Monday, May 31, 2010

KRIMINALISASI TEMBAKAU




Di dunia, saat ini sedang gencar diwacanakan tentang bahaya tembakau dan produk-produk derivatifnya. Memang benar rokok adalah berbahaya jika dihisap. Tapi apakah tembakau memang sepenuhnya berbahaya dan harus dimusnahkan?


Mari kita lihat dulu dua ilustrasi berikut.



KRIMINALISASI GANJA


Jaman Majapahit, ujung tombak dalam sistem ekonomi dan pertahanan adalah kapal laut dan perahu bercadik. Perahu bercadik milik Majapahit terkenal dengan kecepatannya, sehingga disebutnya terbang di atas air. Perahu-perahu ini banyak digunakan oleh militer Majapahit untuk patroli di sekitar pulau-pulau yang dikuasasi oleh Majapahit. Begitu pula dengan kapal milik Majapahit; terkenal dengan kecepatannya. Salah satu hal yang menjadi faktor utama adalah Majapahit menggunakan serat ganja sebagai bahan untuk membuat kain. Nah, kain inilah yang digunakan oleh Majapahit di layar di perahu dan kapal. Karakteristik kain dari ganja adalah kuat dan ringan seperti sutra.


Tanaman ganja dibudidayakan untuk diekspor ke Eropa,Australia, Swiss, dan Selandia Baru.

Negara-negara tersebut melakukan riset yang mendalam untuk membuat ganja menjadi obat kanker, bahan kertas, sampo, sabun, minyak angin,minuman ringan, hingga bumbu masakan yang mempunyai khasiat baik bagi kesehatan.

Lagi-lagi, bahwa ganja dikampanyekan untuk dimusnahkan karena tidak baik untuk kesehatan jika dihisap, padahal ada manfaat-manfaat lain yang sangat besar artinya. Cara terbaik untuk mengalihkan orang mengkonsumsi ganja sebagai zat adiktif adalah dengan mempergunakan ganja untuk hal lain yang bermanfaat luas.


Kegunaan ganja lebih lengkap silahkan cek di:

http://legalisasiganja.blogspot.com/



KRIMINALISASI KELAPA


Pada suatu masa (penulis kesulitan mendapatkan referensi) pernah kelapa dihabisi dan diganti kelapa sawit. Akhirnya ditemukan bahwa VCO (yang notabene dari tanaman kelapa) dan produk turunannya ternyata luar biasa nilai tambahnya.


Di Philipina, turunan dari produk tanaman kelapa lebih dari seratus. Di Indonesia produk turunan kelapa baru sekitar belasan. Tatkala produk VCO dan turunannya sudah mendunia, tanaman kelapa sudah sangat minim.


Manfaat kelapa bisa dilihat di link berikut:

http://en.wikipedia.org/wiki/Coconut



MANFAAT LAIN TEMBAKAU


Yang sering didengungkan oleh berbagai aktivis anti rokok adalah NO TOBACCO, bukan NO CIGARETTE. Hal ini tentu mengusik kita. Sudah menjadi pemahaman yang umum bahwa sesuatu yang sangat berbahaya, kemungkinan besar mempunyai manfaat yang besar pula.


Seperti halnya nuklir yang bisa digunakan sebagai sumber energi yang sangat besar, tembakau juga mempunyai manfaat yang sangat besar.


Manfaat tembakau antara lain :

1.Untuk melepas lintah yg sedang menempel di kulit manusia untuk menghisap darah, sementara yg diketahui "teknologi" untuk melepas lintah adalah dari air tembakau. Bisa disimpulkan dan diperkirakan bahwa di tembakau ada bahan2 farmasi yg belum sepenuhnya diketahui apa saja unsur2nya.
2.Pada unsur2 kimia yg ada di tembakau semisal nikotin dll, ditemukan ternyata dapat menjadi bahan anti karat pada besi tipe N80, yg biasa digunakan sebagai pipa minyak.

