungkinkan untuk merekam suatu kejadian yang menyenangkan.

Sistem limbic memberikan kontribusi yang mendasar terhadap proses belajar, yaitu meneruskan informasi ke dalam memori. Ia juga terkait dengan peran thalamus dan hypothalamus yang berperan dalam mengatur suhu tubuh, keseimbangan kimia, debar jantung, tekanan darah, dan dorongan seks. Segmen ini pula yang mengontrol marah, senang, lapar, haus, kenyang, misalnya, selain terlibat dalam bekerjanya sistem ingatan. Terkait dengan perilaku makhluk hidup, peran sistem imbic besar dalam pengendalian emosi.

Bagian ketiga adalah neokorteks atau otak neomamalian. Organ ini terbungkus di bagian atas dan kedua sistem limbic. Dia memberi kita kemampuan belajar, bicara, kreativitas, memahami angka, memecahkan masalah, dan dapat menentukan perilaku dalam berhubungan dengan lingkungan alam dan sosialnya. Karena itu, ia juga disebut the thinking cap atau otak rasional, sekaligus menjadi bagian terluar yang menutupi sistem limbic. Neokorteks yang meliputi 80% dari seluruh volume otak memberikan kemampuan berpikir, berpersepsi, berbicara, berperilaku, dan sebagainya.

Di era globalisasi ini, terus dikembangkan teknik-teknik baru untuk mengendalikan persepsi dan perilaku atas kelompok sasaran. Targetnya, mengontrol perilaku mereka sesuai dengan yang diprogram, dengan mengubah secara perlahan persepsinya. Karena areal target otak, maka senjatanya adalah pesan-pesan rasional dalam bentuk verbal (suara), visual (gambar), dan tulisan (teks). Pesan-pesan itu menjadi senjata penaklukan. Itu perang yang disebut neocortical warfare (perang neokortikal) atau perang tanpo bolo (tanpa tentara).

Dalam konteks ini, pesan-pesan tadi harus terartikulasikan dan dikemas sebagai sebuah pengetahuan yang rasional, kritis, akademis, selain juga seksi bagi pers, bahkan terkesan heroik: membela lingkungan atau HAM. Aktor yang dipilih bisa para cendekiawan, aktivis, tokoh karismatis, tapi yang tak bisa dilupakan, para praktisi media pula. Dengan strategi perang neokortikal, kepentingan sebuah negara bisa masuk tanpa harus dikawal tank atau pesawat tempur.

Dalam konteks globalisasi, boleh jadi, yang terpilih sebagai target salah satunya adalah Pancasila. Nilai-nilai yang berasaskan kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah-mufakat harus didekonstruksi, lalu ditempatkan sebagai hal yang irasional. Yang rasional ialah kompetisi individu, debat, dan voting. Masalah hak individu pun dibenturkan dengan hak kolektif. BUMN harus diidentifikasikan dengan KKN, tidak efisien.

Pokoknya, harus terjadi kontroversi, hal yang membuat bangsa ini cerai-berai dan loyo. Ujung-ujungnya, rasa kebangsaan melemah dan kecintaan pada tanah air berubah menjadi kecintaan atas materi serta aset. Itukah cita-cita bangsa ini? Kalau itu yang dikehendaki, harus diakui, kita telah memasuki area cortical warfare.

***

Pengalaman kegagalan Belanda dan Inggris di Indonesia (1945-1949) boleh jadi juga memberi referensi sejarah cortical warfare. Awalnya, Inggris yang datang dengan misi melucuti Jepang dan mengevakuasi interniran orang Eropa itu membiarkan NICA dan KNIL memboncenginya ketika mendarat di kota-kota besar Indonesia. Sikapnya berubah setelah pasukannya mendapat perlawanan keras, terutama di Surabaya. Divisi Mansergh berhasil menguasai kota itu, tapi menghadapi perlawanan dan pengorbanan yang luar biasa dari arek-arek Surabaya itu, November 1945.

David Wehl, perwira staf yang diperbantukan pada Divisi Mansergh, menuliskan laporan kepada atasannya dengan rasa miris: “Sekiranya pertempuran seperti ini berlangsung di seluruh Jawa, baik Republik Indonesia atau Hindia Timur akan tenggelam dalam lautan darah.” Wehl mengakui adanya gelegak nasionalisme rakyat yang begitu kuat. Maka, Inggris mendorong Belanda menyelesaikan urusannya secara diplomatik. Boleh jadi, pengalaman buruk di Indonesia itu ikut mendorong Inggris memerdekaan India dan Pakistan (1947) secara damai.

Mematahkan semangat juang yang tertanam di otak memang tidak bisa dilakukan dengan tank dan rudal. Bahwa negara-negara maju tetap perlu memegang hegemoni. Itu bisa dilakukan melalui keunggulan teknologi, politik, dan kebudayaannya. Penaklukan akan lebih elegan. Yang diperlukan adalah bagaimana hegemoni itu bisa ditancapkan tanpa perlawanan. Di situlah peran cortical warfare.

Target-target hegemoni itu sendiri umumnya empat sektor. Yang pertama adalah sektor perbankan, yang menguasai arus uang --serupa dengan peran aliran darah pada manusia. Kedua, sektor komunikasi dan media yang serupa dengan impuls listrik pada saraf manusia. Tak terlihat tapi menentukan perilaku kelompok target. Yang ketiga, penguasaan sektor infrastruktur, utamanya energi --otot penggerak pada tubuh manusia. Keempat, sektor retail bahan pokok hajat kehidupan orang banyak, utamanya bahan kebutuhan pokok makanan. Bila keempat sektor ini terkuasai, maka terkuasai pulalah kedaulatan suatu bangsa oleh bangsa lain, tanpa letusan senjata dan tanpa kerusakan fisik.

Untuk membentengi dampak perang neokortikal itu, agaknya bidang keilmuan psikologi dan komunikasi massa bisa menjadi salah satu tumpuan, setelah diintegrasikan dalam pusat kesenjataan maya pada tingkat nasional. Tapi, di luar itu, kita mesti lebih tegas mengartikulasikan prinsip-prinsip kehidupan kita dalam bernegara.

Budiono Kartohadiprodjo
Pengamat geopolitik