tag:blogger.com,1999:blog-82160912042953367182024-02-19T18:22:21.533+07:00Societal LearningIsmail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.comBlogger83125tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-18295206509078442732016-09-21T08:59:00.001+07:002016-09-21T09:16:34.074+07:00Comfort vs SparkWe're married at such a young age. At that times, we've found ourselves as a best friend who can talk about anything. We both had a difficult period growing up as an adult. So, basically that marriage was meant as a sanctuary for our soul. I was comforting her, and she was comforting me. We then had a son. And after years we lived together, there was one thing that missing: love.<br />
<br />
I know that some people said love is overrated, that marriage is about committed to someone who comfort you. In our case, this comfort feeling is abundant, yet in years of our marriage I started to feel that we lacked one little thing: spark. You know, that butterfly in the stomach feeling when you see or being around her, jealousy when she with someone else, miss her if you hadn't see her for a while, wondering why she acts strange, and so on.<br />
<br />
We felt so comfortable so that we never had an argument in that years. We trust each other so much so that we never felt jealous when one of us had a meeting with our friends and went home late.<br />
<br />
Then I started to see someone else. I'm not particularly interested to set up another relationship actually. I'm just looking for a spark that I didn't found in my marriage. At that time I began to thought that our marriage has failed us. Even sex didn't give us pleasure. "It was like eating your favorite foods on top of huge garbage pile."<br />
<br />
"I want to divorce," I said. "Why?" she was shocked and puzzled. It takes weeks to explain that the reason was I didn't love her and she didn't love me. After month of divorce trial, we were finally separated. But since we started as a best friend, we still seeing each other for business matters. Even some of our colleagues didn't realize that we have been divorced.<br />
<br />
Then each of us remarried with someone else. Now I'm marrying a woman who I have this much sparks. But the thing is, you have to trade spark with comfort. We argue over small things as much as we enjoy of being together. I'm jealous when she said that her ex was attending high school reunion. She's questioning me if I had business meeting with female colleagues. Nevertheless, implicitly we admitted that we're craving for quality time. She texts me when I'm not around home for a while, and I phone her when she's working overtime.<br />
<br />
I'm happy with my marriage now, and so does my ex wife. After she married with his new husband, she started to wear make up and her outfit improves a lot. She looks younger also. Another impact is our son has a positive impression whenever he discusses about his parents.<br />
<br />
-----<br />
<br />
I'm marrying a man who I've been dated for around eight years. All these years he always understand me, trusts me, and I never heard him complain. He's a man that gives me comfort and security. But, I started to sense something wrong when I find myself didn't like to have sex with him. I even hate to have sex. I don't know why.<br />
<br />
A year after my son born, I began to see other guys. I just want to have a joy of feeling that thrill again. I even looking for a job posting far away from here so that I have a reason to distance from him. Marriage and raising a child is tough. It's tougher if your marriage doesn't has enough sparks. Spark is like a fuel to marriage. Without it, you don't have enough energy to sail through.<br />
<br />
-----<br />
<br />
I favor spark over comfort. That's why I choose you.Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-32193280717054899202016-08-23T08:25:00.001+07:002016-08-23T08:26:56.212+07:00Benih di Ladang HatiSeperti tanaman, itulah cintamu<br />
Kau tanam benihnya di ladang hatimu<br />
Setiap detik kau tunggui benih itu<br />
Kau saksikan akarnya tumbuh siap menerjang setiap laju<br />
<br />
Kau airi dari setiap tetesan air mata<br />
Agar bertahan dari kerontang yang mendera<br />
Tangan-tangan penuh luka kau bentangkan<br />
Untuk melindungi dari angin yang menerpa<br />
<div>
<br /></div>
<div>
Lalu dia yang kepadanya tanaman itu kau persembahkan</div>
<div>
Datang dan bertanya</div>
<div>
<i>Sejujurnya aku terganggu oleh keberadaan tanamanmu</i></div>
<div>
<i>Maukah kau bunuh itu?</i></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Aku akan lakukan apa pun untukmu</i>, pikirmu</div>
<div>
Bahkan yang tak mungkin pun engkau mau</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Kau petik satu demi satu daunnya</div>
<div>
Kau pangkas setiap inci batangnya</div>
<div>
Kau cabut setiap helai akarnya</div>
<div>
Kau biarkan mengering dan merana</div>
<div>
Akhirnya kau bakar mereka</div>
<div>
Dan ke laut kau sebarkan abunya</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Hingga suatu saat tiada lagi di hatimu jejak dirinya</div>
<div>
Dengan wajahnya yang selalu cantik dia datang tiba-tiba</div>
<div>
<i><br /></i></div>
<div>
<i>Aku merindukan teduhnya tanamanmu itu</i></div>
<div>
<i>Maukah kau hidupkan kembali untukku?</i></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<div>
<i>Aku akan lakukan apa pun untukmu</i>, pikirmu<br />
Bahkan yang tak mungkin pun engkau mau</div>
</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<i>Bisakah kau bantu kumpulkan serpihan abu di lautan luas? </i>tanyamu</div>
<div>
<i>Akan aku dayungkan sampan untukmu</i></div>
<div>
Dan dia pun tersedu di bahumu</div>
<div>
Tapi itu tiada arti lagi bagimu</div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-64653007356828339352015-03-11T06:55:00.001+07:002015-03-11T07:31:36.300+07:00Dari Investasi Menuju Inovasi<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat Penanaman Modal Asing (PMA) pada
2014 sebesar Rp 307 triliun. Dari gelaran APEC di Tiongkok beberapa waktu yang
lalu, Presiden Joko Widodo pun membawa “oleh-oleh” investasi asing sebesar
lebih dari Rp 300 triliun. Dengan kondisi keuangan negara yang pas-pasan, bisa
dimengerti jika pemerintah agresif menarik investasi asing untuk membiayai visi
poros maritim yang akan menjadi narasi pokok pemerintahannya. Namun, tanpa
mengerdilkan “prestasi” tersebut, Indonesia telah sejak lama menjadi primadona
para investor asing. Para pendahulu Jokowi berhasil menarik investasi asing
senilai ribuan triliun rupiah untuk ditanamkan ke dalam sektor pertambangan,
minyak dan gas, telekomunikasi, perbankan, dan perkebunan. Investasi tersebut
memang kemudian bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga awal
1990-an, namun kemudian stagnan pada level pendapatan menengah sehingga
Indonesia dianggap mengalami jebakan kelas menengah (</span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">middle income trap</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Di
sisi lain, para pelaku bisnis lokal kini gemetar menghadapi Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) yang akan berlaku pada akhir tahun 2015. Fenomena ini bisa menjadi
indikasi bahwa investasi asing yang begitu besar di masa lalu gagal dimanfaatkan
sebagai instrumen dan fasilitas untuk membuat bangsa ini berdaya. Dalam hal
pengembangan teknologi misalnya, alih-alih terjadi pembelajaran, investasi
asing justru membuat pelaku usaha lokal tersingkir dan masyarakat kian
bergantung pada pasokan teknologi dari luar negeri. Padahal, teknologi adalah
kunci utama agar sebuah entitas bisnis menjadi kompetitif. Oleh karena itu, pertanyaan
besar yang perlu dijawab oleh Jokowi adalah, bagaimana mengonversi besaran
investasi menjadi daya dorong inovasi?</span></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt; line-height: 115%;">Inovasi
bisa dimaknai sebagai pengejawantahan ilmu pengetahuan ke dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat, termasuk aktifitas ekonomi. Wujud inovasi bisa berupa penciptaan
dan penggunaan teknologi, cara kerja organisasi, dan proses produksi. Inovasi dimungkinkan jika terdapat
pembelajaran di dalam diri para pelaku ekonomi sehingga terjadi peningkatan
kapasitas teknologis dan pengorganisasian kapital. Telah terbukti di Asia Timur
hingga Skandinavia, inovasi adalah jalan terbaik untuk memperbaiki nasib sebuah
bangsa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Di
forum APEC tersebut, sembari menyatakan Indonesia terbuka bagi bisnis, Jokowi
juga menegaskan akan tetap mendahulukan kepentingan nasional. Dari perspektif
inovasi, kepentingan nasional tidak hanya berupa kepemilikan sebuah fragmen
aktivitas ekonomi, tetapi lebih kepada penguasaan teknologi pada aktivitas
tersebut. Dalam hal pengelolaan blok migas misalnya, perlindungan kepentingan
nasional tidak hanya tentang siapa yang menjadi pemilik blok tersebut, tapi lebih
kepada siapa yang memasok dan mengelola teknologinya. Para pemasok dan
pengelola teknologi inilah penikmat nilai tambah tertinggi. Selain itu, jika
suatu saat nanti aktivitas ekonomi di tempat tersebut telah berhenti, kapabilitas
teknologi bisa dialihkan untuk bidang yang lain. Pendeknya, pemerintah perlu mengubah
paradigma nasionalisme ekonomi dari sekedar kepemilikan menjadi kebisaan. Mengutip
istilah B. J. Habibie, pemerintah harus merebut jam kerja. <o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sementara
itu, investasi asing tidak bisa dimaknai secara sempit hanya berupa aliran
dana. Menanamkan modal berarti bahwa para investor asing juga membawa serta
ilmu pengetahuan, teknologi, dan cara kerja mereka ke dalam negeri. Ini yang
membuat mengapa meski terdapat ribuan pabrik berteknologi tinggi bertebaran di
berbagai wilayah, para pelaku usaha teknologi lokal belum bisa terlibat aktif ke
dalam aktivitas produksi mereka. Sebagian besar teknologi dan bahan baku yang
dipakai masih diimpor. Oleh karena itu, jika Jokowi ingin memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi rakyat, dia harus meletakkan investasi asing tersebut
pada kerangka pembelajaran bagi para pelaku usaha lokal. <o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sejauh
ini, niat pemerintah untuk memajukan industri nasional salah satunya
ditunjukkan oleh regulasi tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mendorong
pelaku usaha lokal menjadi penyedia material, tenaga kerja, dan alat kerja pada
proyek-proyek pengadaan pemerintah. Namun sejak diterapkan pada 2009, regulasi TKDN
dikritik karena industri lokal mendapat remah-remahnya saja. Komponen utama
yang bernilai tinggi masih berasal dari luar negeri. <o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sementara
itu, para pelaku industri besar, baik lokal maupun asing, sebenarnya tidak
keberatan memanfaatkan material dan bahan baku yang dipasok oleh pengusaha lokal.
Mereka pun sadar bahwa kerjasama dengan pelaku usaha lokal akan memperkuat
ikatan sosial dengan lingkungan sekitarnya, selain potensi keuntungan dari
penghematan biaya. Salah satu kendala yang sering dihadapi adalah kontrol
kualitas. Selain itu, kalaupun ada perusahaan lokal yang mampu memenuhi
permintaan seperti standar, belum tentu bisa memroduksi sesuai dengan volume
yang diinginkan karena kekurangan modal. Yang lebih menyedihkan, ketika ada
perusahaan lokal yang mampu memroduksi sesuai standar dan volume yang diminta, kerjasama
tidak terwujud lantaran kedua pihak tersebut tidak saling kenal. <o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Oleh
karena itu, setelah berhasil membujuk para investor asing untuk menanamkan
modalnya, tugas pemerintahan Jokowi selanjutnya adalah membumikan investasi
asing tersebut. Pemerintah perlu melakukan pengembangan kapasitas (<i>capacity building</i>) bagi para pelaku
usaha lokal, baik dalam aspek teknologis maupun pengorganisasian kapital. Para
peneliti kita, baik di lingkungan akademik maupun lembaga riset pemerintah, bisa
diikutsertakan untuk berbagi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mereka
kembangkan. Para ahli manajemen dan keuangan pun perlu dilibatkan agar para
pelaku usaha lokal bisa bersahabat dengan lembaga-lembaga finansial. Selanjutnya,
pemerintahan Jokowi bisa berperan sebagai “biro jodoh” yang mempertemukan para pihak
yang terkait agar mereka bisa saling mengenal dan kemudian “ngobrol”, sehingga terbukalah
peluang-peluang baru yang bisa dikembangkan lebih lanjut. <o:p></o:p></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Upaya
ini bisa dimulai dengan langkah-langkah sederhana pada skala kecil sebagai
wahana belajar bersama bagi kalangan birokrasi, akademik, dan bisnis. Misalnya,
pemerintah memfasilitasi agar industri-industri besar di daerah Pantura bisa
terhubung dengan para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) logam di daerah
Tegal dan Cirebon. Bahkan, lebih sederhana lagi, pemerintah bisa mendidik agar
warga di sekitar pabrik menjadi penyedia jasa katering profesional, sehingga
bisa jadi suatu saat nanti mereka akan mengembangkan industri kuliner di daerah
tersebut. Setelah skema yang sederhana bisa dijalankan dengan baik, berikutnya
bisa ditingkatkan untuk skema kerjasama dengan kompleksitas yang lebih tinggi.</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6.0pt;">
<span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pemerintah
perlu memupuk dan membina inisiatif-inisiatif sederhana seperti ini sehingga skala
kapital dan nilai tambah teknologinya terus meningkat dari waktu ke waktu. Harapannya,
di masa depan kita tidak lagi membahas jumlah tenaga kerja yang bisa diserap
dari investasi asing, tapi berapa banyak industri lokal yang bisa ditumbuhkan
darinya. </span><span style="font-family: Segoe UI, sans-serif;"><o:p></o:p></span></span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-34206672534688762462015-03-09T11:56:00.002+07:002015-03-09T12:01:32.647+07:00Kolaborasi<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: Helvetica, Arial, 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
Pemberantasan korupsi selama ini gagal karena KPK bertindak sendirian, seperti jagoan tunggal di film-film laga. Secara kebetulan masyarakat kita juga terbuai dengan "keberhasilan" semu karena diperlihatkan tontonan KPK bisa menangkap si ini dan si itu. Padahal, jumlah dan skala kasus yang diperiksa cuma segelintir. Pun tidak jarang kasus-kasus tersebut pesanan dari penguasa atau kelompok tertentu untuk membungkam lawan politiknya.</div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-family: Helvetica, Arial, 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jangkauan tangan KPK sebenarnya<span class="text_exposed_show" style="display: inline;"> sangat kecil. Akibatnya KPK pilih-pilih, hanya bisa memproses kasus-kasus tertentu. Begitu banyaknya korupsi yang dilakukan secara terang-terangan, seperti di DKI Jakarta, memperlihatkan bahwa para koruptor tidak takut KPK. Sehingga, di kalangan para maling uang negara, berlaku pameo: hanya mereka yang lagi apes yang ketangkep KPK.</span><br />
<a name='more'></a><span style="line-height: 19.3199996948242px;">Akhirnya, didukung oleh media dan orang-orang yang mengklaim kelompok anti-korupsi, pihak penguasa menjadikan KPK sebagai panggung sandiwara pemberantasan korupsi. KPK pun dipakai untuk "membonsai" upaya pemberantasan korupsi: tampak indah, tapi sebenarnya cuma pohon hiasan yang tidak punya akar yang kuat dan dahan-dahan yang kokoh. KPK juga seperti morfin: rasa sakit memang berkurang, tapi penyakitnya makin parah.</span></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-family: Helvetica, Arial, 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sementara itu, dalam hal pemberantasan korupsi, Polri & Kejaksaan seperti raksasa yang tertidur. Lihatlah, Polri & Kejaksaan punya jari-jemari yang menjangkau hingga ke pelosok negeri. Para koruptor baru akan benar-benar takut kalau KPK bisa bersinergi dengan Polri & Kejaksaan.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kewenangan Polri & Kejaksaan pun lebih luas dibandingkan KPK yang terbatas untuk jenis pidana dan jabatan tertentu. Pada kasus penyelundupan anggaran, misalnya, KPK tidak bisa menangani jika tidak ada suap atau kerugian negara. Sementara itu, walaupun anggaran belum dibelanjakan (sehingga tidak ada kerugian negara) dan seandainya tidak ada indikasi suap, Polri bisa memproses penyelundupan tersebut menggunakan pasal pidana.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Tapi, tentu upaya kolaborasi KPK, Polri, dan Kejaksaan tidak mudah. Ada berbagai persoalan di antara ketiga institusi tersebut yang harus dijembatani. Sekarang juga ada pihak-pihak yang sedang mati-matian menjegal upaya kolaborasi ini, baik melalui jalur politik, media, dan socmed.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Beware.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