Lebih lengkap mengenai manfaat tembakau bisa dilihat di link berikut:

http://divinecigarette.com/web/

dan
http://umarbadarsyah.wordpress.com/2009/12/29/tembakau-tidak-selalu-rokok-sebuah-alternatif/



Tembakau adalah aset . Kalau yg dipersoalkan adlh rokok dan dampaknya, ya jangan tembakaunya yg disalahkan.


Belum lagi kita perlu juga meninjau aspek ekonomis-nya jika secara tiba-tiba produksi rokok dihentikan. Ada ribuan orang yang akan kehilangan mata pencaharian jika industri rokok berhenti.


Cara paling baik adalah dengan inovasi penggunaan tembakau untuk hal yang bermanfaat, sehingga petani tembakau tetap bisa menanam tembakau, dan (setidaknya) tidak semua pekerja di pabrik rokok akan menganggur karena dialihkan ke industri yang baru.


CIGARETTE, NO. TOBACCO, YES.

Monday, May 24, 2010

Pendidikan Dalam Perspektif Pembangunan Ekonomi

Argumen pemerintah yang dikemukakan ketika membicarakan tentang mahalnya biaya pendidikan adalah adalah karena dengan terbatasnya anggaran, pemerintah juga harus memperhatikan sektor lain yang berkontribusi terhadap perekonomian, seperti pembangunan infrastruktur, dsb.
Jadi, hitung-hitungannya, dengan skema pembiayaan pendidikan seperti sekarang, menurut pemerintah akan lebih menguntungkan untuk pembangunan ekonomi.

Ketika memperbincangkan kemajuan ekonomi, akan memunculkan pertanyaan: dengan cara apa perekonomian negara Indonesia bisa berkembang sehingga bisa menjadi negara maju (advanced country)?


Jika mendapat pertanyaan seperti itu, maka saya akan menjawab: kuncinya adalah di pendidikan dan pemerintahan.





Kita bisa memperdebatkan sampai kepala pecah tentang apa mazhab ekonomi yang paling baik, apa kebijakan publik yang paling tepat, apa strategi perdagangan yang paling OK, dsb.

Program apapun, tanpa dukungan yang memadai dari kualitas manusia dan kualitas birokrasi, tidak akan sukses. Seperti halnya permainan sepakbola, strategi apapun tidak akan sukses tanpa pemain yang bagus dan fasilitas yang memadai.

Jeffresy Sachs (The End of Poverty, 2005) mengemukakan 6 buah faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu:

1. Inovasi.
2. Budaya (karakter sebuah bangsa).
3. Birokrasi.
4. Kondisi politik.
5. Modal.
6. Kondisi geografis.

Poin 1 & 2 adalah bagian dari pendidikan. Sedangkan poin 3 sampai 6 adalah bagian dari program dan kerja pemerintah.


Kita memang harus meninjau tentang sistem pendidikan seperti apa yang baik.

Kemudian kita harus meninjau lagi apakah benar negara ini tidak mempunyai uang untuk membiayai pendidikan; apakah pemerintah telah mengelola resource dan keuangan dengan baik.
Selain itu kita juga harus meninjau, apakah kesenjangan sosial, yang diakibatkan oleh mahalnya biaya pendidikan, selaras dengan tujuan negara tentang "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".


Pendidikan yang akan membuat sebuah negara menjadi negara maju adalah pendidikan yang membebaskan warganya; yang membuat warganya menjadi manusia dewasa, berani berinisiatif, berani berideologi dan berprinsip, dan berkarakter pemimpin; bukan pendidikan yang membuat warganya hanya bisa menghafal, pragmatis, memikirkan dirinya sendiri, dan membebek pada pemimpin mereka.

Pendidikan yang akan membuat sebuah negara menjadi negara maju adalah jika pendidikan bisa diserap oleh semua warganya, tanpa terkecuali.

