Tuesday, May 20, 2014

Geotimes 7 April



Antara Karakter dan Program Kerja


***Versi yang telah disunting dari artikel ini telah dimuat di majalah Times edisi 7 April 2014 (klik untuk melihat fotonya)

Menuju hajatan pemilu tahun ini, masyarakat dihadapkan dengan sebuah kebimbangan berjamaah: bagaimana cara menilai pilihan-pilihan yang tersedia di kertas suara? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa meminjam sebuah hikayat yang menceritakan perdebatan antara Luqman Al Hakim dengan rajanya tentang thabi’ah (watak) dan tarbiyyah (pendidikan): mana yang lebih kuat?

Luqman berpendapat thabi’ah lebih kuat, Raja sebaliknya. Untuk memenangkan perdebatan ini, Raja melatih sekumpulan anak kucing. Namun di sisi lain Luqman tahu rencana ini. Tiba saatnya pembuktian dalam sebuah perjamuan makan. Keluarlah satu regu kucing berbusana layaknya para pelayan istana. Mereka berjalan diatas dua kaki dan berbaris rapi. Tangan-tangan, atau lebih tepat kaki-kaki depan mereka masing-masing menyangga nampan berisi hidangan ikan berbagai rasa. Kucing-kucing itu begerak lucu tapi tenang, meletakkan nampan-nampan ke atas meja tanpa sedikit pun keliahatan tertarik menyentuh ikannya.

Wednesday, May 07, 2014

Dilema Muslim Kontemporer: Antara Korupsi Dan Sektarian


Dilema kaum muslimin dalam demokrasi pada era ini adalah saat harus memilih partai yang terindikasi banyak kasus korupsi, atau mendukung partai yang dikenal cukup bersih namun mewakili kelompok sektarian. Secara formal berdasarkan dokumen-dokumen resminya memang tidak ada partai yang bercorak sektarian, namun ada partai yang dalam praktiknya mendukung gerakan sektarian, sehingga bisa dikatakan bahwa ia adalah 'partai sektarian'. Di satu sisi, semua orang sudah sadar bahwa korupsi telah mengakibatkan begitu banyak kerusakan sosial dan ekonomi. Di sisi lain, paham sektarian juga memiliki daya rusak yang tidak kalah dahsyat: mengancam persatuan bangsa Indonesia. Jika ditimbang-timbang, mana yang lebih berbahaya antara korupsi atau sektarian? Sulit untuk mengukurnya, namun pengalaman di Aceh & Afghanistan menunjukkan bahwa rezim sektarian memunculkan praktek korupsi yang melembaga. Artinya, perilaku korupsi tersebut dilakukan dengan modus yang makin canggih, sehingga kian sulit ditangani.

Mengapa paham sektarian begitu berbahaya telah cukup banyak dibahas di berbagai literatur. Secara umum, kekuasaan oleh kelompok sektarian dipahami sebagai upaya hegemoni sebuah kelompok atas kelompok lain berdasarkan nilai-nilai yang diyakini secara sepihak oleh kelompok penguasa. Kelompok lain yang tidak berkuasa namun memiliki nilai-nilai yang berbeda harus mengikuti tatanan yang ditetapkan oleh kelompok penguasa. Dalam perilaku sehari-hari, kelompok ini bisa dikenali dari sikap mereka yang seakan-akan paling benar dan merasa sebagai otoritas penjaga moral karena menjadi representasi tunggal atas hukum yang mereka yakini. Bagi negara yang sangat beragam seperti Indonesia, situasi tersebut tentu bisa merusak kerukunan.

Namun ada satu hal yang jarang disebut tentang kelompok sektarian, yaitu hubungan antara sektarian dan korupsi. Meski pada fase awal, yaitu saat belum berkuasa dan mendapat dukungan masyarakat luas, mereka tampak simpatik dan ‘bersih’. Tapi situasi bisa berbeda jika kelompok ini telah mendapatkan kekuasaan dan legitimasi.

Energi Nuklir: Bagaimana Dan Untuk (Si)apa

Polemik di sekitar pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tidak pernah berhenti. Sayangnya, polemik yang terjadi selama ini tidak banyak memberikan sumbangsih pengetahuan bagi masyarakat maupun membawa kemajuan dalam kebijakan energi kita. Itu terjadi karena masing-masing pihak yang berseteru mengajukan argumennya tanpa pernah memikirkan menyentuh pokok masalahnya, yaitu tata kelola teknologi.

Pihak yang pro gigih berpendapat bahwa pembangunan industri di negara ini membutuhkan nuklir untuk memenuhi kebutuhan energinya. Argumentasinya, jika ingin membangun ekonomi berbasis industri, maka konsumsi listrik Indonesia yang berkisar 700 kilowatt-jam (kWh) per kapita per tahun dipandang masih sangat kurang.

Di sisi lain, negara tetangga Malaysia dan Singapura mengonsumsi listrik masing-masing sebesar 3.500 dan 8.800 (kWh) per kapita per tahun. Karena pasokan energi listrik yang melimpah, kedua negara tersebut leluasa mengembangkan sektor industrinya sehingga mereka menikmati kemajuan ekonomi yang begitu besar. Menurut Kementrian ESDM, data statistik pemakaian listrik dan performa ekonomi di seluruh dunia memang menunjukkan relasi yang positif antara konsumsi energi listrik dengan kesejahteraan sebuah negara.