*** ini adalah status fesbuk saya 3 Maret yang lalu.</div>
</div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-47954487373335792242015-02-27T00:53:00.000+07:002015-02-27T03:07:02.942+07:00Mengukur Innovativeness<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Dalam bidang inovasi dan kewirausahaan, salah satu persoalan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana mengukur <i>innovativeness </i>sebuah produk. Persoalan ini ada di perusahaan besar yang telah mapan saat mengembangkan produk mereka, maupun menilai <i>start-up</i> seperti yang diceritakan oleh Pak Budi Rahardjo dengan judul <a href="https://rahard.wordpress.com/2013/09/05/nasib-juara-juara/">"Nasib Juara-Juara</a>". Oleh karena masalah ini memang cukup pelik dan penting, Bruno Latour bersama sebuah tim bernama PROTEE juga pernah membuat publikasi yang dia sebut (bukan judul) "<a href="http://www.bruno-latour.fr/sites/default/files/PROTEE%20FINAL.pdf"><i>A Method for Following Innovation</i></a>" (2000).</span><br />
<a name='more'></a><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Oia, sepertinya saya perlu kenalkan Bruno Latour secara singkat. Dia adalah sosiolog Perancis yang mengembangkan keilmuan Actor Network Theory. Bidang ini berawal dari pengamatan pada fenomena pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat. Akhirnya bidang ini bersinggungan erat dengan isu-isu inovasi. Inovasi sendiri, menurut pengertian saya, ditandai dengan pihak lain yang memberikan apresiasi positif (misalnya purchase order, jual-beli cash, kontrak kerjasama, dsb.). </span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Dalam memahami inovasi, Latour melemparkan preposisi bahwa inovasi akan terjadi jika pelaku inovasi (sang "inovator") memperlakukan sisi sosial dan teknis secara </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">simetri. Dalam hal kewirausahaan teknologi, ini berarti pula memperlakukan problem di pasar dan solusi teknologinya secara bersamaan dan dengan effort yang sama besar. Oleh karena itu, saya rangkum dari publikasi tersebut, Latour mengembangkan dua indikator inovasi: <i>realisability </i>dan <i>negotiability.</i> </span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><b><i>Realisability </i></b>berkaitan erat dengan bagaimana seseorang atau organisasi usaha bisa mengupayakan agar gagasannya bisa direalisasikan. Untuk mengetahui aspek <i>realisability </i>ini kita bisa bertanya, misalnya: apakah si "inovator" tersebut memiliki pengetahuan dan keahlian (craft/skill) yang cukup untuk mengembangkan produk dan memodifikasinya; apakah bahan bakunya tersedia dan terjangkau; apakah alat-alat yang diperlukan bisa diakses; dan sebagainya. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sementara itu, <i><b>negotiability</b> </i>kira-kira berarti tentang bagaimana penerimaan pihak lain atas produk. Pihak lain ini bisa calon konsumen, calon supplier bahan baku, calon investor, board of director (jika di perusahaan besar), bagian lain di perusahaan (misalnya pihak marketing atau operasional), infrastruktur distribusi dan konsumsi (misalnya ketersediaan listrik bagi alat elektronik tertentu), dan lain-lain. Di sini bukan hanya dilihat seperti apa peluang penerimaannya, tapi juga upaya apa yang bisa dilakukan agar "jendela" penerimaan tersebut membesar. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Bisa dikatakan bahwa <i>realisability </i>lebih dekat kepada sisi teknis dari inovasi, sedangkan <i>negotiability</i> cenderung berada di ranah pasar. Namun, sebenarnya kedua indikator ini tidak berada dalam posisi yang diam terhadap teknologi dan pasar. Artinya, keduanya selalu bergerak secara dinamik sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi. Misalnya, ada seseorang mengembangkan produk elektronik untuk keperluan di pemerintahan. Dari parameter realisability, gagasan tersebut dianggap cukup mumpuni karena pembuatnya memiliki pengetahuan dan keahlian, bahan baku mudah didapatkan, dan tersedia alat-alat yang dibutuhkan untuk produksinya. Namun, ada satu hal yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika order dari pemerintahan berhenti? Apakah produk ini lantas tidak diproduksi lagi dan kemudian perusahaan gulung tikar? </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Untuk menjawab hal ini, sisi teknologi menawarkan solusi agar produk tersebut memiliki kemampuan <i>negotiability </i>yang lebih tinggi. Caranya, misalnya, dengan mengembangkan fungsinya bukan hanya untuk pemerintahan tapi juga untuk sektor swasta. Meminjam istilah de Bruijn, ini adalah trik <i>enlarging the pie</i>. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Persoalan lain dalam aspek <i>realisability </i>dan <i>negotiability </i>ini juga terkait dengan bagaimana mengatasi kegagalan "sistem" yang dibangun. Maksudnya, sebuah produk dibuat melalui sistem pola kerja tertentu. Ia melibatkan relasi dengan berbagai macam alat teknis (artifak) dan pihak-pihak lain (misalnya supplier bahan baku, infrastruktur, distributor, vendor alat, dsb.). Jika salah satu elemen terganggu, maka bisa menghambat kegiatan usaha. Sebuah sistem akan memiliki </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">durability </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">yang baik jika, salah satunya, aspek <i>realisability </i>dan <i>negotiability</i> dikelola dalam sebuah struktur yang memiliki banyak opsi. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Selain itu, pergerakan antara pasar dan teknis tidak berjalan searah (linier), tapi secara bolak-balik (</span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">feedback loop</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">) dari waktu ke waktu. </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Terlalu berat ke sisi pasar akan membuat seseorang atau perusahaan kewalahan saat harus mengelola input dari pasar ke dalam modifikasi teknologi. Sebaliknya, terlalu fokus ke teknologi akan berisiko melempar produk yang tidak dibutuhkan oleh pasar. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Akhirnya, untuk menjawab persoalan yang dilempar oleh Pak Budi Raharjo di atas, perlu ada perbaikan rumusan untuk menilai <i>innovativeness </i>dari sebuah produk yang ditawarkan. Saat ini orang-orang sudah mulai sadar bahwa aspek manusia perlu diberikan bobot lebih tinggi. Ini adalah suatu kemajuan dibandingkan sebelumnya yang lebih fokus kepada aspek produk. Pertimbangan lain yang dipakai adalah bahwa produk sebuah perusahaan bisa berganti-ganti, oleh karena itu fokus kepada kualitas produk saja tentunya tidak bisa menangkap <i>competitiveness </i>perusahaan secara lengkap. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pertanyaannya adalah, aspek manusia seperti apa yang harus diperhatikan? </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Jika mengambil kedua indikator yang ditawarkan oleh Latour di atas, maka setidaknya sang manusia (atau beberapa manusia) harus memiliki kemampuan untuk membuat sebuah produk yang <i>realisable </i>dan <i>negotiable</i>. Sebagai contoh, produk <a href="http://www.efishery.com/">eFishery</a> bisa berhasil karena ada seseorang yang cakap memetakan kebutuhan di pasar dan bagaimana "menjual" gagasan, dan seseorang lain yang memiliki kapasitas teknis untuk menerjemahkan kebutuhan pasar tersebut menjadi solusi produk teknologi. Pemetaan kebutuhan pasar dalam produk tersebut berdasarkan pengetahuan tentang perikanan dan ekologi yang cukup padat yang dikombinasikan dengan pengamatan sosial yang cukup cermat. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Kualitas </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">realisability </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">dan </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">negotiability </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">yang dipunyai oleh manusia-manusia ini kemudian tercermin ke dalam produk teknologi yang juga memiliki nilai </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">realisability </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">dan </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">negotiability. </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Pemahaman ini merupakan konsekuensi atas komitmen untuk memperlakukan teknologi dan manusia secara simetri. Teknologi adalah hasil karya manusia, dan manusia mengembangkan konsep atas dunia sekitarnya juga berdasarkan teknologi yang melingkupinya. Oleh karena itu, penilaian tentang aspek manusia tidak terlepas dari kualitas teknologi yang dihasilkan, begitu pula penilaian aspek teknologinya tidak bisa terpisah dari kapabilitas manusianya.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Akan muncul pula pertanyaan, lalu bagaimana kita menilai sebuah produk (atau gagasan) teknologi? Jika menggunakan indikator <i>realisability </i>dan <i>negotiability</i>, maka yang paling perlu diperhatikan adalah bagaimana proses terbentuknya gagasan atau produk tersebut. Misalnya, apakah ia didekati melalui serangkaian pengerucutan (konvergensi) pengetahuan dan pengalaman yang cukup kaya, atau hanya sekedar lompatan pikiran? </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Dari sisi </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">negotiability</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">, </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">apakah gagasan tersebut muncul dari interaksi dengan berbagai macam pihak, atau cuma hasil sikap "sok tahu" dari pelaku inovasi? </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Pertanyaan ini bisa dipakai untuk memperkirakan berapa magnituda (skala) dan variasi pihak-pihak yang berpeluang menerimanya.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Dengan indikator </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">realisability </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">dan </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">negotiability </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">ini pula kita bisa melihat mengapa aktivitas kewirausahaan membutuhkan kolaborasi. Jarang sekali ada satu orang yang bisa mengelola semua aspek </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">realisability </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">dan </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">negotiability </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">secara lengkap. Steve Jobs bekerjasama dengan Wozniak untuk membuat <i>blue box </i>dan akhirnya mereka menciptakan Apple I. Begitu juga ketika Zuckerberg harus menghadapi situasi yang semakin kompleks dalam membesarkan Facebook, dia mengajak </span><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Eduardo Saverin, Andrew McCollum, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes. Ini menunjukkan bahwa sebuah gagasan akan semakin matang jika dikelola bersama-sama. </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"> </span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Agak sulit memang untuk merumuskan hal ini secara ringkas. Pasalnya, seperti juga dialami oleh Johann Fuller (</span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Kepala Inovasi dan Kewirausahaan Universitas Innsbruck, Austria; dan Direktur HYVE Company) di SBM ITB beberapa waktu yang lalu, </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">persoalan inovasi memang memiliki ketidakpastian yang tinggi, sehingga </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">tidak ada rumusan yang saklek dalam menilai sebuah gagasan. </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Ada sisi-sisi spekulasi saat menilai prospek sebuah teknologi.</span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"> Artinya, selain indikator-indikator tertentu yang coba dikembangkan, ada pula ruang-ruang penilaian yang dibiarkan tetap longgar dan kemudian diisi dengan <i>judgment </i>yang didapat secara eksperensial oleh para penilainya</span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Perspektif ini juga mengindikasikan bahwa proses penilaian sebuah gagasan harus disertai dengan meletakkan gagasan tersebut di dalam ruang yang dinamis. Ini berarti kita perlu melihat bagaimana gagasan tersebut berrelasi "ke dalam" (aspek <i>realisability</i>) dan berinteraksi "ke luar" (<i>negotiability</i>).</span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">[]</span>Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-66711146151020340162015-02-25T21:20:00.002+07:002015-02-25T21:56:48.993+07:00Ekonomi Kreatif: Pembelajaran dan Kolaborasi Melalui Sistem Pasar <span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">***Artikel ini telah dimuat di <a href="http://www.idcewatch.com/pembelajaran-dan-kolaborasi-melalui-sistem-pasar/">IDCE Watch</a>.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<h3>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Introduksi</span></h3>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Tulisan ini
membahas tentang konsep pengembangan ekonomi kreatif dari 2 perspektif:
pembelajaran dan kolaborasi antar pelaku usaha kreatif. Penekanan pada tulisan
ini adalah pada upaya-upaya pembelajaran dan kolaborasi melalui sistem pasar. Posisi
ini diambil karena penulis melihat bahwa berbagai upaya pengembangan ekonomi
kreatif selama ini cenderung memperlakukan aktifitas kreatif dalam ranah normatif,
sosial, dan akademik, bukan dalam ranah ekonomi. Menempatkan ke dalam ranah
ekonomi artinya adalah menempatkan dinamika kegiatan kreatif ke dalam sistem
pasar. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sementara itu, mekanisme
yang berlaku di ranah pasar ada dua, yaitu profit dan risiko. Semakin besar
risiko yang diambil oleh pelaku usaha, maka pembelajarannya pun akan semakin
banyak. Artinya, skala ekonomi sebuah usaha kreatif berbanding lurus dengan
kemampuan mengelola risiko. Demikian pula aspek kolaborasi akan mengikuti
ketika pelaku usaha memandang perlu bekerjasama dengan pelaku lainnya untuk
mengelola risiko tersebut. Oleh karena itu, terkait kebijakan, melalui
perspektif pasar ini penulis mencoba membahas hal-hal apa saja yang perlu
diperhatikan agar akselerasi pengembangan ekonomi kreatif bisa lebih cepat. <o:p></o:p></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: center;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">***<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Ekonomi kreatif
bisa diartikan sebagai membawa kreatifitas ke dalam sistem pasar. Kreatifitas
disusun setidaknya oleh 3 hal: pengetahuan, keahlian (<i>craft</i> atau <i>skill</i>), dan
gagasan kreatif. Sementara itu, di dalam sistem pasar terdapat 2 mekanisme:
profit dan risiko (Gambar 1). Artinya, seseorang atau organisasi (firma)
bersedia atau berkehendak berkecimpung di pasar karena dia bisa melihat potensi
profit dan mampu mengelola risiko yang mungkin dihadapi. Oleh karena itu, bisa disimpulkan
secara kasar bahwa seseorang atau organisasi disebut sebagai pelaku usaha
kreatif yang unggul jika mampu mengelola (melakukan kalkulasi dan mitigasi)
profit dan risiko di pasar. <span style="font-size: 9.5pt;"><o:p></o:p></span></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1nSLUVRGBdedy7j1InWnmlKT2AtaEeZ0M_S8CsdqJzFr-rldC2HMwKxakhoKLqfHvKGpNbyX0_-eSvF6_3ipWFJ90UtsqsXnIqTDw_Ni_MOddl5cH9Oqcw-slnoRv0MqFsJflWsjeiLQ/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1nSLUVRGBdedy7j1InWnmlKT2AtaEeZ0M_S8CsdqJzFr-rldC2HMwKxakhoKLqfHvKGpNbyX0_-eSvF6_3ipWFJ90UtsqsXnIqTDw_Ni_MOddl5cH9Oqcw-slnoRv0MqFsJflWsjeiLQ/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+1.jpg" height="206" width="400" /></a></div>
<a name='more'></a><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Berdasarkan
preposisi di atas, industri kreatif akan berkembang menjadi sebuah tatanan
ekonomi yang tangguh jika para pelaku usahanya dari waktu ke waktu belajar
untuk mengelola risiko (dan profit) yang lebih besar. Sebenarnya, preposisi ini
tidak berbeda dengan sektor ekonomi yang lain, seperti pertanian atau
manufaktur. Namun, sektor kreatif memiliki karakter risiko yang berbeda, sehingga
dipandang mempunyai tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi. Oleh karena itu,
pengelolaan sektor kreatif harus dilakukan melalui cara-cara yang berbeda
dibandingkan sektor lainnya. Karena dinamikanya yang sulit diprediksi, tidak
bisa mengunakan model </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">supply-demand</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"> konvesional,
perencanaan melalui proyeksi-proyeksi linier seperti di sektor manufaktur menjadi
kurang bermakna ketika diterapkan ke sektor kreatif. Upaya pengelolaan sektor
kreatif akhirnya disebut sebagai </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">managing
the un-manageable</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">. Ini membuat perencanaan ekonomi kreatif menjadi cukup
rumit, dan jika tidak hati-hati bisa jadi malah akan menghambat pertumbuhannya.</span><br />
<h3>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Meninjau Masa Lalu</span></h3>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Terkait kebijakan
ekonomi kreatif, sebuah tulisan yang membandingkan dukungan pemerintah di
beberapa negara telah dibuat oleh <a href="http://www.idcewatch.com/dukungan-kebijakan-ekonomi-kreatif/">Gustaff H. Iskandar</a> dengan cukup
komprehensif. Untuk konteks Indonesia perlu kiranya kita meninjau kembali upaya
di masa lalu. Beberapa kritik bagi kebijakan di masa lalu bisa saya berikan
sebagai berikut:</span><br />
<ol>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Kementerian
Kemenparekraf (nomenklatur di era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono)
menerbitkan dua buah dokumen <i>blue print</i>