Pemerintah mengatakan bahwa dana untuk pendidikan kurang, walaupun klaim ini dengan mudah dibantah karena manajemen yang kurang baik dalam mengelola anggaran yaitu terjadi mis-alokasi, pemborosan, dan kebocoran (dengan tingkat kebocoran sekitar 30%); belum lagi bila kita meninjau ulang jumlah resource yang dimiliki negara ini yang bisa kita manfaatkan dengan maksimal jika pengelolaannya baik; olehkarenanya jika resource dan keuangan negara dikelola dengan baik, masalah pendidikan yang mahal tidak perlu terjadi.

Selain itu juga perlu kiranya ditanamkan bahwa mengucurkan uang untuk pendidikan adalah masuk ke komponen investasi, bukan beban.

Ada yang mengatakan bahwa Indonesia menganut sistem liberal. Tentu ini memunculkan perdebatan karena dasar negara kita, yaitu UUD dan Pancasila, tidak menghendaki sistem liberal.

Tapi untuk sistem liberal pun, Indonesia tidak akan sukses, karena syarat mutlak suksesnya sistem liberal adalah semua orang mempunyai "fasilitas" yang sama untuk berkompetisi dan bersaing. Sistem liberal tanpa kesetaraan kemampuan untuk bersaing hanya akan mengakibatkan kesenjangan sosial. Dan kesenjangan sosial, yang bisa diakibatkan dari mahalnya biaya sekolah, adalah musuh keseimbangan dan juga musuh kemanusiaan.

Pertumbuhan adalah penting, dimana pertumbuhan ekonomi di sebuah negara bisa dicapai walaupun kegiatan ekonomi hanya dilakukan oleh segelintir orang.

Akan tetapi kita harus ingat bahwa dunia berjalan dengan satu aturan, yaitu aturan keseimbangan.
Jika keseimbangan terabaikan, maka cepat atau lambat, tatanan yang dibangun akan runtuh.
Tentu kita tidak sedang membicarakan negara kita bisa berkembang dengan pertumbuhan yang tinggi kemudian runtuh karena ada tatanan yang tidak seimbang, seperti ambruk karena subprime mortgage di US atau runtuh karena kesenjangan sosial dan pemerintahan diktator seperti di Indonesia tahun 1998.
Ini adalah tentang pertumbuhan yang tanpa melupakan tentang sustainability dan keadilan sosial.



Bayangkan betapa majunya sebuah negara jika negara yang mempunyai resource sedemikian besar seperti Indonesia; dimana semua warganya berkompetisi dengan kepandaiannya, inisiatifnya yang tinggi, dan prinsip hidup yang dijunjungnya; ditambah lagi pemerintahnya yang selalu siap siaga memberikan dukungan dengan berbagai kebijakan yang efektif dan efisien, serta birokrasi yang profesional dalam membangun lingkungan yang kondusif untuk riset, inovasi, dan entrepreneurship, tentu tanpa melupakan unsur keadilan sosial untuk seluruh warganya.


Demi kesejahteraan yang berlandaskan keadilan sosial, pendidikan di Indonesia semestinya bisa dijangkau oleh semua warganya, tanpa kecuali; karena negara ini bisa dan MAMPU.


salam,

Saturday, May 22, 2010

Just Curious,,,

Manusia mempunyai organ-organ tubuh yang menunjang kelangsungan hidupnya. Organ-organ ini mempunyai tugas yang spesifik dan berkoordinasi secara sempurna.
Untuk bisa hidup secara nyaman secara fisik, manusia hidup berdasarkan dua aturan.

Aturan pertama adalah, manusia hidup berdasarkan range tertentu.