ekonomi kreatif. Masing-masing memiliki ketebalan 411 dan 372 halaman. Selain
masalah ketebalan, pemaparan dalam dokumen ini terasa bertele-tele, sehingga
malah menyulitkan para pelaku usaha kreatif untuk memahaminya. Sungguh ironis,
dokumen yang seharusnya menjadi wahana pembelajaran bersama justru menjadi
penghambat. Selain itu, sebagai sebuah dokumen rencana, ia tidak memuat
langkah-langkah yang kongkret (siapa/apa melakukan apa), sehingga wajar jika para
pelaku yang terlibat akan kesulitan memposisikan diri. Sebagai referensi, kita bisa
menengok ke dokumen ekonomi kreatif Finlandia (</span><a href="http://www.luovasuomi.fi/file_attachment/get/creative_economy_web_uusi3.pdf?attachment_id=33" style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">30 halaman</a><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">) dan Jerman (</span><a href="http://www.crea-re.eu/wp-content/uploads/2012/09/CCI-Germany-2010_EN.pdf" style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">32 halaman</a><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">) yang ringkas dan .</span></li>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Dukungan
pemerintah di ekonomi kreatif umumnya terbagi menjadi 3: </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">event </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">(promosi dan pertunjukan), </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">capacity building </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">(pelatihan dan beasiswa), dan mengembangkan
infrastruktur. Namun, upaya tersebut belum mampu mengembangkan kapabilitas para
pelaku usaha kreatif secara signifikan. Salah satu sebabnya adalah berbagai
upaya tersebut dilakukan melalui skema sosial, tanpa ada kegiatan </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">risk taking </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">di dalamnya. Contohnya,
program pelatihan yang dibuat gratis memang menarik banyak orang untuk ikut
serta. Namun, siapa yang tidak mau diberi sesuatu yang gratis? Bahkan, lebih
parah karena program-program pemerintah untuk </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">capacity building </i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">sekedar untuk menghabiskan anggaran, tanpa ada
desain yang baik. Sementara, apakah ia bisa mendongkrak kapasitas pelaku usaha
itu persoalan lain. Alhasil pembelajaran pelaku usaha kreatif berjalan lambat, dan
pada gilirannya membuat perkembangan industri kreatif di Indonesia terbata-bata
jika dibandingkan negara-negara tetangga.</span></li>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Pemerintah
memang telah memetakan beberapa masalah terkait sektor-sektor pendukung ekonomi
kreatif, seperti lembaga finansial dan perpajakan. Namun, belum ada upaya
serius untuk menjembatani antara pelaku usaha kreatif dengan pelaku penyedia
produk/jasa pendukung tersebut. Padahal, pelaku usaha swasta di Indonesia
sebenarnya bisa memberikan dukungan yang cukup besar jika diikutsertakan ke
dalam agenda ekonomi kreatif. Dalam bidang pembiayaan misalnya, belum tampak
upaya pemerintah untuk membuat agar sektor usaha kreatif menjadi ramah bagi
investor dan bank.</span></li>
</ol>
</div>
<h3>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pembelajaran dan Kolaborasi Melalui Interaksi di Pasar </span></h3>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Berkenaan dengan aspek
kebijakan ini, kita perlu kembali kepada preposisi di atas, yaitu bahwa ekonomi
kreatif adalah upaya membawa kreatifitas ke dalam sistem pasar. Oleh karena
itu, prinsip dukungan oleh pemerintah harus menggunakan cara-cara yang sesuai
dengan sistem pasar (Gambar 2). <span style="font-size: 9.5pt;"><o:p></o:p></span></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFiSzauRyCxr755o2Y8KuRP87FPm7gYKiRMTxD8ihnfxQ7hr6G2UvJGzEecWQZwVXmXcIjgqG-QhR4v9cVa7Q_JXWWcsncpLMLxlqJaz4LC3mntB0YmKBbxrZWHOe8zTocIbtv0800-vY/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFiSzauRyCxr755o2Y8KuRP87FPm7gYKiRMTxD8ihnfxQ7hr6G2UvJGzEecWQZwVXmXcIjgqG-QhR4v9cVa7Q_JXWWcsncpLMLxlqJaz4LC3mntB0YmKBbxrZWHOe8zTocIbtv0800-vY/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+2.jpg" height="261" width="400" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Secara umum,
dukungan pemerintah bagi pelaku usaha kreatif memiliki dua tujuan. Tujuan <i>pertama</i> adalah mengembangkan sistem pembelajaran
dalam hal pengelolaan profit dan risiko, memperbesar nilai tambah produk,
meningkatkan produktifitas, dan memunculkan inisiatif-inisiatif. Kapasitas pembelajaran
ini kemudian berwujud dalam upaya-upaya manajerial serta penguasaan pengetahuan
dan teknologi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Tujuan <i>kedua</i> adalah mendorong kolaborasi antar
pelaku usaha dengan keahlian yang berbeda dan <i>platform </i>aktifitas yang berbeda. Misalnya, kolaborasi antara pelaku
usaha kreatif dengan lembaga finansial, penyedia jasa media, dan kontraktor
infrastruktur. Kolaborasi ini menjadi keharusan karena umumnya sektor kreatif
dituntut bisa membuat produk-produk yang <i>highly
customised,</i> berbeda dari waktu ke waktu sesuai kebutuhan dan situasi, sehingga
integrasi vertikal yang lazim dilakukan di industri manufaktur menjadi tidak
efisien. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Karena berada di
ranah pasar, maka kedua tujuan tersebut harus dicapai melalui interaksi di
sistem pasar pula. Artinya, proses pembelajaran dan kolaborasi di antara para
pelaku usaha kreatif dibentuk melalui aktifitas mengelola risiko untuk
mendapatkan profit tertentu. Di sini, pemerintah bisa memberikan dukungan agar
risiko menjadi mudah dimitigasi dan profit menjadi jelas terlihat. Dengan
demikian, sistem insentif dan disinsentif pasar bekerja dengan optimal. <span style="font-size: 9.5pt;"><o:p></o:p></span></span></div>
<h3>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sektor Pendukung: Dukungan Pemerintah vs. Pelibatan Swasta</span></h3>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Hal berikutnya yang
perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah bagaimana mendorong sektor swasta
agar ikut aktif menyukseskan agenda ekonomi kreatif (Gambar 3). Para pelaku
usaha swasta di Indonesia telah memiliki berbagai macam kemampuan yang bisa
mendukung sektor kreatif. Contohnya adalah dalam hal pengelolaan <i>event </i>(promosi dan pertunjukan),
pembiayaan, penyediaan media kreatif (panggung dan galeri), dan infrastruktur
pendukung (transportasi, logistik, dan teknologi informasi). <span style="font-size: 9.5pt;"><o:p></o:p></span></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgn7ntmJmQqzP-GEb60L4rH5BcU7FViysyiZr2Ql4uR9drLQ6wMPzc0cdprrw-uE3HhcR-801gMsUcU5k8J8b2xWwznBt9eZ1NI9rWbqHH163NDkoV1qyxpeGd-JXgXiYu_AcEdLnmlaVY/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+3.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgn7ntmJmQqzP-GEb60L4rH5BcU7FViysyiZr2Ql4uR9drLQ6wMPzc0cdprrw-uE3HhcR-801gMsUcU5k8J8b2xWwznBt9eZ1NI9rWbqHH163NDkoV1qyxpeGd-JXgXiYu_AcEdLnmlaVY/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+3.jpg" height="260" width="400" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Dengan
mengikutsertakan swasta secara aktif untuk mendukung agenda ekonomi kreatif,
maka tugas pemerintah bisa lebih ringan. Dukungan pemerintah bisa difokuskan
untuk mendorong terjadinya interaksi pembelajaran dan kolaborasi di antara
pelaku usaha kreatif dan sektor pendukungnya. Misalnya, pemerintah bisa fokus
kepada <i>capacity building </i>dan membantu
mitigasi risiko usaha kreatif, sehingga ketidakpastian bisa dikurangi. Mitigasi
risiko ini misalnya melalui asuransi investasi, mempermudah pengurusan legalitas
produk kreatif, serta standarisasi dan sertifikasi. Harapannya, ketika
ketidakpastian bisa diminimalkan dan profit menjadi jelas terlihat, berbagai
pihak yang terkait dengan sektor kreatif akan tertarik untuk terlibat secara
aktif. <span style="font-size: 9.5pt;"><o:p></o:p></span></span></div>
<h3>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><i>Event</i> Sebagai <i>Tipping Point</i> Pengembangan Kapasitas </span></h3>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Salah satu bentuk
dukungan yang sering dilakukan oleh pemerintah adalah membuat <i>event-event </i>kreatif. Biasanya, <i>event</i> tersebut diharapkan bisa menjadi ajang
promosi bagi berbagai pihak terkait. Misalnya, berbagai acara pameran kerajinan
cukup sering dilakukan dan memang mampu menarik minat banyak pengunjung. Skala
transaksinya pun cukup besar, sehingga pameran-pameran tersebut selalu diadakan
kembali dari tahun ke tahun. Namun, jika diamati lebih lanjut, kapasitas para
pelaku usaha kreatif yang terlibat di acara tersebut tidak mengalami
perkembangan yang berarti. Indikasinya, tidak jarang ditemui mereka kewalahan
ketika mendapatkan pesanan dari luar negeri untuk jumlah dan kualitas tertentu.
Pendeknya, berbagai <i>event</i> tersebut
gagal menjadi <i>tipping point</i> (meminjam
istilah Malcolm Gladwell) bagi perkembangan usaha kreatif (Gambar 4).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><i>Tipping point </i>bagi perkembangan
industri kreatif bisa terjadi jika:</span><br />
<ol>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Titik tersebut menjadi </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">locus</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;"> (titik kritis yang menjadi </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">multiplier</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">) dalam eksosistem ekonomi
kreatif.</span></li>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Ada ‘lokomotif’ yang siap menarik
sektor-sektor lainnya.</span></li>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Pasar dan penyedia sektor pendukung
(seperti lembaga finansial dan legal) siap menangkap peluang yang ditawarkan
oleh pelaku usaha kreatif.</span></li>
<li><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Scale up</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;"> akan berjalan
jika ada insentif untuk mengembangkan diri bagi masing-masing pelaku dalam
eksositem. Karena ini dijalankan di ranah pasar, maka ia berbentuk insentif
finansial.</span></li>
</ol>
</div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiapRXSJTd_ISIkDUq95_Q3Ra0kPAUJFFa7_LDxgdhfI6hLb905kAET-xz-WxOu9YN1qISbDHAjx4q9fK42yIr2Vr6DresRJej4AvNOxcxsm0-r2iOje93tWRmRn_IZxCeYX8e8ROdK-Kk/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+4.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiapRXSJTd_ISIkDUq95_Q3Ra0kPAUJFFa7_LDxgdhfI6hLb905kAET-xz-WxOu9YN1qISbDHAjx4q9fK42yIr2Vr6DresRJej4AvNOxcxsm0-r2iOje93tWRmRn_IZxCeYX8e8ROdK-Kk/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+4.jpg" height="243" width="400" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Gambar 4 dibuat
berdasarkan <i>event </i>Social Media Festival. Ia berhasil menyemarakkan sektor usaha
media sosial di Indonesia, hingga mampu membuka mata banyak pihak tentang
potensi bisnis di bidang ini. <i>Event</i>
tersebut bisa menjadi <i>tipping point</i>
terjadi karena:</span><br />
<ol>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Berbagai pihak bisa terbuka matanya dan
kemudian menghasilkan sesuatu karena: a) </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Mereka mampu melihat </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">values</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;"> dari produk yang ditawarkan. b) </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Memiliki wewenang untuk mengambil
keputusan dan memiliki kapasitas/kemampuan untuk mengambil tindakan stratejik.</span></li>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Infrastruktur sudah siap. Dalam hal
bisnis online, infrastruktur tersebut adalah ketersediaan perangkat komunikasi
berupa </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">smartphone</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;"> secara luas,
jaringan internet & telekomunikasi yang memadahi, dan sistem pembayaran
jarak jauh (transfer, paypal, kartu kredit).</span></li>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Masyarakat sudah familiar dengan berbagai
produk berbasis internet, penggunaan social media sudah meluas, dan percaya
dengan sistem transaksi di internet. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pasar
siap menangkap produk.</span></li>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Investasi di bidang sosial media meluas
karena para investor telah memiliki gambaran tentang potensi bisnis online,
baik di Indonesia maupun di negara lain.</span></li>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -18pt;">Rantai produksi yang terlibat di
industri tersebut telah siap untuk bekerja pada skala yang lebih besar dan
kompleksitas lebih tinggi.</span></li>
<li><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif; text-indent: -17.85pt;">Telah ada pemahaman tentang standar dan
sistem kerja baku yang berlaku di industri, sehingga kualitas terjaga.</span></li>
</ol>
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Social Media Fest
ini bisa menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan pelaku usaha kreatif
saat merencanakan sebuah <i>event. </i>Dengan
perencanaan yang baik, diharapkan sebuah <i>event
</i>akan memberikan manfaat yang optimal. Niat Kepala BEKRAF, Triawan Munaf, untuk
menggunakan sektor kuliner, <i>fashion</i>,
dan musik sebagai lokomotif adalah gagasan yang baik. Namun, seperti pada
Social Media Fest, penciptaan <i>tipping
point</i> memerlukan persiapan di berbagai macam aspek terkait.<span style="font-size: 9.5pt;"><o:p></o:p></span></span></div>
<h3>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><i>Event</i> Sebagai Pendorong
Kolaborasi</span></h3>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Selain untuk
pengembangan kapasitas, <i>event </i>juga
bisa menjadi ajang kolaborasi. Senada dengan yang dijelaskan oleh Gustaff di
tulisannya beberapa waktu yang lalu, <i>event
</i>kreatif di sini juga bisa dilakukan selaras dengan kegiatan ekonomi yang
telah ada sebelumnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pada kesempatan
ini, saya mengambil contoh <i>event </i>The
Young Director Award<i> </i>(YDA) yang
diadakan oleh European Federation for Commercial Film Producers (CFP-E) sejak
1998. YDA adalah lomba pembuatan film pendek bagi para sineas muda, sehingga
bisa menjadi ajang untuk mendukung dan mempromosikan karya-karya mereka. Di acara
ini para sineas muda bisa berkompetisi sekaligus belajar dari peserta lomba
lainnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Di Indonesia juga
telah ada lomba semacam ini, seperti Eagle Awards. Namun, menurut penuturan
salah seorang pelaku usaha video di Bandung, aspek skenario masih menjadi <i>gap </i>di bidang video dan film ini.
Kemampuan produksi video bisa dikatakan sudah cukup mumpuni, tapi kualitas
skenario masih lemah. Di sisi lain, ada kemungkinan bahwa masyarakat kita
sebenarnya memiliki potensi dalam penulisan skenario, tapi selama ini potensi
tersebut belum terhubung dengan aktifitas pembuatan video. Oleh karena itu,
perlu ada upaya untuk memperkuat aspek skenario ini dengan cara menghubungkan
kapabilitas penulisan skenario dengan keahlian pembuatan video. <span style="font-size: 9.5pt;"><o:p></o:p></span></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQK9C4HPeK15wZlQs_IjeKqj0bTEuu208AMlAfn91WcR13ntAbqJApi60LhV7mGwd8aNs5KiiEziqOQnGonRnW6aKmk1KgoiK6fjU6M8i9WPTjHzv9jNpRIPjE4ycsI4mJ8DTksbSP_AM/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+5.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQK9C4HPeK15wZlQs_IjeKqj0bTEuu208AMlAfn91WcR13ntAbqJApi60LhV7mGwd8aNs5KiiEziqOQnGonRnW6aKmk1KgoiK6fjU6M8i9WPTjHzv9jNpRIPjE4ycsI4mJ8DTksbSP_AM/s1600/%232+Ekonomi+Kreatif+-+5.jpg" height="221" width="400" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sebagai contoh,
untuk mendorong kolaborasi ini pemerintah bisa mengadakan 2 buah <i>event: </i>lomba penulisan skenario video
atau film pendek; dan lomba produksi video (Gambar 5). Cara seperti ini bisa
dilakukan oleh pemerintah daerah, tidak harus dilakukan oleh pemerintah pusat. Untuk
wilayah Kota Bandung misalnya, <i>event</i>
ini bisa dijalankan bersamaan dengan kebutuhan promosi (<i>city branding</i>). Oleh karena telah dialokasikan di dalam APBD, maka
pembiayaan <i>event </i>tidak perlu diadakan
secara khusus. Pemerintah Kota Bandung bisa menentukan kriteria-kriteria
penilaian bagi kedua lomba tersebut. Hasilnya, video promosi Kota Bandung akan
dibuat secara kolaboratif oleh mereka yang menggeluti penulisan skenario
bersama dengan orang-orang yang menekuni produksi video. Jika memang
diperlukan, pemerintah bisa mengadakan program <i>capacity building. </i>Melalui pengelolaan <i>event </i>seperti<i> </i>ini,
pemerintah daerah dapat memenuhi kebutuhan untuk promosi, sekaligus bisa
menjadi katalisator terwujudnya kolaborasi di antara para pelaku usaha kreatif.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Ada beragam cara
yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pembelajaran dan kolaborasi
di ranah para pelaku usaha kreatif. Di sisi lain, institusi pasar adalah sebuah
dunia yang diliputi berbagai ketidakpastian, tidak ramah dan bahkan kejam. Oleh
karena itu, pembelajaran dan kolaborasi tersebut mutlak dibutuhkan agar