Misalnya, dalam hal suhu udara, manusia yang terbiasa hidup di lingkungan tropis (panas) akan mengalami kesulitan hidup di lingkungan dingin seperti eropa saat musim dingin atau kutub utara. Yang lain lagi, dalam hal mengangkat beban; seseorang yang kurang berlatih atau beraktifitas mengangkat beban, akan kesulitan mengangkat beban, walaupun mungkin hanya 30kg atau 40kg. Juga orang yang jarang berlatih akan kesulitan jika harus bermain sepakbola 2 x 45 menit. Bagi mereka yang terbiasa hidup di kota dengan segala fasilitas yang ada pasti akan kesulitan jika tiba-tiba harus hidup di hutan tanpa persiapan mental dan skill yang cukup. Contoh-contoh ini membuktikan bahwa manusia hidup pada range tertentu.
Range ini dipengaruhi terutama oleh kebiasaan kita. Ya kebiasaan. Kita pasti pernah atau bahkan sering mendengar atau membaca bahwa awalnya kita yang membentuk kebiasaan, dan kemudian kebiasaan itu yang akan membentuk kita.

Aturan kedua adalah, manusia adalah makhluk yang sangat pandai beradaptasi.

Manusia bisa hidup dari lingkungan yang paling dingin di daerah kutub utara, sampai ke lingkungan paling panas di gurung Sahara. Manusia bisa hidup dari yang hampir tidak pernah olahraga sehingga obesitas, sampai yang hidupnya selalu dipenuhi aktifitas mengangkut beban macam kuli angkut di pelabuhan dan pasar. Manusia bisa hidup di daerah pantai yang panas dan lembab, dan juga di daerah pegunungan seperti Tibet yang kering dan dingin. Artinya, bahwa manusia bisa hidup di manapun karena pandai beradaptasi. Jika hewan hanya mengandalkan insting dan "fasilitas" di fisiknya seperti bulu, maka manusia bisa menyelesaikan masalahnya menggunakan akal dan kreativitasnya.

Pertanyaan pertama, apakah manusia bisa hidup di kedua lingkungan yang ekstrim?

Jawabnya adalah bisa, tentu dengan periode adaptasi tertentu. Orang yang terbiasa hidup di lingkungan tropis akan membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di Rusia yang dingin dan kering. Begitu pula dengan orang eskimo, pasti shock begitu ditaruh di gurun Sahara.
Proses adaptasi membutuhkan perjuangan. Kadang disertai rasa sakit, baik fisik maupun mental. Tetapi bukan berarti tidak bisa.

Proses adaptasi yang lebih mudah dilakukan adalah jika beralih dari lingkungan yang "kurang nyaman", ke lingkungan yang "lebih nyaman". Misalnya dari lingkungan Afrika yang panas & kering, ke lingkungan tropis yang lebih sejuk dan basah semacam Indonesia. Atau misalnya dari daerah kumuh dan penuh kriminal di Honduras, pindah ke California yang jauh lebih teratur dan bersih.


Nah, ini memunculkan pertanyaan kedua, jika manusia sudah mencapai keadaan nyamannya di daerah yang lebih nyaman seperti contoh di atas yaitu di Indonesia dan California, apakah ia masih punya "sense" terhadap lingkungan yang lama?

Maksudnya adalah, apakah ia akan dengan mudah juga untuk kembali hidup di lingkungan yang lama? Tentu ini debatable, tapi besar kemungkinan ia akan mengalami kesakitan yang luar biasa ketika harus kembali ke habitatnya yang lama.
Artinya adalah, bahwa ketika sudah mencapai kenyamanan pada level yang tinggi, akan susah bagi seseorang untuk kembali menjalani hidup ke level rendah, walaupun dulu pernah hidup di level tersebut. Hal ini bisa berarti susah dalam artian tubuh akan menolak, maupun kemauan tidak ada lagi.


Dari uraian di atas, bisa kiranya kita tarik kesimpulan yaitu seseorang akan mengerti betul bagaimana keadaan sebuah lingkungan jika ia tinggal di dalamnya. Orang Indonesia akan sangat mengerti tentang bagaimana lingkungan tropis dibanding orang eropa atau orang korea misalnya. Orang Afrika jauh lebih mengerti tentang mensiasati lingkungan yang ganas di sekitar mereka dibanding siapapun di dunia ini.