institusi pasar bisa menjadi wahana yang menyenangkan untuk berkarya.■</span><span style="font-family: "Segoe UI","sans-serif"; font-size: 9.5pt;"><o:p></o:p></span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-465773737492553642015-02-19T23:50:00.000+07:002015-02-19T23:50:11.272+07:00Kebenaran Ideal vs Kebenaran Realita: Opsi<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Dalam bukunya <a href="https://www.nytimes.com/books/first/s/sen-development.html">Development As Freedom</a>, salah satu konsep yang ditawarkan Amartya Sen adalah etika dalam pembangunan ditranslasikan dengan opsi. Konsep Sen ini berbeda dengan ideolog seperti Marx dan Friedman yang menekankan kriteria-kriteria ideal dalam perumusan konsep etika. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Menurut Sen, etika tidak bisa dijalankan hanya dengan mengacu pada kriteria ideal. Antara ideal dan realita akan selalu ada celah/<i>gap</i>. Bahkan, hampir tidak mungkin mendapatkan kriteria ideal di dalam alam nyata. Oleh karena itu, perlu ada cara pandang lain untuk menjembatinya. Alih-alih berpegangan pada kriteria-kriteria ideal, Sen mengusulkan agar pelaksanaan pembangunan memberikan opsi-opsi. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Di alam ideal, kita berbicara tentang prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria. Tapi di dunia nyata</span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"> kita harus membicarakan prinsip dan kriteria tersebut dalam bentuk opsi-opsi dan optimasi dalam bentuk kompromi-kompromi. </span><br />
<a name='more'></a><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Pandangan Sen ini bermanfaat bagi kita untuk mengamati dan menilai berbagai macam fenomena, bukan hanya ekonomi dan pembangunan. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Salah satu contohnya adalah dalam perancangan di dunia </span><i style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">engineering</i><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">. Dalam perancangan, secara teoritik kita memiliki berbagai macam prinsip dan kriteria yang ideal tentang sebuah sistem. Tapi, prinsip dan kriteria tersebut pada kenyataannya terbatasi oleh pilihan-pilihan produk yang tersedia di pasaran dan berapa banyak sumber daya yang dimiliki (misalnya dana dan pengetahuan). Oleh karena itu, yang dilakukan oleh para <i>engineer </i>adalah bagaimana melakukan optimasi dari keterbatasan tersebut. Salah satu makna optimasi adalah berkompromi atas situasi yang kita miliki. </span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Aplikasi lainnya, saya akan ambil contoh tentang Jokowi yang mengusulkan Budi Gunawan (BG) menjadi Kapolri. Jika dilihat dari sisi ideal, tentunya tindakan Jokowi ini salah. Betapa tidak, BG yang memiliki rekening gendut secara tidak proporsional terhadap gaji adalah calon yang kontroversial. Apalagi KPK sudah menetapkannya menjadi tersangka. Namun, apakah Jokowi benar-benar salah?</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Kita bisa pakai konsep Sen untuk menilai tindakan Jokowi tersebut dengan bertanya: Apakah ada opsi lain bagi Jokowi selain mengajukan BG? Dan bisa ditambah dengan pertanyaan, pertimbangan praktis apa yang menjadi pertimbangan Jokowi? Atau, berapa banyak derajat kebebasan (degree of freedom) yang bisa dipilih oleh Jokowi? </span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Menurut <a href="http://www.tempo.co/read/news/2010/06/29/063259301/Inilah-Polisi-yang-Disebut-Memiliki-Rekening-Gendut">Tempo</a>, banyak jenderal Polri memiliki rekening gendut dalam jumlah yang tidak wajar. Tidak mengherankan kemudian jika jika banyak kecurigaan terhadap integritas mereka. Singkatnya, ini berarti bahwa sangat sulit bagi Jokowi </span><span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">jika ingin mencari figur Kapolri yang bersih. Oleh karena itu, Jokowi memilih calon Kapolri bukan karena integritas, tapi karena <a href="http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150111151224-12-23826/soal-budi-gunawan-icw-jokowi-jangan-hanya-kenal-dekat/">kedekatan</a>. Mengapa kedekatan menjadi penting? Karena sebagai penguasa baru, Jokowi memerlukan konsolidasi kekuatan politik, dan BG memberikan konsolidasi yang cukup solid.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, 'Times New Roman', serif;">Dari situ, bisa dilihat bahwa kita tidak bisa menilai benar/salah keputusan Jokowi mencalonkan BG hanya dari sisi rekening gendut, karena <i>toh </i>semuanya gendut. Artinya, dari sisi opsi, tindakan Jokowi memilih BG ini tidak salah, walaupun tidak bisa pula dianggap benar. Akhirnya, kita hanya bisa mengatakan bahwa tindakan Jokowi memilih BG adalah "sebuah tindakan yang bisa dimengerti". </span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Apakah itu artinya kita harus serba permisif? Tentu tidak. Justru dengan perspektif opsi ini kita bisa menilai secara obyektif. Kita menghakimi tindakan seseorang berdasarkan pemahaman kita terhadapnya, bukan hanya kebenaran subyektif yang kita pikirkan.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">-end-</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-46299878240899570922015-02-10T03:20:00.003+07:002015-02-19T22:24:10.386+07:00Dokumen Ekonomi Kreatif Yang Tidak KreatifBarusan saya mencoba membaca cepat (<i>skimming</i>) buku ekonomi kreatif yang disusun oleh Kemenparekraf (nomenklatur kementerian jaman SBY). Ada dua dokumen, <a href="http://gov.indonesiakreatif.net/wordpress/wp-content/uploads/2014/12/RPJM_Ekonomi%20Kreatif.pdf">RPJM</a> (48 Mb) dan <a href="http://gov.indonesiakreatif.net/wordpress/wp-content/uploads/2014/10/EKONOMI%20KREATIF%20KEKUATAN%20BARU%20INDONESIA%20MENUJU%202025.pdf">RPJP</a> (126 Mb). Keduanya secara berturut-turut memiliki ketebalan 411 dan 372 halaman. Buku ini <i>colorful</i> dan penuh dengan ilustrasi yang menarik, mirip dengan dokumen MP3EI.<br />
<br />
Kesan pertama saya, kok tebal amat yak?! Lalu saya mencari dokumen ekonomi kreatif dari negara Eropa yang lebih mapan. Saya mendapatkan contoh dokumen dari beberapa negara: Jerman 32 halaman <a href="http://www.crea-re.eu/wp-content/uploads/2012/09/CCI-Germany-2010_EN.pdf">(download 900 kb)</a>, Finland 30 halaman <a href="http://www.luovasuomi.fi/file_attachment/get/creative_economy_web_uusi3.pdf?attachment_id=33">(download 1.9 Mb)</a>, dan yang agak tebal adalah Eropa 80 halaman (<a href="http://www.eciaplatform.eu/wp-content/uploads/2014/11/ECIA_report_Create-Innovate-Grow-1.pdf">download 3.31 Mb</a>).<br />
<br />
Dari jumlah halaman bisa dilihat bahwa dokumen Kemenparekraf jauh lebih besar dibandingkan rekan-rekannya kita di Eropa sana. Mungkin, saya menduga, Kemenparekraf ingin agar dokumen tersebut komprehensif, oleh karena itu menjadi sangat tebal.<br />
<br />
Lalu, pertanyannya, apakah itu berarti dokumen Kemenparekraf tersebut lebih canggih? Belum tentu. Kecanggihan dokumen untuk kebijakan publik ditentukan bukan pada ke-komprehensif-an (<i>comprehensiveness</i>) isi sehingga menjadi sangat tebal, tapi pada apakah dokumen tersebut memiliki arah, tujuan, cara, dan langkah-langkah yang jelas. Tujuannya adalah agar dokumen tersebut bisa menjadi arena pembelajaran bersama yang efektif bagi pihak-pihak yang terlibat. Kalau membacanya saja sudah pusing, <i>gimana </i>mau belajar?<br />
<a name='more'></a>Untuk menentukan itu semua, pertama perlu pemaknaan ekonomi kreatif secara fundamental dan tajam. Fundamental berarti bahwa pemaknaan tersebut mencakup ontologi, sedangkan tajam terkait dengan bagaimana karakter atau <i>nature </i>sektor tersebut tumbuh dan berkembang. Pemaknaan ini penting karena sektor ekonomi kreatif memiliki karakter yang sangat berbeda dengan industri lain, seperti pertanian, manufaktur, atau finansial.<br />
<br />
Sayangnya, di buku setebal ratusan halaman tersebut Kemenparekraf tidak mendalami persoalan ontologi dan karakter atau <i>nature </i>perkembangan sektor kreatif dengan jernih. Akibatnya, ketika merumuskan visi terasa normatif, mengambang, dan tidak operasional. Pernyataan visi mestinya membuat pembaca menjadi lebih paham kemana dan apa yang harus dilakukan. Coba saja lihat bagaimana visi tersebut dirumuskan:<br />
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Trebuchet MS, sans-serif;">Visi pembangunan ekonomi kreatif jangka menengah ketiga tahun 2015–2019 dirumuskan sebagai berikut:</span></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Trebuchet MS, sans-serif;"><b>Terciptanya landasan yang kuat untuk pengembangan Ekonomi Kreatif yang berdaya saing global.</b></span></blockquote>
<blockquote class="tr_bq">
<span style="font-family: Trebuchet MS, sans-serif;">Visi pengembangan ekonomi kreatif jangka menengah ketiga ini menekankan pada penciptaan landasan yang kuat bagi pengembangan Ekonomi Kreatif yang berdaya saing global. <i>Landasan yang kuat didefinisikan sebagai kondisi terciptanya institusi, kebijakan dan peraturan yang memberikan daya dukung untuk orang kreatif dapat berkreasi dan berinovasi, adanya iklim usaha yang kondusif, dan jaminan kebebasan berekspresi dan berinteraksi dalam wadah-wadah kreatif. Daya saing didefinisikan sebagai kondisi masyarakat kreatif yang mampu berkompetisi secara adil, jujur dan menjunjung tinggi etika, unggul di tingkat nasional maupun global, dan memiliki kemampuan (daya juang) untuk terus melakukan perbaikan (continuous improvement), dan selalu berpikir positif untuk menghadapi tantangan dan permasalahan.</i></span></blockquote>
Apakah jelas? Buat saya, <i>sih</i>, tidak. Malah, kalimat tersebut agak berkesan <i>Vickynisasi</i>.<br />
<br />
Bagaimana saran ke depan? Yang terpikirkan saat ini oleh saya adalah:<br />
<div>
<ol>
<li>Buat dokumen lebih sederhana. Saya merekomendasikan antara 15-25, atau maksimal 50 halaman dengan lampiran. Ini agar orang lain, terutama pelaku usaha kreatif sebagai <i>stakeholder </i>utama, bisa memahami dengan cepat dan jernih.</li>
<li>Urutan pemikiran dibuat lebih jelas dan operasional. Hindari kalimat-kalimat yang mengambang. </li>
<li>Jelaskan langkah-langkah kongkrit yang akan dilakukan dan bagaimana <i>follow-up</i>-nya. Dengan demikian, orang lain akan punya gambaran bagaimana kemauan dari pihak pemerintah dan kemudian menyesuaikan diri.</li>
<li>Kalaupun ingin memaksakan ratusan halaman, misalnya agar komprehensif, ada baiknya jika diberikan "executive summary" sekitar 10-15 halaman. </li>
</ol>
Industri kreatif membutuhkan cara-cara pengelolaan yang juga kreatif. Ada banyak hal yang tidak bisa diukur dan diperkirakan, sehingga pola-pola proyeksi linier menjadi tidak banyak membantu. Artinya, ia tidak bisa dikelola melalui cara-cara serba terstruktur seperti sektor industri lainnya. Perkembangan industri kreatif sering bekerja melalui letupan-letupan inisiatif yang tidak mudah untuk dijelaskan, oleh karena itu ia memerlukan kejutan-kejutan "manis" yang mampu memperkaya ekosistem kreatif. Ini juga berarti bahwa mengembangkan industri kreatif tidak bisa melalui perencanaan yang serba kaku seperti halnya pengelolaan pabrik, sehingga ia harus direncanakan dalam kerangka memberikan ruang-ruang inisiatif dan kolaborasi (serta negosiasi) di dalamnya, serta bagaimana agar para pelaku di ekosistem kreatif bisa siap bertumbuh dan menangkap peluang. </div>
<div>
<br /></div>
<div>
Upaya perencanaan yang kreatif tersebut, setidaknya, hendaknya dimulai dari dokumen yang juga kreatif. Yaitu, dokumen yang memiliki kejelasan tujuan dan arah, serta bisa menjadi wahana pembelajaran yang asyik bagi para pihak yang terkait, terutama para pelaku usaha sektor kreatif. Bukannya malah makin pusing dan bingung saat membaca dokumen tersebut.</div>
<div>
<br /></div>
<div>
Begitu, <i>deh</i>. Sok tahu <i>aja </i>ini <i>mah</i>. :D</div>
<div>
<br /></div>
<div>
-end-</div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
<div>
<br /></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-44679570129222724732015-02-08T00:43:00.003+07:002015-02-08T17:57:30.451+07:00Tips Untuk Jamaah Hateriyah: Membangun Kontroversi<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Tips MEMBANGUN KONTROVERSI utk jamaah hateriyah:</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">1) Cari info miring dari presiden baru. Semakin ga jelas sumbernya maka semakin bagus karena orang akan sulit konfirmasi, sehingga kontroversi makin kuat.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">2) Efeknya akan lebih mantap kalau yang berbau Islam*, ada kata jual**, atau impor barang pertanian***.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">3) Sodorkan info tersebut kepada "fitnah generator", baik yang tipe socmed (hapit_ari, jonsu, mustofa nahra) maupun portal berita (pkspyongyang, voaislam).</span></div>
<a name='more'></a><span class="text_exposed_show" style="display: inline; font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br />4) Share status atw berita dari "fitnah generator" tsb dengan bumbu2 lebay nan emosional, lebih mantap kalo ditambah kalimat2 bahasa arab (pekik takbir misalnya, atau minimal pakai wallahua'lam).<br />5) Dalam menyebarkan kontroversi, biar agak aman--ngga dituduh memfitnah, tambahi pula "jika benar info ini, maka....", pakai kalimat tanya "ini bener ngga ya?", kalimat kontemplatif "semoga info ini tidak benar...", atau kalimat sok innocent "sekedar sharing...".<br />6) Kalau ternyata infonya ngga bener, pakai jurus pamungkas nan ampuh "TEST THE WATER".</span><br />
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><div style="margin-bottom: 6px;">
Sekian tips dari saya, semoga bermanfaat. Jangan lupa jaga kesehatan karena perjuangan masih 253 minggu lagi.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Keterangan:<br />
* Untuk membuktikan hipotesa bahwa PDIP anti-Islam.<br />
** Melalui keyword "jual" dengan cepat orang akan mengaitkan dengan penjualan aset BPPN era Megawati.<br />
*** Istilah impor akan mengingatkan orang bahwa Jokowi telah berjanji akan mengusahakan swasembada & peningkatan kesejahteraan petani.</div>
</span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-89770587308309761832015-02-08T00:42:00.002+07:002015-02-08T23:37:33.944+07:00Tips Untuk Jamaah Hateriyah: TEST THE WATER<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Bagi jamaah hateriyah sekalian, ada satu argumentasi yang ampuh untuk mengolok-olok presiden. Apa itu? Namanya: TEST THE WATER.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">1) Sebarkan informasi yang miring tentang pemerintah tanpa cek & ricek. Akan lebih baik kalau didramatisir (misalnya dengan bawa2 agama), sehingga emosi pembaca akan mudah tersulut.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">2) Kalau ternyata salah, bikin tuduhan baru dalam bentuk "TEST THE WATER".</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Contoh: "Untung kita (atau sebut orang/kelompok dari otoritas moral) cepat-cepat mengangkat isu ini di socmed, makanya dia batalin. Dia kan cuma tes the water, kalo ki<span class="text_exposed_show" style="display: inline;">ta diem bakal dilanjutin tuh niatnya."</span></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><span style="line-height: 19.3199996948242px;">Di situasi normal, sebenarnya Anda harus menunjukkan indikasi2 "test the water" yang dimaksud, sehingga tuduhan Anda valid. Tapi kali ini tidak perlu karena sepertinya orang2 di sekitar Anda tidak begitu peduli dengan kebenaran dari tuduhan tersebut.</span></span></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Dengan cara ini, Anda tidak perlu repot-repot mengoreksi atau bahkan turunin gengsi untuk minta maaf. Sekaligus Anda bisa membuat pemerintah makin terlihat salah.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Jenius, bukan?! <i class="_4-k1 img sp_6FaB5TnSoia sx_42985c" style="background-image: url(https://static.xx.fbcdn.net/rsrc.php/v2/yv/r/zcMr1Dke51J.png); background-position: -187px -394px; background-repeat: no-repeat; background-size: auto; display: inline-block; height: 16px; vertical-align: -3px; width: 16px;"><u style="left: -999999px; position: absolute;">wink emoticon</u></i></div>
</span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-69117572105588551982015-02-08T00:39:00.003+07:002015-02-08T23:37:43.839+07:00SESAT? <div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Suatu ketika PBNU mengadakan rapat untuk menyikapi Ahmadiyah. Setelah dilakukan kajian dengan teliti dan sangat hati-hati, serta mengundang berbagai narasumber, PBNU mengambil kesimpulan bahwa ajaran Ahmadiyah tidak bisa diterima (dalam kerangka NU tentunya).</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Namun, PBNU tidak lantas menggunakan kata "sesat". Atas permintaan Kiai Sahal Mahfudz, PBNU memakai kalimat "tidak sesuai dengan ajaran Islam yang diakui di dunia internasional". Alasannya, kata Kiai Sahal, adala<span class="text_exposed_show" style="display: inline;">h karena tidak mau nanti sesama orang Islam malah saling berkelahi. Ngga perlu lebay pake kata sesat, yang penting pesan tersampaikan tanpa bikin onar.</span></span></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><div style="margin-bottom: 6px;">
Anyway, Kiai Sahal ini ahli fiqih terkemuka, bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia, yang menulis buku Fiqih Sosial. Katanya sih bhuwagus bangeetttt (*saya belum nemu di toko buku).</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
**Cerita ini diriwayatkan oleh Kang Saiq Aqil.</div>
</span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-74498267730767906442015-02-08T00:39:00.001+07:002015-02-08T23:38:14.044+07:00ANALOGI<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Jadi gini, 2 minggu yang lalu (sekitar akhir Desember 2014) saya ketemu dengan seorang--sebut saja Fulan--yang saya anggap suka maksa. Kelihatannya sih peduli dengan Islam, tapi kok suka maksa. Sudah dikasih teguran, masih juga pede dengan pemaksaannya. Karena saya penasaran, yaudah saya temui aja. Ada banyak hal yang dibicarakan, tapi karena saya tertarik dengan pola pikir seseorang (sekelompok orang), maka saya akan menyoroti tentang logika yang dipakai. Dari obrolan ini, ternyata ketahuan kalau ada lubang yang besar dalam cara pikir si Fulan. </span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Orang sering pakai analogi untuk menjelaskan sesuatu. Pemilihan analogi ini biasanya terkait erat dengan logika yang dipakai olehnya. Nah, si Fulan ini, setelah saya desak dengan berbagai macam pertanyaan, akhirnya dia memuntahkan logika yang dianutnya dengan sebuah analogi.</span></div>
<a name='more'></a><span style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Dia menggambarkan ajaran Islam itu seperti air yang mengalir dari gunung menuju ke hilir sungai. Dia menggambarkan bahwa Islam yang benar-benar benar adalah Islam yang dianut oleh Nabi Muhammad. Dia mengibaratkan Islam yang dianut Nabi Muhammad adalah air dari Gunung Salak yang masih jernih, masih asli. Islam (atau air) ini mengalir melalui banyak jalur. Untuk menggambarkan "pencemaran" ajaran Islam, dia mengibaratkan sebagai orang-orang yang tinggal di wilayah Koja Jakarta Utara mendapatkan air yang sudah kotor. Sederhananya, Islam yang benar adalah seperti air bersih di dekat Gunung Salak, sedangkan Islam yang sudah agak menyimpang adalah air yang sudah tercemari di Koja.</span></span><br />
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Dia kemudian menjelaskan bahwa sekarang banyak kaum muslim yang masih tinggal di Koja, sehingga mendapatkan ajaran Islam yang sudah tercemar. Sementara, dia melihat dirinya (dan kelompoknya) menganut ajaran yang lebih dekat dengan Nabi Muhammad, atau dalam analogi tersebut dia berada lebih dekat ke Gunung Salak. Oleh karena itu, dia merasa berhak untuk mengajak kaum muslim yang masih di Koja ini untuk mendekat ke Gunung Salak.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Masuk akal, bukan? Kalau Anda merasa bahwa analogi ini masuk akal dan benar, mari kita tinjau lebih detail.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Saya ringkaskan: Dalam batas-batas tertentu, analogi tersebut sebenarnya tidak masalah. Namun sebenarnya kesalahan serius yang dilakukan oleh si Fulan. Ada dua yang perlu kita tinjau:</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pertama, antara jaman sekarang dan jaman Nabi Muhammad itu adalah fungsi waktu. Sementara, antara Koja dan Gunung Salak adalah fungsi tempat. Sebuah analogi hanya bisa digunakan kalau ada kemiripan [bahasa teknisnya] struktur geometri. Sederhananya, kita ngga bisa pakai sebuah analogi kalau keduanya memiliki karakter yang berbeda.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Kesalahan pertama dari si Fulan ini membuatnya meyakini bahwa ada pihak yang dekat dengan Gunung Salak (dalam hal ini dirinya), sedangkan yang lain jauh dari Gunung Salak. Oleh karena itu, dia meyakini bahwa hanya ada SATU penafsiran Islam yang benar, selain daripada itu adalah kurang benar. Agar Islam seseorang bisa menjadi benar, maka dia harus pindah mendekat ke Gunung Salak, padahal karena kita sekarang hidup di akhir jaman, maka kita semua kan ngga mungkin membalik waktu ke masa lalu.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Kedua, kalau kita pakai analogi air ini dengan benar, maka kita semua sebenarnya sekarang ini sedang berada di Koja. Kita menjalani Islam saat ini seperti air yang dialirkan oleh saluran-saluran dari Gunung Salak. Oleh karena sama-sama hidup di Koja dan mengambil air dari saluran-saluran, maka tidak ada satu orangpun orang berhak mengklaim "lebih Islam" dibanding yang lain. Apa yang kita yakini benar itu karena kita menggunakan parameter-parameter di saluran yang kita pilih, orang lain pun meyakini benar karena menggunakan parameter di saluran yang mereka pilih. Di saluran yang misalnya mengutamakan warna kejernihan, maka warna kejernihan air tersebut yang menjadi pokok acuan. Di saluran lain yang mengutamakan kandungan kimiawi di dalam air, maka kandungan tersebut yang akan diperhatikan.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Pada akhirnya, secara sosial, kebenaran yang kita yakini ini bersifat relatif. Konsekuensinya, dari sisi akidah kita boleh saja mengklaim punya islam yang paling benar (air yang paling asli), tapi di ranah sosial kita ngga bisa begitu saja menuduh orang lain yang berbeda memiliki Islam yang kurang benar. Bisa jadi kita dan orang lain sama2 benar, bisa pula salah satu yang benar, dan tidak menutup kemungkinan keduanya sama-sama salah.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Kalau kita pakai analogi ini dengan benar, sebenarnya bisa menjadi pemandu bagi kita untuk mengembangkan Islam yang penuh empati.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Yang bisa dilakukan oleh masing-masing kita adalah berikhtiar sebaik-baiknya untuk mendekatkan diri. Yang harus dikembangkan adalah Islam yang saling menghormati perbedaan pandangan (dalam analogi air, menghargai pilihan saluran orang lain). Kalaupun ingin "berdakwah", harus dilakukan dengan penuh rendah hati dan dialogis (tidak memaksa).</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Menuduh orang lain sesat (atau sesuai analogi, airnya kotor) tidak akan membuat Islamnya menjadi lebih benar (airnya menjadi jernih).</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Analogi air ini mungkin hanya salah satu dari berbagai macam analogi yang banyak dipakai di luar sana untuk mengajarkan konsep-konsep keagamaan--yang menurut saya--kurang tepat dalam konteks Indonesia. Oleh karena itu, pesan moralnya adalah: Hati-hati dalam memilih analogi. Salah-salah bisa membuat logika Anda kacau. <i class="_4-k1 img sp_6FaB5TnSoia sx_9c1267" style="background-image: url(https://static.xx.fbcdn.net/rsrc.php/v2/yv/r/zcMr1Dke51J.png); background-position: -85px -394px; background-repeat: no-repeat; background-size: auto; display: inline-block; height: 16px; vertical-align: -3px; width: 16px;"><u style="left: -999999px; position: absolute;">smile emoticon</u></i></span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">***maaf kalau terlalu panjang dan berbelit-belit. saya agak kesulitan dalam menguraikan persoalan ini.</span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-50249320983023108242015-02-08T00:36:00.000+07:002015-02-08T23:39:10.562+07:00Salah Baca Atau Sengaja?<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Saya ngga bisa komentar di status <a href="https://www.facebook.com/sidrotun.naim/posts/10153717764899657?fref=nf">bu doktor ini</a>. Saya mau komentar bahwa ada beberapa fakta yang ngga bener di situ:</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Beberapa hal bisa dilihat di web Freeport: <a href="http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya" rel="nofollow" style="color: #3b5998; cursor: pointer; text-decoration: none;" target="_blank">http://ptfi.co.id/…/facts-about-f…/facts-about-kontrak-karya</a></span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Quote: "Ketika Kontrak Karya Freeport diperpanjang tahun 2003/2004 tu adalah salah satu hadiah Ibu Banteng kepada bangsa ini (atau bangsa itu), entahlah. Ketika 2014 jatuh tempo lagi untuk memutuskan apakah diperpanjang lagi, kini anak banteng yg pernah diseb<span class="text_exposed_show" style="display: inline;">ut ibunya sbg petugas partai itu, memperpanjang upeti sampai 2041."</span></span></div>
<a name='more'></a><span style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">1) Kontrak karya Freeport adalah sampai 2021, bukan 2041, dan itu diputuskan pada 1991. Pada 1991 tersebut diputuskan bahwa kontrak karya freeport berdurasi 30 tahun.</span></span><br />
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"></span><br />
<div style="margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">2) Yang diperpanjang oleh pemerintah Jokowi adalah ijin ekspor konsentrat, bukan kontrak karya. Ijin ekspor tentunya beda dengan kontrak karya.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">3) Ijin ekspor tersebut berkaitan dengan UU Minerba yang melarang perusahaan tambang mengekspor konsentrat dan mewajibkan membangun smelter (silakan googling).</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">4) Pemerintahan SBY ngasih ijin ekspor pada Juli 2014 dengan beberapa catatan, salah satunya kewajiban membangun smelter. Ijin ekspor tersebut berlaku sampai 24 Januari 2015. Tapi sampai Januari ini, Freeport ngga ngasih kejelasan soal smelter. Pemerintah kemudian mengultimatum bahwa ijin ekspor akan dibekukan jika tidak ada progres pembangunan smelter. Kemudian Freeport buru2 memproses pembangunan smelter, yang hasilnya adalah lokasi di Gresik, biaya investasi diperkirakan 2.3 miliar USD, dan kerjasama teknologi dengan Mitsubishi. Pemerintah akirnya melunak, ijin ekspor diberikan, tapi dengan catatan dalam waktu 6 bulan ke depan nasib pembangunan smelter ini harus sudah jelas.</span></div>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Pemerintah memang pengennya dibangun di Papua. Tapi entah apa yang terjadi sehingga pemerintah setuju lokasinya di Gresik. Kemungkinan besar agar smelter tersebut bisa tetap digunakan untuk keperluan lain saat nanti Freeport tidak lagi beroperasi di Indonesia. Pasalnya, investasi membangun smelter kan tidak murah.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Kritis boleh. Tapi cek fakta dong, ah. <i class="_4-k1 img sp_6FaB5TnSoia sx_42985c" style="background-image: url(https://static.xx.fbcdn.net/rsrc.php/v2/yv/r/zcMr1Dke51J.png); background-position: -187px -394px; background-repeat: no-repeat; background-size: auto; display: inline-block; height: 16px; vertical-align: -3px; width: 16px;"><u style="left: -999999px; position: absolute;">wink emoticon</u></i></div>
</span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-89390406684683375632015-02-08T00:34:00.002+07:002015-02-08T23:38:36.932+07:00Ketika A.S Laksana Bikin Surat Terbuka <div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<a href="http://as-laksana.blogspot.com/2015/02/surat-terbuka-untuk-presiden-jokowi.html"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi</span></a><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Oleh: A.S. Laksana</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">[...]</span></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><div style="margin-bottom: 6px;">
Burung yang sama hinggap di ranting yang sama, Pak Presiden. Sangat mustahil seorang presiden yang jujur bersih sederhana menunjuk seseorang yang rekam jejaknya meragukan, yang dicurigai oleh publik sebagai penerima suap dan gratifikasi dan sekarang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, menjadi calon tunggal Kapolri. Ini berlawanan sama sekali dengan nalar yang paling sederhana: Itik berkumpul dengan itik, kambing dengan kambing, dan seekor singa tidak mungkin berkomplot dengan dubuk.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
[...]</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<br /></div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
*** surat terbuka yang ini bagus. ada sedikit nada serius, ada sedikit sarkasme, dan ada sedikit satire. urutan gagasannya mudah dipahami dan menggelitik secukupnya. bukan surat terbuka yang dibuat asal-asalan dan genit nyari perhatian. heuheu.</div>
</span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-68156112803157439932015-02-08T00:31:00.004+07:002015-02-08T23:39:25.129+07:00Buku Pertama<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Buku pertama saya yang akan segera diterbitkan oleh WRKMA ITB. <i class="_4-k1 img sp_6FaB5TnSoia sx_9c1267" style="background-image: url(https://static.xx.fbcdn.net/rsrc.php/v2/yv/r/zcMr1Dke51J.png); background-position: -85px -394px; background-repeat: no-repeat; background-size: auto; display: inline-block; height: 16px; vertical-align: -3px; width: 16px;"><u style="left: -999999px; position: absolute;">smile emoticon</u></i></span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">----</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sketsa Ganesha: Bermacam Kisah ITB Berkarya</span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://scontent-a-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/524251_10153095231143293_6335083153297387562_n.jpg?oh=481223bbc7ccd02004ff7f70711a7c30&oe=554E5004" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><img border="0" height="320" src="https://scontent-a-sin.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/v/t1.0-9/s720x720/524251_10153095231143293_6335083153297387562_n.jpg?oh=481223bbc7ccd02004ff7f70711a7c30&oe=554E5004" width="213" /></span></a></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><div style="margin-bottom: 6px;">
Jika ingin mengetahui karya sebuah perguruan tinggi, apa yang harus ditelusuri? Apa wujud pencapaian perguruan tinggi? Apakah produk-produk teknologi yang canggih, ilmu pengetahuan yang begitu luhur, atau bilangan rupiah kontrak-kontrak kerjasama?</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Buku ini mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan cara mengikuti ke mana arah gerak dan kiprah 'anak kandung' ITB. Anak kandung tersebut bernama ‘ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni’, atau disebut juga IPTEKS.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Buku ini bercerita tentang bagaimana para akademisi ITB melahirkan IPTEKS, lalu membesarkannya hingga mampu memberikan solusi dalam menghadapi berbagai tantangan di masyarakat. Selain itu, buku ini juga mengulas tentang kiprah ITB dalam mengembangkan body of knowledge melalui publikasi di jurnal-jurnal ilmiah internasional terkemuka.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sedikit banyak buku ini bercerita tentang kebijakan inovasi, manajemen riset, dan perubahan sosial melalui sains dan teknologi.</div>
</span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-80288799542971851442015-02-08T00:30:00.002+07:002015-02-08T23:39:49.907+07:00Perbedaan Control Room dan Command Center<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://assets.kompas.com/data/photo/2014/08/22/194953720140822-172049780x390.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><img border="0" src="http://assets.kompas.com/data/photo/2014/08/22/194953720140822-172049780x390.JPG" height="160" width="320" /></span></a></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><span style="line-height: 19.3199996948242px;">Gambar tersebut sebenarnya adalah "</span><a href="http://megapolitan.kompas.com/read/2014/08/22/20002941/Ini.yang.Bikin.Ahok.Makin.Betah.di.Kantornya" style="line-height: 19.3199996948242px;">control room</a><span style="line-height: 19.3199996948242px;">" Gubernur DKI yang disamarkan menjadi akuarium. Di balik ini kalo ngga salah ada ruangan dan unit khusus Gubernur yang menjadi pusat komunikasi dan mengolah data.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif; line-height: 19.3199996948242px;">Bentuk control room di DKI tersebut sangat sederhana jika dibandingkan dengan "command center" milik Walkot Bandung. </span><br />
<a name='more'></a></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; display: inline;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://infobandung.co.id/wp-content/uploads/2014/11/B3SK9OCCUAA7cgN-600x544.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://infobandung.co.id/wp-content/uploads/2014/11/B3SK9OCCUAA7cgN-600x544.jpg" height="290" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div style="color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Akhir 2011 saya pernah main ke kantor UPT Transjakarta. Mereka juga punya control room yang terhubung dengan kamera ke banyak titik dan dilengkapi dengan data analysis. Ruangannya sederhana, sekitar 3x6 meter, cuma mengambil sebagian tempat direktur Transjakarta dan hanya dibatasi sekat <span class="text_exposed_show" style="display: inline;">kaca. Ia menghadap langsung ke meja direktur, sehingga semua monitor bisa langsung terlihat dilihat dan data bisa langsung diamati.</span></div>
<div class="text_exposed_show" style="display: inline;">
<div style="color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
Sebenarnya "control room" itu ngga perlu ruangan mewah sih, yang penting fungsinya dapet. Dan yang paling penting, terlepas dari semua teknologi yang dipakai, sistem birokrasi harus berjalan secara progresif. </div>
<div style="color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
Perbedaan utama control room punya Ahok dan command center milik Kang Emil adalah, menurut saya, bukan di desain ruangannya, tapi di paradigma pengelolaan informasi. Buat Ahok, desain ruangan atau tampilan tidak penting, karena yang utama adalah bagaimana desain sistem birokrasi. </div>