Tentu orang kutub utara akan susah diajak ngobrol tentang ganasnya lingkungan Afrika; orang Indonesia yang mengeluh tentang cuaca pasti akan bersyukur bahwa negeri ini sangat ramah terhadap manusia kalau diajak ke kutub utara yang dingin; begitu juga orang yang tinggal nyaman di Bali tidak akan "mudeng" kalau diajak ngobrol tentang susahnya hidup sebagai orang Papua. Orang yang hanya bisa bermain catur yang membutuhkan pikiran, pasti kesulitan jika diajak bermain bola yang memerlukan kemampuan fisik; begitu juga jika seseorang yang hanya memainkan basket, ia akan linglung kalau ditantang catur.

Dan kemudian akan sampai pada pertanyaan berikutnya.

Jika seseorang telah beralih ke lingkungan yang jauh lebih nyaman, akankah ia tetap bisa "mengerti" beratnya hidup di lingkungan yang lalu?
Maksudnya bukan hanya mengerti ia mengetahui, tetapi ia mempunyai empati.
Jawabannya bisa 2 macam.

Ada orang yang migrasi ke California kemudian lupa bagaimana rasanya tinggal di Honduras yang kumuh, miskin, dan penuh dengan kriminalitas. Untuk membantu saudaranya dan masyarakatnya di tempat asal, kecil kemungkinan ia akan melepaskan kenyamanan hidupnya di California dan kemudian berkarya di Honduras. Kemungkinan paling besar adalah ia mengirimkan sejumlah uang dan hadiah kepada saudara-saudaranya. Apakah saudara-saudara kandungnya cukup bahagia dengan uang kiriman tersebut, dan apakah ia bisa membantu tetangga-tetangganya yang lain, itu akan segera dilupakannya karena yang penting baginya adalah ia tetap nyaman dan tetap bisa membantu. Tidak peduli apakah bantuannya bermanfaat maksimal atau tidak.


Akan tetapi ada juga orang yang tetap menjaga agar dirinya tidak terlena di lingkungan yang nyaman, ia akan tetap bisa "merasakan" betapa tidak enaknya lingkungan yang dulu pernah ia hadapi. Dan orang seperti ini akan berusaha memperbaiki lingkungan yang tidak nyaman tersebut, atau mengajak saudara-saudaranya atau orang-orang yang pernah dikenalnya ke lingkungan yang lebih nyaman.

Orang ini, walaupun tinggal di lingkungan yang enak, ia tidak terlena dengan melalaikan latihan fisik, ia tidak terlena bermewah-mewahan dan menjauhkan dirinya dari kesederhanaan hidup.
Ketika ia tinggal di California, tidak hanya mengirimkan uang dan hadiah ke Honduras, tetapi ia juga mengorbankan kenyamanan hidupnya dengan menabung dan kembali ke tanah kelahirannya untuk memperbaiki keadaan.
Orang ini, adalah orang yang bisa menjaga nuraninya; ia tidak melupakan jasa sang angin ketika ia sudah bisa terbang.


Dari uraian bahwa manusia hidup dalam range tertentu dan manusia pandai beradaptasi, akhirnya kita sampai pada pertanyaan terakhir dan inti dari tulisan ini:


Jika seseorang mengaku (sampai sekarang masih) peduli pada kemiskinan dan kebodohan, tetapi terus-terusan enggan menanggalkan baju mewahnya, apakah ia jujur dan bukan sedang berfantasi?



Wallahu'alam.


-ismail-

Thursday, May 20, 2010

Ideologi Parpol; Masihkah Relevan?

Memperbincangkan ideologi, untuk saya, selalu menarik. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa ideologi adalah kuno.

Definisi;
An ideology is a set of ideas that discusses one's goals, expectations, and actions.
A political ideology is a certain ethical set of ideals, principles, doctrines, myths, or symbols of a social movement, institution, class, and or large group that explains how society should work, and offers some political and cultural blueprint for a certain social order.

Hatta pernah menulis, bahwa demokrasi adalah tentang kedewasaan berpikir dan bertindak, bukan tentang kebebasan. Lebih lanjut, Hatta berpendapat bahwa politik adalah panggung untuk memperjuangkan ideologi yang diyakini dalam membangun sebuah masyarakat (society?).