</div>
</span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-28244360664461799962015-02-08T00:22:00.001+07:002015-02-08T23:40:13.996+07:00Latah Mobnas<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sejauh ini (hingga jam 6 pagi, 7 Feb 2015), saya tidak menemukan kata MOBNAS keluar dari pejabat Indonesia. Istilah "mobnas" adalah INTERPRETASI media atas penandatanganan MoU Proton dengan perusahaan Hendropriyono, business to business. Para penghuni socmed kemudian latah pakai istilah mobnas tanpa menelisik lebih jauh apakah itu layak disebut mobnas.</span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Lebih jauh, media-media tidak memberikan definisi yang jelas tentang mobnas. Misalnya, disebut mobnas jika ia mendapatkan insentif dari pemeri<span class="text_exposed_show" style="display: inline;">ntah atau fasilitas khusus dari negara. Atau, digelari mobnas jika pemerintah mewajibkan penggunaannya untuk keperluan tertentu. Tapi nyatanya tidak ada keterangan definisi tersebut.</span></span><br />
<a name='more'></a></div>
<div class="text_exposed_show" style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><div style="margin-bottom: 6px;">
Di lain pihak, Proton disebut sebagai "mobil nasional" bukan tanpa alasan. Seperti halnya mobnas Timor di era Orba, Proton mendapatkan berbagai insentif, fasilitas, dan bantuan dari pemerintah terkait dengan pembiayaan, pajak, produksi, distribusi, dan pemasaran.</div>
<div style="margin-bottom: 6px; margin-top: 6px;">
Sepanjang yang saya tahu, belum ada informasi apapun apakah pemerintah akan melakukan "intervensi" melalui berbagai insentif dan fasilitas terhadap kerjasama otomotif yang dilakukan oleh Hendropriyono ini. Kalau itu yang terjadi, kenapa media menyebut "mobnas"? Mungkin teman-teman yang sudah memberi label mobnas berkenan menjelaskan.</div>
</span></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-34721625572222754352015-02-08T00:20:00.003+07:002015-02-08T23:40:18.059+07:00Critical Review<div style="background-color: white; color: #141823; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-bottom: 6px;">
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Mengkritisi sesuatu itu ada tata caranya. Tujuannya adalah agar kritik tersebut bisa menjadi wahana pembelajaran bersama, bukan malah jadi pemicu pertentangan. <span style="line-height: 19.3199996948242px;">Materi dari UNSW ini cukup bagus untuk dipelajari.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: #141823; display: inline; font-size: 14px; line-height: 19.3199996948242px; margin-top: 6px;">
<a href="https://student.unsw.edu.au/writing-critical-review" rel="nofollow" style="color: #3b5998; cursor: pointer; text-decoration: none;" target="_blank"><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">https://student.unsw.edu.au/writing-critical-review</span></a></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-86223969660347946122015-02-02T21:02:00.005+07:002015-02-08T23:40:41.102+07:00Gaya Dakwah: Cerita Humor vs Indoktrinasi Emosional <span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Akhir-akhir ini saya senang mendengarkan rekaman ceramah dari <a href="http://radio.nu.or.id/a,public-m,core-s,download-jf,pengajian-.phpx">Radio NU</a>. Salah satu kesukaan saya adalah para kyai NU biasanya ceramah dengan kocak. Materi-materi yang berat sering dibawakan melalui guyonan dan cerita-cerita lucu. Di kalangan NU memang ada banyak cerita lucu. Dulu waktu kecil di kampung, saya paling suka bagian cerita ini. Kalau tidak percaya, Anda bisa ketik <i>keyword </i>"NU humor" di <a href="https://www.google.com/search?q=NU+humor&rlz=1C1ASUT_enID602ID602&oq=NU+humor&aqs=chrome..69i57l2j69i60l2j69i65j69i60.1271j0j9&sourceid=chrome&es_sm=93&ie=UTF-8">Google</a>, pasti akan ada banyak stok cerita lucu dari komunitas NU.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Saya kemudian membandingkan ceramah-ceramah ustadz yang ngartis di TV. Ada beberapa yang guyon, tapi entah kenapa beda. Selain cerita yang bereda di NU itu khas guyonan orang Jawa, sehingga berbeda dengan lelucon dari etnis lain, sepertinya lelucon oleh para ustadz tersebut agak dipaksakan. Kadang humor para ustadz tersebut dikeluarkan agar ceramah menjadi menarik, tidak membosankan.</span><br />
<a name='more'></a><span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Lalu saya amati lagi, ada satu hal lain yang berbeda antara gaya dakwah NU dan ustadz di TV. Saya melihat bahwa gaya para ustadz tersebut mengandalkan indoktrinasi emosional. Itu bisa dilihat pada bagaimana mereka mengeluarkan kalimat-kalimat yang bernada sentimen terhadap agama atau kelompok lain, menyusun argumentasi untuk membangkitkan rasa cinta agama yang berlebihan (berbau agak fasis), dan biasanya ditutup dengan ungkapan atau doa yang menyentuh sehingga membuat para jamaah menangis tersedu-sedu.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Sementara itu, gaya NU justru biasanya sebaliknya. Ceramah di kalangan NU yang banyak pakai cerita humor tersebut bukan sekedar untuk membuat ceramah menjadi menarik. Cerita-cerita humor tersebut memiliki hikmah di dalamnya. Biasanya, para kyai mengeluarkan cerita humor sesuai dengan bahasan yang sedang dibicarakan. Setelah bertahun-tahun kemudian saya baru sadar bahwa cerita humor ini bisa membuat jamaah mendapatkan pelajaran tanpa harus indoktrinasi. Pasalnya, dakwah melalui bercerita menuntut para pendengarnya agar mampu menafsirkan pelajaran. Jadi, pelajaran bukan dijejalkan oleh penceramah, tapi disalurkan melalui medium cerita dan para pendengarnya yang akan menafsirkan pelajarannya. Pendeknya, dakwah melalui cerita adalah cara para kyai untuk berpikir dan mencerna ajaran agama dengan luwes dan toleran terhadap interpretasi yang berbeda. Tak heran kemudian jika NU dikenal sebagai komunitas yang santai dalam menghadapi perbedaan.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Oia, satu lagi. Para penceramah NU, baik yang sudah level kyai senior atau masih muda baru lulus pesantren, biasanya jago bahasa arab. Ceramah-ceramah di masjid NU biasanya menggunakan kitab kuning yang isinya berbahasa arab. Walaupun tingkat pemahaman bahasa arabnya berbeda-beda, setidaknya mereka tahu betul tentang sastra arab. Ini memang menjadi keunggulan mereka karena dibesarkan di lingkungan pesantren. Kemampuan berbahasa arab ini membuat mereka bisa menggali pendapat dari berbagai referensi primer dalam bahasa aslinya, bukan bermodal buku terjemahan. Dengan demikian, mereka menafsirkan ajaran agama menggunakan metodologi yang sangat tertib. Dengan begitu, kecil kemungkinan kyai NU akan mengeluarkan fatwa haram selfie, apalagi kalau fatwa selfie tersebut dikeluarkan karena berkaitan dengan marketing produk.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Kembali ke cerita humor di kalangan NU, itu bukan berarti bahwa para kyai tersebut tidak mampu membahas agama secara serius, dan bukan pula mereka bermain-main dengan agama. Tapi di balik itu, ada pelajaran penting tentang dakwah, yaitu mengajak orang untuk berpikir dan memberikan kesempatan menafsirkan pelajaran. Dengan demikian, setiap orang akan belajar untuk memahami perbedaan perspektif.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">Mungkin ada yang bertanya, kenapa cerita humor, bukan cerita serius? Menurut saya bukan karena agar menarik, tapi biar mudah diingat.</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;">[end]</span><br />
<span style="font-family: Georgia, Times New Roman, serif;"><br /></span>
<br />Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-5762561445576827642015-02-01T19:55:00.002+07:002015-02-02T00:32:22.266+07:00Beberapa Poin Tentang Ekonomi KreatifHari Jumat yang lalu ikut diskusi dengan Kang <a href="https://twitter.com/motulz">Motulz</a> di Simpul Space BCCF tentang ekonomi kreatif, industri kreatif, dan social media. Ada beberapa poin menarik di sana. Berikut catatan pendek saya:<br />
<br />
<ol>
<li>Manusia (<i>people</i>) sebagai representasi dunia kreatif, bukan produk. Dalam kata lain, <i>people</i> adalah aset terbesar dalam sektor kreatif. Paradigma ini sejalan dengan literatur-literatur inovasi yang memandang teknologi sebagai representasi dari aktifitas manusia (dan institusi yang terbangun di dalamnya). </li>
<li>Kualitas, bukan kuantitas. Industri kreatif di Indonesia harus punya ciri khas dan berorientasi pada kualitas. Artinya, <i>scale up</i> perusahaan kreatif bukan didasarkan pada kuantitas produk saja, tapi mestinya diarahkan agar disandarkan pada perbaikan kualitas. Jika kualitas naik, maka valuasi akan naik.<a name='more'></a> </li>
<li><i>Social media </i>bisa menjadi <i>platform </i>yang pas sebagai wahana promosi bagi para pelaku sektor kreatif. Sebabnya, produk di sektor kreatif memiliki ketergantungan terhadap karakter individu yang tinggi dibandingkan sektor lainnya. Dalam kata lain, karakter personal seseorang sangat mempengaruhi produk kreatif yang dihasilkan. Karena sifatnya yang personal ini, <i>social media </i>bisa menjadi wahana yang tepat untuk mengkomunikasikan karakter si pelaku usaha kreatif kepada pihak-pihak lain. </li>
<li>Manajemen risiko dalam industri kreatif. Ini sepertinya berkaitan erat dengan pendapat Ulrich Beck yang mengatakan bahwa salah satu tanda masyarakat (komunitas) modern adalah yang <i>aware</i> dengan risiko. <i>Awareness </i>tersebut lalu diterjemahkan menjadi serangkaian nilai-nilai, cara kerja, dan aturan. </li>
<li>Sistem pembelajaran (<i>learning</i>) dalam industri kreatif. Topik pembelajaran sosial (<i>societal learning</i>), menurut saya, merupakan inti dari ekonomi kreatif. Pembelajaran yang saya maksud bukan hanya terjadi di pelaku usaha kreatif, tapi juga di pihak-pihak lainnya seperti pemasok, distributor, dan konsumen. Artinya, sektor kreatif dibesarkan bersama-sama antara pencipta produk kreatif, pemasok bahan, penjual produk, dan konsumen. Interaksi yang sehat di antara mereka akan menumbuhkan sektor kreatif menjadi makin kuat. Skala ekonomi dari sektor kreatif merupakan konsekuensi dari pembelajaran yang semakin padat. </li>
<li>Standar dan sertifikasi dalam industri kreatif. Ini, menurut saya, merupakan konsekuensi dari perkembangan kebutuhan atas manajemen risiko dan pembelajaran di industri. </li>
<li>Pemerintah, melalui Badan Ekonomi Kreatif, bisa mengambil peran untuk membangun jejaring pengetahuan, pasar, dan kapital ke dalam sektor kreatif. Tujuan akhir dari membangun jejaring ini adalah agar para pelaku mendapatkan kesempatan yang luas untuk belajar.</li>
</ol>
<br />
Begitu kira-kira yang bisa saya ingat dari diskusi tersebut. Di kesempatan lain mungkin akan saya coba ulas masing-masing poin tersebut lebih mendalam, dikaitkan dengan literatur inovasi yang selama ini saya pelajari.<br />
<br />
[end]Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-49610853494538618352015-01-30T21:50:00.003+07:002015-02-02T00:32:45.047+07:00Makna 'Jokowi Effect' Yang Sebenarnya**Catatan: Tulisan ini saya buat 10 April 2014, sebelum masa Pilpres.<br />
<br />
Kehadiran Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta dipandang sebagai angin segar bagi warga kota ini dan sekitarnya. Pasalnya, sebelumnya dia memiliki reputasi bagus dalam membangun Solo menjadi kota yang tertata dan efisien sekaligus humanis. Tidak lama kemudian, bermodal popularitasnya yang terus melambung, dia maju sebagai calon presiden. Lembaga survey dan pengamat memperkirakan bahwa pencalonan Jokowi ini akan memberikan tambahan suara yang signifikan bagi partai PDI-P tempatnya bernaung. Fenomena tersebut lalu disebut sebagai Jokowi effect.<br />
<br />
Tapi realita berkata lain. Berdasarkan hasil hitung cepat dari beberapa versi, ternyata PDI-P hanya mengantongi suara sekitar 19 persen, tidak terpaut jauh dari pemilu sebelumnya. Jokowi effect yang digembar-gemborkan ternyata tidak ngefek dalam pemilu legislatif ini. Karakter Jokowi sebenarnya memang kurang cocok sebagai vote-getter. Dia tidak pandai tampil di depan publik, pandai mengolah kata-kata puitis yang bisa membius pendengarnya, atau lihai bersilat lidah guna memenangkan argumen.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Meski demikian, sosok yang sederhana, apa adanya, dan taktis dalam bekerja adalah kekuatan Jokowi yang sesungguhnya. Masyarakat DKI telah merasakan sendiri bagaimana karakter Jokowi tersebut memberikan warna bagi berbagai perubahan selama 1,5 tahun belakangan ini. Untuk meninjau hal tersebut, kasus penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Tanah Abang dan relokasi warga di Waduk Pluit bisa digunakan sebagai bahan referensi.<br />
<br />
Kawasan Tanah Abang dikenal sebagai pusat perbelanjaan, terutama produk pakaian jadi. Biasanya, warga Jakarta selalu menghindari daerah ini karena jalan raya dipenuhi oleh PKL. Bukan hanya di pinggir jalan, tapi hingga ke tengah bahu jalan. Imbasnya bisa ditebak, jalanan macet berat, sampai-sampai terasa mustahil bisa melewati daerah ini.<br />
<br />
Untuk mengatasi masalah ini, pihak Pemprov DKI sebenarnya telah menyediakan tempat bagi mereka untuk berdagang, yaitu di Pasar Blok G. Pasar ini masih berada di wilayah Tanah Abang, tidak jauh dari jalan raya. Namun dari berbagai upaya penertiban yang dilakukan sebelumnya, pedagang tetap tidak mau beranjak dari jalan raya, dengan alasan nanti dagangannya tidak akan laku. Akhirnya pedagang terus berakumulasi dan bahu jalan berubah menjadi lapak-lapak PKL.<br />
<br />
Bagaimana ini bisa terjadi? Selain karena pembiaran yang berlangsung selama bertahun-tahun, ada pula peran “penguasa” setempat. Buktinya, jalan tersebut dikapling-kapling menggunakan cat sesuai dengan ukuran lapak. Pedagang harus membayar sejumlah uang kepada penguasa setempat tersebut untuk mendapatkan lahan berjualan. Situasi ini jelas melanggar hukum dan mengganggu kehidupan masyarakat luas, karena itu harus segera diambil tindakan.<br />
<br />
Pada kasus ini lah Jokowi untuk pertama kalinya benar-benar mendapatkan sorotan. Semua mata memandang, menuntut agar dia membuktikan “keahliannya.” Pasalnya, salah satu faktor yang membuat nama Jokowi melambung adalah karena dianggap sukses merelokasi PKL di Solo.<br />
<br />
Langkah pertama yang diambil oleh Jokowi adalah turun langsung ke Tanah Abang. Dia tidak mendelegasikan tugas ini, walaupun memungkinkan. Dengan mengunjungi secara langsung, maka ada dialog antara pedagang pasar dengan puncak pimpinan Pemprov DKI. Dengan demikian, hal-hal yang menjadi perhatian atau keinginan pedagang bisa ditangkap secara lebih lengkap. Begitu pula pedagang bisa mengetahui apa yang menjadi latar belakang dan rencana Pemprov terkait penggusuran PKL. Komunikasi bisa berjalan dua arah tanpa ada distorsi. Selain itu, cara ini juga bisa menumbuhkan kepercayaan bagi warga.<br />
<br />
Upaya persuasi menggunakan jalan dialog bukan hal baru. Yang berbeda pada era Jokowi adalah persuasi merupakan bagian dari proses “negosiasi”. Jika umumnya persuasi sifatnya lebih cenderung pada upaya membujuk pihak lain, maka dalam negosiasi ala Jokowi terdapat musyawarah yang terbuka, transparansi proses, dan imbal-balik tertentu jika diperlukan.<br />
<br />
Untuk meyakinkan pedagang, Pemprov DKI memberikan beberapa penawaran, di antaranya adalah merenovasi bangunan pasar Blok G sehingga lebih nyaman digunakan dan menggratiskan uang sewa selama 6 bulan. Selain itu, Pemprov juga mengatur kembali jalur sirkulasi untuk mengarahkan agar orang mau mengunjungi pasar Blok G, salah satu caranya adalah dengan membangun jembatan penyeberangan dari Stasiun Senen ke Blok G.<br />
<br />
Berikutnya, pendaftaran untuk menempati pasar Blok G dilakukan secara transparan dan tanpa biaya. Upaya tersebut membuahkan hasil yang positif. Saat waktu pendaftaran tiba, ternyata animo pedagang sangat besar, sampai-sampai Pemprov harus menyeleksi karena kekurangan tempat. Hasilnya, jalan raya yang awalnya disesaki oleh lapak PKL kini bisa dilalui dengan leluasa.<br />
<br />
Namun beberapa bulan setelah pindah ke Blok G, ternyata hasil penjualan para PKL tersebut menurun drastis dibanding saat masih berjualan di jalanan. Bangunan pasar yang agak terisolasi membuat calon pembeli enggan berkunjung. PKL pun mulai mengeluhkan situasi ini, bahkan beberapa di antaranya mencoba kembali berdagang di pinggir jalan. Menanggapi hal ini, Jokowi tidak tinggal diam. Dia kecewa, namun tidak lantas membuatnya beralih kepada cara-cara pemaksaan. Pada sebuah kesempatan saat berkunjung ke Tanah Abang, Jokowi mengajak pula kalangan Ibu-Ibu dari organisasi Dharma Wanita untuk berbelanja. Ini memberikan kesan bahwa Jokowi tidak lepas tangan begitu saja setelah para pedagang bersedia pindah.<br />
<br />
Pada kasus lain, yaitu relokasi warga dari bantaran Waduk Pluit, Jokowi juga menggunakan kiat yang kurang lebih serupa. Waduk Pluit yang awalnya seluas 80 hektar dan memiliki kedalaman 10 meter, sekitar 2 tahun lalu luasnya tinggal 60 hektar dan kedalaman rata-rata 2 meter. Selain karena sedimentasi dan akumulasi sampah, situasi tersebut terjadi akibat sebagian wilayahnya beralih fungsi menjadi lokasi perumahan.<br />
<br />
Persoalan warga yang tinggal secara liar di bantaran waduk sebenarnya dapat dicegah jika saja aturan yang ada dilaksanakan dengan benar. Namun, ia menjadi semakin rumit dan masif karena pembiaran yang terjadi selama ini. Karena itu, Pemprov harus harus tegas terhadap pelanggaran semacam ini.<br />