Sedangkan yang sekarang terjadi adalah, sebagian besar parpol tidak jelas mengusung ideologi apa.
Parpol yang seharusnya menjadi salah satu pagar dalam menjaga nilai, malah menjadi sekedar mesin pengumpul suara, tanpa peduli lagi nilai-nilai seperti apa yang diusung dan kader partai seperti apa yang ingin dibentuk. Kabar tentang jupe dan maria eva akan dicalonkan menjadi pemimpin daerah adalah bukti atas hal ini.
Wajar jika ketika pemilu parpol lebih banyak bersuara tentang rakyat dan banyak yang "mengunjungi" rakyat, karena itulah yang efektif untuk mendulang suara. Dan ketika pemilu selesai, maka dimulailah episode sinetron dengan rakyat menjadi penonton atas tingkah polah para politisi berebut kuasa untuk diri mereka sendiri.

Partai berbasis massa memang cenderung mengedepankan image karena memang efektif untuk meraup suara. Seperti PNI dengan soekarno yang dicintai rakyatnya, dan yang paling baru adalah PD dengan SBY yang santun.
Sedangkan partai kader, cenderung mengedepankan ideologi. seperti Sutan Sjahrir dengan Partai Sosialis Indonesia (dengan beberapa tokoh PSI yang dikenal, seperti Subadio Sastrosastomo, Sutan Takdir Alisyahbana, Prof Sarbini Somawinata, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, dan Mochtar Lubis), dan mungkin sekarang bentuk partai kader ini sedang diperjuangkan oleh PKS. Partai kader mempunyai sistem nilai tertentu dan setiap orang yang ingin bergabung menjadi kader harus melewati tahapan rekrutmen. Di satu sisi partai kader ini sangat ideal, yaitu sebagai institusi penjaga nilai; akan tetapi, di sisi yang lain, kurang bisa menjadi mesin peraup suara.

Jadi, ketika kita komplain atas tindakan politisi atau parpol yang menurut kita "kurang berkenan", sebenarnya salah sasaran. Karena sejak awal memang sebagian besar parpol tidak memiliki sistem nilai. Mungkin kita saja yang sebenarnya naif, bahwa politik adalah tentang memperjuangkan nilai-nilai. Padahal mungkin mereka yang duduk dan berdiri disana hanya berpikir tentang kepentingan dirinya. Kejadian Bu SM, yang beberapa bulan sebelumnya dikatakan oleh SBY bahwa Bu SM adalah menteri favoritnya, "dipindah" ke WB, mengindikasikan hal ini.

Agak masuk akal jika kita komplain karena misalnya PDIP yang mendeklarasikan bahwa partainya adalah partai kerakyatan, ternyata lebih terlihat memperjuangkan kaum elit. Atau misalnya kita komplain atas kader PKS yang mendeklarasikan dirinya partai Islam, ternyata mempunyai masalah dengan perilaku kadernya.
Akan tetapi jika PD atau Golkar misalnya terkesan lebih peduli dengan kehidupan para penyandang dana kampanye mereka, apa yang akan kita komplain menjadi tidak relevan karena kita tidak jelas mengetahui bagaimana parpol tersebut "berpikir".

Menarik jika kita membaca tentang Amartya Sen yang mengusung ide corective justice. Memang faktanya tidak ada ideologi yang menjamin bahwa sistemnya akan benar-benar adil. Tetapi ide corective justice menurut saya tidak bertentangan dengan adanya ideologi.
Ideologi akan membuat seseorang atau institusi mempunyai pegangan, sehingga akan ada konsistensi dalam berpikir dan bertindak. Sedangkan corective justice, akan membuat seseorang atau institusi senantiasa mengoreksi dan memperbaiki ideologi yang mereka usung sehingga bisa cukup aplicable dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu masyarakat yang adil.

*just my two cents.

salam,

ismail