<br />
Sejak awal 2013, perencanaan program normalisasi Waduk Pluit dimulai. Menurut rencana tersebut, waduk tersebut akan diperdalam melalui pengerukan hingga kedalaman 7 meter. Luas waduk juga akan dikembalikan menjadi ukuran semula, yaitu 80 hektar. Implikasinya, sekitar 12.000 kepala keluarga yang tinggal di bantaran waduk harus direlokasi.<br />
<br />
Menanggapi rencana relokasi ini, resistansi dari warga muncul dengan berbagai alasan seperti tempat relokasi yang jauh dari lokasi bekerja dan sekolah anak sehingga memerlukan biaya tambahan. Persoalan lainnya adalah akses transportasi umum yang sulit dan keharusan mengurus administrasi kependudukan baru yang juga memerlukan biaya. Penolakan ini terjadi karena informasi yang diperoleh warga mengenai rencana relokasi masih kurang, sehingga muncul kekhawatiran. Warga kemudian menuntut agar bisa berdialog dengan Pemprov DKI, khususnya dengan Jokowi.<br />
<br />
Tuntutan tersebut direspon oleh Jokowi dengan cara mengundang perwakilan warga untuk berdialog dan makan siang bersama di balai kota pada Mei 2013. Di situ warga meminta kejelasan mengenai batas-batas wilayah bantaran waduk yang akan dinormalisasi dan perumahan warga mana saja yang akan direlokasi. Dengan dingin Jokowi mengakui bahwa dirinya belum bisa memberikan informasi yang jelas karena perencanaan masih disusun, karena itu pihaknya akan mengundang warga kembali jika peta normalisasi waduk dan ketentuan relokasi telah lengkap. Dia juga meminta pengertian warga bahwa pihaknya harus bekerja secara taktis dan cepat sebelum musim hujan turun dan masalah kian ruwet.<br />
<br />
Selain itu, terkait kekhawatiran warga terhadap penggusuran, Jokowi menegaskan bahwa Pemprov tidak akan melakukan relokasi sebelum tempat tinggal yang baru, yaitu berupa rumah susun (rusun), siap dihuni. Pemprov pun memberikan beberapa alternatif lokasi rusun seperti di Daan Mogot, Muara Baru, dan Luar Batang, sehingga warga dapat memilih rusun mana yang lebih cocok bagi mereka. <br />
<br />
Lebih jauh, Pemprov menjamin bahwa tempat tinggal yang baru nanti akan lebih baik. Semua keperluan telah disiapkan termasuk keperluan rumah tangga seperti tempat tidur, lemari, dan pakaian. Fasilitas umum pun tak lupa disediakan, seperti untuk kesehatan, transportasi, dan pendidikan. Untuk memupuk kepercayaan, sampai-sampai Pemprov mengadakan “presentasi” langsung dengan mengajak 100 perwakilan warga untuk menyaksikan sendiri kondisi rusun yang akan mereka tempati. Dengan demikian, karena menyediakan alternatif pilihan yang layak dan menjaga agar prosesnya transparan, bisa dikatakan bahwa Pemprov telah mengupayakan pemecahan yang adil.<br />
<br />
Sebagai hasil dari upaya tersebut, mulai terlihat perubahan sikap dari warga. Beberapa warga yang diwawancara oleh media (kompas.com, 5 Mei 2013) mengaku sadar bahwa selama ini telah melakukan kesalahan karena telah menempati lahan waduk secara ilegal sehingga merugikan orang lain. Sebagian yang lain merasa antusias untuk pindah ke tempat yang baru.<br />
<br />
Beberapa upaya Jokowi tersebut memang belum bisa dikatakan sepenuhnya berhasil karena masalah-masalah sampingan terus muncul, tapi ia memberikan makna lain atas penegakan hukum. Selama ini, pemerintah memiliki paradigma “implementasi” yang kurang lebih berarti bahwa peraturan adalah sesuatu yang kaku dan bersifat memaksa sehingga warga harus mematuhinya. Secara formal pemerintah memang memiliki hak untuk memaksa warganya mematuhi hukum. Namun realita menunjukkan bahwa cara-cara pemaksaan seperti itu tidak memberikan ketertiban yang bertahan lama (durable) karena didasarkan atas rasa takut.<br />
<br />
Dengan demikian, agar penegakan hukum mengakar dalam diri masyarakat dan berlangsung dengan adil, ia harus dijalankan dengan cara menanamkan kesadaran melalui upaya kultural seperti musyawarah. Dari sisi ini, Jokowi telah memperlihatkan wajah humanis atas penegakan hukum yang berdasarkan pada kepercayaan bersama (mutual trust) dan menghargai hak warga.<br />
<br />
Saat mencalonkan diri bersama Basuki Tjahja Purnama, Jokowi menawarkan cita-cita “Jakarta Baru.” Kata “baru” di situ merujuk pada sebuah asa untuk membangun kota yang tertata dan memanusiakan penghuninya. Banyak kalangan, terutama lawan politiknya, memandang Jokowi sebelah mata. Dia dianggap terlalu lugu untuk memimpin Jakarta yang penuh dinamika serta sarat dengan masalah sosial dan ekonomi. Namun dari uraian di atas, bisa dikatakan bahwa makna Jokowi effect yang sebenarnya terjadi pada kerja nyata dari hari ke hari yang bisa dirasakan oleh masyarakat, bukan pada tontonan drama kampanye politik.<br />
<br />
[end]<br />
<div>
<br /></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-20537712727375837252014-05-20T12:56:00.002+07:002014-05-20T12:56:12.355+07:00Geotimes 7 April<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2GBDx0Z4_go1NwYDyQaUQLzUzO1SRZ8TpTQETkyf5_VrTPx_Oy-RB_wQUTsUty2KXbtW3NqO48amJvyDnHhMrtEXjBFwK1uUGSzYVx7oorB6M_kshdfeiLXmD0gca4sy4NmYrs2zFB6k/s1600/antara+karakter+dan+program+kerja.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2GBDx0Z4_go1NwYDyQaUQLzUzO1SRZ8TpTQETkyf5_VrTPx_Oy-RB_wQUTsUty2KXbtW3NqO48amJvyDnHhMrtEXjBFwK1uUGSzYVx7oorB6M_kshdfeiLXmD0gca4sy4NmYrs2zFB6k/s1600/antara+karakter+dan+program+kerja.jpg" height="320" width="215" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<br />Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-65837037223769055232014-05-20T10:09:00.000+07:002015-02-02T00:32:57.968+07:00Antara Karakter dan Program Kerja<br />
***Versi yang telah disunting dari artikel ini telah dimuat di majalah Times edisi 7 April 2014 (<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2GBDx0Z4_go1NwYDyQaUQLzUzO1SRZ8TpTQETkyf5_VrTPx_Oy-RB_wQUTsUty2KXbtW3NqO48amJvyDnHhMrtEXjBFwK1uUGSzYVx7oorB6M_kshdfeiLXmD0gca4sy4NmYrs2zFB6k/s1600/antara+karakter+dan+program+kerja.jpg">klik untuk melihat fotonya</a>)<br />
<br />
Menuju hajatan pemilu tahun ini, masyarakat dihadapkan dengan sebuah kebimbangan berjamaah: bagaimana cara menilai pilihan-pilihan yang tersedia di kertas suara? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa meminjam sebuah hikayat yang menceritakan perdebatan antara Luqman Al Hakim dengan rajanya tentang thabi’ah (watak) dan tarbiyyah (pendidikan): mana yang lebih kuat?<br />
<br />
Luqman berpendapat thabi’ah lebih kuat, Raja sebaliknya. Untuk memenangkan perdebatan ini, Raja melatih sekumpulan anak kucing. Namun di sisi lain Luqman tahu rencana ini. Tiba saatnya pembuktian dalam sebuah perjamuan makan. Keluarlah satu regu kucing berbusana layaknya para pelayan istana. Mereka berjalan diatas dua kaki dan berbaris rapi. Tangan-tangan, atau lebih tepat kaki-kaki depan mereka masing-masing menyangga nampan berisi hidangan ikan berbagai rasa. Kucing-kucing itu begerak lucu tapi tenang, meletakkan nampan-nampan ke atas meja tanpa sedikit pun keliahatan tertarik menyentuh ikannya.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Sang Raja tersenyum puas, “Lihat! Pendidikanku telah mengubah watak kucing-kucing itu!” Namun Luqman menanggapi santai, “Benarkan?” Lalu Luqman merogoh saku dan mengeluarkan senjata rahasianya: seekor tikus! Dia melepas tikus itu ke tengah ruangan dan kucing-kucing pun berserabutan mengejarnya. Lupa berjalan seperti manusia. Lupa busana dan disiplin pelayan istana. Tak peduli sama sekali pada tamu-tamu, bahkan pada Sang Raja tuan mereka.<br />
<br />
Cerita tersebut diambil dari blog teronggosong.com yang diasuh oleh Yahya Cholil Staquf, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah. Ia memberikan pelajaran tentang pentingnya memisahkan antara kapabilitas (kompetensi) yang artifisial dengan penghayatan pengetahuan sehingga membentuk karakter yang sesungguhnya. Dalam konteks pemilu saat ini, kemampuan menilai karakter seseorang atau organisasi menjadi sangat penting. Pasalnya, demokrasi di negara ini masih berwujud politik pertunjukan (political show), sehingga bisa menghanyutkan siapa saja yang terpesona oleh lantunan retorika manis dalam sandiwara politik.<br />
<br />
Partai politik dan para calon anggota legislatif di masa kampanye berlomba-lomba menjual dirinya, baik janji-janji untuk masa depan maupun rekam jejak waktu lalu. Janji-janji dan rekam jejak tersebut bisa ditemukan dalam dokumen formal seperti falsafah dasar organisasi, program kerja, dan materi iklan politik. Kata-kata melangit dan janji-janji surga dirangkai dalam retorika dan koreografi di atas panggung untuk meyakinkan publik atas kehebatan dirinya.<br />
<br />
Di sini, publik diajak untuk mempercayai apa yang didengar dan dilihatnya. Seperti halnya pertunjukan drama, semakin penonton terbawa oleh akting di atas panggung, kian puaslah sang sutradara dan aktornya. Dihubungkan konteks pemilu, itu bisa berarti kantong suara yang makin gemuk. Tapi, politik tentu bukan pertunjukan karena politik akan berimplikasi langsung pada kehidupan nyata. Oleh karena itu, agar proses pemilu bisa memberikan manfaat yang optimal, publik dituntut harus mampu melihat hal-hal yang esensial di balik kostum dan riasan yang dipakai oleh para politisi dan partainya.<br />
<br />
Namun demikian, dokumen formal seperti program kerja tetaplah penting. Program kerja bisa dilihat sebagai referensi atas pemikiran dan rencana seseorang. Sebagai dokumen politik, ia bisa memberikan gambaran tentang arah pergerakan seseorang atau organisasi dalam menjalankan amanahnya nanti.<br />
<br />
Jika kembali ke belakang, naskah-naskah politik bisa kita temukan sejak periode sekitar kemerdekaan. Masa ini disebut-sebut sebagai zaman keemasan politik ideologi di Indonesia. Pasalnya, tulisan dan perkataan para politisi di masa itu merupakan cerminan dari pengetahuan, ideologi, dan metode perjuangan yang diyakini. Antara dokumen formal dan individu yang mengusungnya saat itu hampir tidak berjarak. Jika ingin mengetahui wajah kehidupan tokoh di waktu tersebut, maka baca saja tulisan-tulisannya. Sebagai contoh, Mohammad Hatta yang mengusung konsep ‘ekonomi rakyat’ dikenal sebagai pribadi yang jujur, sederhana, dan tidak goyah pendirian di bawah moncong senjata. Bisa dikatakan bahwa konsep tersebut telah membudaya dan membentuk karakter seorang Hatta.<br />
<br />
Namun di masa kini, konsep atau strategi yang dibungkus dalam program kerja bisa bermakna dangkal karena ia disusun atas pertimbangan politik. Jika membaca berbagai dokumen yang disodorkan oleh parpol, akan mudah dilihat bahwa di dalamnya sarat dengan jargon-jargon populer nan normatif, minim dengan gagasan yang kongkret. Bisa dikatakan bahwa program kerja tersebut adalah satu paket dengan rangkaian aktifitas pencitraan politik yang dirumuskan oleh para penasehat-penasehatnya.<br />
<br />
Fenomena ‘konsultan politik’ ini dengan sendirinya mengurangi legitimasi program kerja. Jika menilik pengalaman di pemilu-pemilu yang lalu, kalimat-kalimat megah yang dibumbui dengan kata-kata ‘rakyat’ dimunculkan sekedar untuk merebut hati publik, tanpa ada penghayatan yang dalam. Selaras dengan itu, saat diadakan debat atau diskusi terbuka pun sering terlihat seseorang berargumentasi berdasarkan hal-hal yang jauh — atau bahkan bertentangan — dari apa yang dia yakini demi merebut simpati. Singkat kata, program kerja kemudian bisa tidak lebih dari sekedar naskah skenario dan skrip dialog seperti halnya dalam pertunjukan drama.<br />
<br />
Masalahnya, tidak seperti skrip dialog dalam pertunjukan drama, program kerja harus dioperasikan dalam aktivitas yang nyata. Karena itu, program kerja seseorang atau organisasi bisa diamati pada perilaku dan keputusan-keputusan yang diambilnya. Mereka yang sungguh-sungguh akan terlihat bahwa tidak ada jarak antara program kerja sebagai dokumen formal dengan gerak-geriknya di alam nyata.<br />
<br />
Dengan demikian, menilai seseorang atau organisasi berdasarkan dokumen formal dan penampilan saja tentu sangat tidak memadahi. Agar tidak hanyut oleh pertunjukan politik, karakter bisa menjadi parameter yang lebih akurat dalam menilai bagaimana seseorang atau organisasi akan berperilaku di masa depan. Dalam kata lain, karakter seseorang atau organisasi merupakan program kerja yang sesungguhnya (genuine).<br />
<br />
Karakter atau akhlak, menurut pandangan Ghazali (dalam Quasem, 1988), bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’a rasikha fi-n-nafs). Kemantapan jiwa ini ditunjukkan dalam perbuatan atau pengamalan sehari-hari, baik di ranah pribadi maupun saat menjalankan pekerjaan. Dalam ranah individu, keempat kualitas tersebut bisa diamati pada tingkat pengetahuan dan empati seseorang. Sementara itu, pada organisasi politik, sifat-sifat tersebut bisa dilihat pada kecenderungan-kecenderungan kolektif dalam menghadapi berbagai isu, terutama yang tidak menguntungkan bagi dirinya, dan bagaimana perilaku anggotanya saat mendapatkan kekuasaan.<br />
<br />
Dengan demikian, dalam era politik pertunjukan saat ini, aspek karakter memiliki makna yang lebih besar dibandingkan program kerja. Namun perlu digarisbawahi kembali bahwa bukan berarti program kerja tidak penting. Karena itu, penilaian karakter di sini secara umum merujuk pada seberapa dekat watak dan perilaku seseorang atau organisasi dengan perkataannya.<br />
<br />
Sebagai contoh praktis, untuk menilai seseorang yang menjanjikan konsep ekonomi kerakyatan, bisa dikonfirmasi pada bagaimana dia memperlakukan orang lain, gaya hidup, dan kecenderungan menghadapi perbedaan. Jika selama ini dia menghormati hak-hak orang lain, hidup sederhana, dan mampu menunjukkan empati, maka secara umum kita bisa pegang janji tersebut. Begitu pun jika ada politisi yang tidak mau berbicara secara terbuka, publik bisa mengetahui ‘program kerja’ yang tersembunyi dari perilakunya selama ini.<br />
<br />
Pada prakteknya tentu tidak sesederhana itu karena publik dihadapkan pada alternatif-alternatif yang serba abu-abu dan saling tumpang tindih di alam nyata, bukan hitam-putih dan terisolasi dalam ruang hampa. Publik pun harus pintar memilah dan memilih fakta yang relevan di tengah arus banjir informasi saat ini. Meski demikian, seperti kisah di awal tulisan ini, perlu diingat bahwa secerdik apapun ia berlagak dan menghias dirinya, seekor kucing akan selalu mengikuti watak yang sebenarnya. []<br />
<div>
<br /></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-38354689472570007412014-05-07T06:31:00.000+07:002015-02-02T00:33:26.546+07:00Dilema Muslim Kontemporer: Antara Korupsi Dan Sektarian<br />
Dilema kaum muslimin dalam demokrasi pada era ini adalah saat harus memilih partai yang terindikasi banyak kasus korupsi, atau mendukung partai yang dikenal cukup bersih namun mewakili kelompok sektarian. Secara formal berdasarkan dokumen-dokumen resminya memang tidak ada partai yang bercorak sektarian, namun ada partai yang dalam praktiknya mendukung gerakan sektarian, sehingga bisa dikatakan bahwa ia adalah 'partai sektarian'. Di satu sisi, semua orang sudah sadar bahwa korupsi telah mengakibatkan begitu banyak kerusakan sosial dan ekonomi. Di sisi lain, paham sektarian juga memiliki daya rusak yang tidak kalah dahsyat: mengancam persatuan bangsa Indonesia. Jika ditimbang-timbang, mana yang lebih berbahaya antara korupsi atau sektarian? Sulit untuk mengukurnya, namun pengalaman di Aceh & Afghanistan menunjukkan bahwa rezim sektarian memunculkan praktek korupsi yang melembaga. Artinya, perilaku korupsi tersebut dilakukan dengan modus yang makin canggih, sehingga kian sulit ditangani.<br />
<br />
Mengapa paham sektarian begitu berbahaya telah cukup banyak dibahas di berbagai literatur. Secara umum, kekuasaan oleh kelompok sektarian dipahami sebagai upaya hegemoni sebuah kelompok atas kelompok lain berdasarkan nilai-nilai yang diyakini secara sepihak oleh kelompok penguasa. Kelompok lain yang tidak berkuasa namun memiliki nilai-nilai yang berbeda harus mengikuti tatanan yang ditetapkan oleh kelompok penguasa. Dalam perilaku sehari-hari, kelompok ini bisa dikenali dari sikap mereka yang seakan-akan paling benar dan merasa sebagai otoritas penjaga moral karena menjadi representasi tunggal atas hukum yang mereka yakini. Bagi negara yang sangat beragam seperti Indonesia, situasi tersebut tentu bisa merusak kerukunan.<br />
<br />
Namun ada satu hal yang jarang disebut tentang kelompok sektarian, yaitu hubungan antara sektarian dan korupsi. Meski pada fase awal, yaitu saat belum berkuasa dan mendapat dukungan masyarakat luas, mereka tampak simpatik dan ‘bersih’. Tapi situasi bisa berbeda jika kelompok ini telah mendapatkan kekuasaan dan legitimasi.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Salah satu karakter yang menonjol dari kelompok ini adalah menggunakan pola indoktrinasi dalam pengorganisasian dirinya. Begitu kuatnya indoktrinasi ini membuat loyalitas anggota atau kader sedemikian begitu tinggi, namun sekaligus mereka irasional. Setiap anggota secara sukarela mempercayai bahwa perkataan dan tindakan para elit kelompok adalah benar, tidak boleh lagi dipertanyakan. Pada titik ekstrim, situasi ini kemudian menuju kepercayaan yang buta (blind faith). Ketaatan terhadap pemimpin mereka menjadi nafas di kelompok ini. Dari perspektif relasi kuasa, kalangan elit memang akan mudah mengendalikan mesin organisasi jika anggota-anggota di bawahnya patuh. Seperti halnya organisasi mafia, kepemimpinan kelompok ini berciri absolut. Buku Ilusi Negara Islam (2009) sebenarnya secara eksplisit telah membahas hal ini, namun tidak begitu tajam.<br />
<br />
Kekuasaan yang absolut tersebut, seperti yang sudah sering dibahas, adalah benih unggul bagi perilaku korup. Makna perilaku korup di sini bukan hanya merugikan negara seperti yang dirumuskan oleh hukum pidana kita, tapi juga korup dalam artian menggunakan sumber daya negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya secara legal. Contohnya adalah memobilisasi sebagian besar dana APBD untuk wilayah yang jadi basis massa partai. Namun, apa bedanya dengan korupsi yang dilakukan oleh kelompok lain yang “normal”? Karena organisasi dijalankan dengan ketaatan yang irasional, maka kelompok sektarian tidak mengenal adanya mekanisme feedback. Kalaupun ada, mekanisme tersebut hanya terisolasi pada sekelompok elitnya. Karena itu, karakter lain dari kelompok sektarian adalah adanya sel-sel dan hirarki yang dibuat terisolasi.<br />
<br />
Secara sederhana, mekanisme feedback ini seperti halnya saat seseorang sedang mengemudikan kendaraan. Saat mengemudi, seseorang mempunyai tujuan tertentu dan kemudian memilih jalan untuk mencapainya. Karena itu, pengemudi yang baik adalah yang bisa mengendalikan kendaraan searah dengan tujuan dan menjaga agar selalu berada pada jalan yang telah ditetapkan. Untuk keperluan tersebut, tangan dan kaki berkoordinasi sedemikian rupa sehingga bisa mengoperasikan perangkat penggerak kendaraan. Di sisi lain, mata pengemudi memberikan masukan kepada pengemudi berupa informasi apakah gerakan kendaraan telah sesuai dengan arah dan jalan yang diinginkan. Jika masukan dari mata tersebut menghasilkan keputusan untuk berbelok, mempercepat, atau melambat, maka pengemudi memberikan perintah koreksi bagi perangkat penggerak kendaraan melalui tangan dan kakinya. Karena itu, jika pengemudi tidak mengindahkan masukan dari mata, kendaraan akan bergerak ke arah yang salah, atau bahkan bisa terjadi kecelakaan yang membahayakan dirinya maupun orang lain. Analogi ini sedikit banyak bisa diberlakukan bagi organisasi atau tiap sistem sosial pada umumnya.<br />
<br />
Menurut Albert Hirschmann (1970), ketiadaan mekanisme feedback, atau dia menyebutnya dengan voice, bisa membuat loyalitas pada sebuah organisasi menjadi tumpul, dan kemudian menyebabkan kegalauan massal di antara anggota. Imbasnya, organisasi menjadi makin rusak karena tidak ada kendali untuk tetap berada berjalan di koridor yang ditetapkan. Berikutnya, terjadi eksodus anggota. Dia mencontohkan, sekolah negeri di Amerika Serikat yang makin terpuruk karena warganya lebih memilih sekolah swasta yang dianggap lebih berkualitas, transparan, dan responsif. Karena itu, Hirschman mengambil kesimpulan bahwa mekanisme feedback adalah keharusan bagi sebuah organisasi agar tetap berada dalam koridor yang telah dirumuskan.<br />
<br />
Namun, skenario mekanisme feedback di atas hanya berlaku bagi kelompok yang para anggotanya tetap rasional. Bagi kelompok sektarian yang irasonal, nihilnya mekanisme feedback tidak menjadi masalah. Karena para anggota tetap hidup dalam dunia fantasi yang diciptakan oleh para elitnya, maka mereka menjadi tidak lagi sensitif terhadap kesalahan para pemimpinnya. Bahkan mereka menganggap para elit kelompok adalah orang-orang yang derajatnya begitu tinggi, sehingga hampir mustahil bisa berbuat salah.<br />
<br />
Imbas dari kondisi organisasi sektarian yang seperti itu adalah pembiaran, atau bahkan pembelaan, dari anggota kelompok saat elitnya melakukan kesalahan. Hal tersebut bisa dilihat pada saat kelompok ini menguasai pemerintahan sebuah daerah. Sebuah contoh yang cukup umum, para kader sebuah partai tidak mau mengakui, dan sebagian membela, seorang elitnya yang terbukti melakukan kesalahan, bahkan saat telah disajikan bukti formal dari pihak yang berwenang atas kesalahan tersebut.<br />
<br />
Hal tersebut bisa dilihat pada polemik pelanggaran aturan ijin lingkungan (Amdal) dan tata ruang (RTRW) dalam pembangunan Hotel Pullman di Kota Bandung. Meski kadernya termasuk golongan terdidik dan selalu kritis menghadapi berbagai persoalan, namun tiba-tiba mereka kehilangan rasionalitas saat menyangkut kesalahan elit partainya. Padahal, kesalahan ini bisa dibilang sederhana dan begitu nyata. Maka, bisa dibayangkan bagaimana sikap para anggota kelompok tersebut jika para elitnya melakukan kesalahan namun penilaian atas perilaku tersebut memerlukan pertimbangan etika yang rumit dan problematis (misalnya saat menghadapi isu-isu yang menyangkut kaum minoritas atau menyinggung masalah moralitas).<br />
<br />
Jika para elit kelompok menutup saluran bagi anggotanya sendiri untuk memberikan feecback, maka bisa diperkirakan bagaimana sikap mereka terhadap masukan dan kritik dari pihak lain yang berasal dari luar kelompoknya. Bahkan, pada masa pemilu akhir-akhir ini, jika ada pihak lain sekedar mempertanyakan sesuatu pun langsung dicap sebagai anti atau hater. Maka, corak berikutnya dari kelompok ini adalah karakternya yang eksklusif.<br />
<br />
Pada saat mendapatkan amanah untuk memimpin birokrasi, karakter eksklusif ini juga tampak. Salah satunya adalah dengan cara membawa barisan sendiri (‘staf ahli’) untuk membantu operasional organisasi, lalu mengisolasi pengambilan keputusan hanya di antara mereka. Sementara itu, peran pegawai yang telah lama berada di situ pelan-pelan dilucuti, sehingga praktis tidak ada pembelajaran organisasi di birokrasi tersebut. Situasi ini terjadi di beberapa kementrian/badan dan pemda di era SBY yang pertama maupun kedua.<br />
<br />
Fenomena ini menunjukkan bahwa kelompok sektarian memiliki bahaya yang minimal sama besar dengan perilaku korupsi yang memang sudah akut di negeri ini. Meski demikian, kasus-kasus korupsi yang terungkap selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar merupakan perilaku oknum atau kerjasama antara beberapa pihak, tidak sampai melembaga. Dalam hal ini, korupsi telah diakui sebagai kejahatan luar biasa, namun kelompok sektarian berpotensi melahirkan korupsi yang luar biasa. Kejahatan luar biasa kuadrat.<br />
<br />
Jika kelompok sektarian sedemikian kelam, mengapa mereka bisa mendapatkan dukungan? Menjamurnya paham sektarian tidak terlepas dari buruknya penyelenggaraan negara saat ini sebagai hasil dari proses demokrasi yang belum matang. Pada gilirannya, kondisi demokrasi yang seperti itu membuat kualitas kehidupan sosial, politik, dan ekonomi kian rendah. Dengan pintar kelompok-kelompok sektarian tersebut memanfaatkan situasi ini untuk menanamkan ketidakpercayaan pada pemerintah dan mendeligitimasi Demokrasi Pancasila.<br />
<br />
Karena itu, agar proses demokrasi tidak menjadi ladang subur bagi paham sektarian, perlu langkah-langkah sistematis untuk memperbaiki kualitas demokrasi dengan cara meningkatkan kapasitas kelembagaan dan lembaga politik (terutama partai-partai politik). Jika rakyat bisa merasakan manfaat yang nyata dan adil dari sistem demokrasi yang dirumuskan dalam Pancasila, maka kelompok- kelompok sektarian akan sulit mendapatkan ekosistem untuk tumbuh dan berkembang biak.<br />
<br />
Dilema antara memilih yang terindikasi korup dan yang cenderung sektarian bagai teka-teki yang tidak berkesudahan bagi umat muslim saat ini, setidaknya untuk beberapa pemilu mendatang. Meski begitu, karena negara ini berdasarkan prinsip Demokrasi Pancasila, maka kita pun harus menghormati hak politik kelompok-kelompok sektarian tersebut. Karena itu, umat muslim pun harus pandai-pandai bersikap agar paham sektarian tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial dan sistem kenegaraan kita. [end]Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8216091204295336718.post-64999718691112332822014-05-07T06:16:00.002+07:002015-02-02T00:33:42.914+07:00Energi Nuklir: Bagaimana Dan Untuk (Si)apaPolemik di sekitar pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tidak pernah berhenti. Sayangnya, polemik yang terjadi selama ini tidak banyak memberikan sumbangsih pengetahuan bagi masyarakat maupun membawa kemajuan dalam kebijakan energi kita. Itu terjadi karena masing-masing pihak yang berseteru mengajukan argumennya tanpa pernah memikirkan menyentuh pokok masalahnya, yaitu tata kelola teknologi.<br />
<br />
Pihak yang pro gigih berpendapat bahwa pembangunan industri di negara ini membutuhkan nuklir untuk memenuhi kebutuhan energinya. Argumentasinya, jika ingin membangun ekonomi berbasis industri, maka konsumsi listrik Indonesia yang berkisar 700 kilowatt-jam (kWh) per kapita per tahun dipandang masih sangat kurang.<br />
<br />
Di sisi lain, negara tetangga Malaysia dan Singapura mengonsumsi listrik masing-masing sebesar 3.500 dan 8.800 (kWh) per kapita per tahun. Karena pasokan energi listrik yang melimpah, kedua negara tersebut leluasa mengembangkan sektor industrinya sehingga mereka menikmati kemajuan ekonomi yang begitu besar. Menurut Kementrian ESDM, data statistik pemakaian listrik dan performa ekonomi di seluruh dunia memang menunjukkan relasi yang positif antara konsumsi energi listrik dengan kesejahteraan sebuah negara.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Menggunakan data tersebut, pihak pemerintah berargumentasi bahwa jika setidaknya ingin menyaingi industri Malaysia, maka Indonesia harus membangun pembangkit listrik sebesar 5 kali lipat dibanding yang dimiliki saat ini. Kapasitas total pembangkit listrik di Indonesia saat ini adalah berkisar pada 40 ribu megawatt (MW). Dengan demikian, kita butuh pembangkit yang mampu menyediakan listrik sebesar 160 ribu MW.<br />
<br />
Pembangkit energi listrik yang dibutuhkan untuk mengembangkan industri adalah yang mampu melayani base load (beban dasar), yaitu beban yang berjumlah besar dan stabil (tetap) sepanjang waktu. Beban yang besar ini disebabkan oleh industri yang umumnya membutuhkan listrik untuk menjalankan mesin penggerak (motor listrik), serta untuk proses pemanasan (heating) dan pendinginan (cooling).<br />
<br />
Jenis pembangkit listrik yang tersedia untuk melayani base load adalah berbasis batubara, gas, minyak bumi, air (PLTA), panas bumi, dan nuklir. Sementara itu, sumber terbarukan seperti angin, matahari, dan laut (gelombang, arus, dan pasang-surut) tidak cocok untuk industri karena suplai energinya tidak stabil.<br />
<br />
Pembangkit menggunakan minyak bumi tidak memungkinkan karena tarif listriknya mahal, sedangkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) telah ditinggalkan karena menghancurkan ekosistem. Batubara dan gas sebenarnya opsi yang baik karena kita memiliki sumber daya yang melimpah untuk kedua komoditas energi tersebut. Namun, emisi pembangkit listrik batubara dan gas masing-masing sekitar 750 dan 300 gram karbon dioksida per kWh. Karena itu, keduanya dianggap tidak cocok dengan narasi perubahan iklim yang akhir-akhir ini mencengkeram negara-negara berkembang. Membangun pembangkit listrik batubara dan gas boleh, tapi harus dibatasi.<br />
<br />
Di sisi lain, panas bumi praktis tidak mengeluarkan emisi karbon, sementara energi nuklir hanya menghasilkan 25 gram karbon dioksida per kWh. Jika menilik pada potensi yang dimiliki, maka panas bumi menjadi alternatif yang menarik. Namun demikian, walaupun potensi (resource) panas bumi kita begitu besar (28 ribu MW), namun cadangannya (reserve) hanya berkisar 10 ribu MW. Karena itu, pembangkit listrik panas bumi tidak memadahi untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus bertambah.<br />
<br />
Dengan dasar itulah pemerintah beralasan bahwa PLTN menjadi opsi yang harus dipertimbangkan. Selain rendah emisi karbon, ia memiliki kerapatan energi yang begitu tinggi sehingga satu buah reaktornya mampu menghasilkan listrik sebesar 1.000 MW. Harga listriknya pun cukup murah, yaitu sekitar USD 8 sen per kWh. Angka tersebut meliputi semua komponen biayanya, yaitu konstruksi, perawatan, operasional, pembelian bahan bakar, pengolahan sisa bahan bakar, dan decommisioning, serta jangka waktu pengembalian investasinya adalah 30 tahun.<br />
<br />
Investasi yang dibutuhkan memang besar, yaitu sekitar USD 4.000 per kilowatt (kW), sehingga dibutuhkan biaya sebesar Rp 40 triliun untuk membangun sebuah reaktornya. Namun itu terjadi karena sebagian besar (sekitar 70 persen) terserap untuk memenuhi biaya awal (initial cost) konstruksinya.<br />
<br />
Alasan lainnya, teknologi PLTN saat ini telah berada pada fase yang matang. Standar keamanan pembangkit nuklir dan reaktornya telah sedemikian tinggi, sehingga bisa menghadapi berbagai skenario kegagalan atau bencana. Pembangunan PLTN pun harus memenuhi berbagai standar Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang sangat ketat, mulai dari survey penentuan lokasi, konstruksi, hingga operasionalnya.<br />
<br />
Pada isu keamanan ini lah pihak yang kontra mengambil posisinya. Salah satu kejadian yang sering disebut adalah kecelakaan nuklir di pembangkit listrik Fukushima Daiichi. Hingga hari ini, otoritas pemerintah Jepang memang masih melakukan penanganan atas kebocoran dari pembangkit tersebut.<br />
<br />
Namun, yang sering tidak disebutkan oleh pihak penentang nuklir adalah bahwa reaktor nuklir di Fukushima Daiichi adalah jenis reaktor tua yang kini tidak lagi dipakai. Ia merupakan tipe reaktor generasi pertama berjenis boiled water reactor (BWR) yang dibuat pada era 1950an. Kelemahan terbesar dari tipe ini adalah menggunakan pendinginan aktif (memerlukan energi listrik untuk mengalirkan cairan pendingin) dan memiliki sungkup (containment) beton. Karena itu, saat air laut akibat tsunami merendam ruang generator listrik, ia tidak bisa mengalirkan air pendingin. Akibatnya, pembungkus bahan bakar (cladding) dan dinding inti reaktor yang terbuat dari campuran logam (alloy) itu meleleh (meltdown). Berikutnya, gas hidrogen pun muncul dalam jumlah besar. Karena konstruksi sungkup pembangkit ini sederhana, yaitu tidak menggunakan beton tebal seperti reaktor terbaru, maka ledakan akibat akumulasi gas hidrogen tidak terelakkan.<br />
<br />
Hal lain yang jarang disebutkan adalah bahwa di pesisir timur Jepang tersebut sebenarnya ada 4 PLTN lain, yaitu Onagawa, Fukushima Daini, Tokai Daiichi, dan Tokai Daini. Mereka memiliki jenis reaktor yang lebih mutahir dibandingkan Fukushima Daiichi, yaitu memiliki sistem pendingin pasif dan sungkup beton yang tebal. Sungkup reaktor ini setebal hampir 50 centimeter, terinspirasi oleh desain bunker anti bom nuklir. Jika ditabrak oleh pesawat Boeing 747, ia hanya akan “lecet” sedalam 10 centimeter. Keempat reaktor bisa selamat melewati bencana gempa bumi dan tsunami.<br />
<br />
Dari kejadian di Jepang tersebut bisa disimpulkan bahwa secara teknis, desain PLTN terkini mampu menghadapi bencana seperti gempa bumi dan tsunami. Hal ini pula lah yang membuat pemerintah Jepang mengaktifkan kembali PLTN sebagai sumber utama untuk memenuhi kebutuhan listriknya.<br />
<br />
Dengan demikian, karena secara teknologi telah matang dan pengembangan industri membutuhkan energi yang besar, maka isu penting terkait agenda pembangunan PLTN di Indonesia bukanlah pada sisi teknis, namun pada tata kelola teknologinya. Ia terdiri dari dua hal, pertama adalah pengelolaan atau manajemen teknologi nuklir. Kedua, bagaimana pembangkit listrik ini bisa bermanfaat dan diterima oleh masyarakat.<br />
<br />
Aspek pengelolaan meliputi perencanaan, konstruksi, pengembangan, operasional, pengendalian, dan mitigasi jika terjadi kecelakaan. Untuk keperluan tersebut, Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN) melalui Badan Pengembangan Energi Nuklir (BPEN) harus dikawal agar rencana pembangunan PLTN ini dilakukan melalui kajian yang cermat dan komprehensif. Di sini, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) memegang peran yang krusial untuk menjaga agar agenda ini melalui proses yang seksama dan sekaligus transparan.<br />
<br />
Di sisi lain, aspek pemanfaatan dan penerimaan energi listrik dari PLTN merupakan pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyatnya. Di negara-negara maju, resiko dan biaya tinggi untuk membangun PLTN terbayar karena ia mampu menopang inovasi dan pengembangan industri, sehingga kesejahteraan rakyat meningkat.<br />
<br />
Karena itu, jika listrik dari PLTN hanya digunakan untuk melayani perusahaan asing, melanggengkan status sebagai bangsa kuli, atau bahkan sekedar agar pemirsa hiburan di televisi tidak terganggu, maka sebaiknya lupakan saja agenda energi nuklir. Namun apabila pemerintah bisa menunjukkan bahwa PLTN akan memberikan jaminan ketersediaan listrik untuk memajukan inovasi, menyuburkan kreatifitas, menumbuhkan industri nasional berbasis teknologi, dan mendorong pemerataan kesejahteraan, maka rencana pembangunan PLTN ini patut diberikan kesempatan.<br />
<br />
Selain itu, berkaca pada penolakan di Jepara, Jawa Tengah, pembangunan PLTN harus disertai dengan upaya pendekatan kepada masyarakat melalui jalan dialog dan penyebaran pengetahuan. Untuk keperluan ini, dibutuhkan penguasa yang sabar menghadapi dinamika sosial di masyarakat dan mampu berempati untuk menjembatani perbedaan pendapat.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
[end]</div>
<div>
<br /></div>
Ismail Al Anshorihttp://www.blogger.com/profile/14600932472037153792noreply@blogger.com0