Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat Penanaman Modal Asing (PMA) pada
2014 sebesar Rp 307 triliun. Dari gelaran APEC di Tiongkok beberapa waktu yang
lalu, Presiden Joko Widodo pun membawa “oleh-oleh” investasi asing sebesar
lebih dari Rp 300 triliun. Dengan kondisi keuangan negara yang pas-pasan, bisa
dimengerti jika pemerintah agresif menarik investasi asing untuk membiayai visi
poros maritim yang akan menjadi narasi pokok pemerintahannya. Namun, tanpa
mengerdilkan “prestasi” tersebut, Indonesia telah sejak lama menjadi primadona
para investor asing. Para pendahulu Jokowi berhasil menarik investasi asing
senilai ribuan triliun rupiah untuk ditanamkan ke dalam sektor pertambangan,
minyak dan gas, telekomunikasi, perbankan, dan perkebunan. Investasi tersebut
memang kemudian bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga awal
1990-an, namun kemudian stagnan pada level pendapatan menengah sehingga
Indonesia dianggap mengalami jebakan kelas menengah (middle income trap).
Di
sisi lain, para pelaku bisnis lokal kini gemetar menghadapi Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) yang akan berlaku pada akhir tahun 2015. Fenomena ini bisa menjadi
indikasi bahwa investasi asing yang begitu besar di masa lalu gagal dimanfaatkan
sebagai instrumen dan fasilitas untuk membuat bangsa ini berdaya. Dalam hal
pengembangan teknologi misalnya, alih-alih terjadi pembelajaran, investasi
asing justru membuat pelaku usaha lokal tersingkir dan masyarakat kian
bergantung pada pasokan teknologi dari luar negeri. Padahal, teknologi adalah
kunci utama agar sebuah entitas bisnis menjadi kompetitif. Oleh karena itu, pertanyaan
besar yang perlu dijawab oleh Jokowi adalah, bagaimana mengonversi besaran
investasi menjadi daya dorong inovasi?
Inovasi bisa dimaknai sebagai pengejawantahan ilmu pengetahuan ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk aktifitas ekonomi. Wujud inovasi bisa berupa penciptaan dan penggunaan teknologi, cara kerja organisasi, dan proses produksi. Inovasi dimungkinkan jika terdapat pembelajaran di dalam diri para pelaku ekonomi sehingga terjadi peningkatan kapasitas teknologis dan pengorganisasian kapital. Telah terbukti di Asia Timur hingga Skandinavia, inovasi adalah jalan terbaik untuk memperbaiki nasib sebuah bangsa.
Inovasi bisa dimaknai sebagai pengejawantahan ilmu pengetahuan ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk aktifitas ekonomi. Wujud inovasi bisa berupa penciptaan dan penggunaan teknologi, cara kerja organisasi, dan proses produksi. Inovasi dimungkinkan jika terdapat pembelajaran di dalam diri para pelaku ekonomi sehingga terjadi peningkatan kapasitas teknologis dan pengorganisasian kapital. Telah terbukti di Asia Timur hingga Skandinavia, inovasi adalah jalan terbaik untuk memperbaiki nasib sebuah bangsa.
Di
forum APEC tersebut, sembari menyatakan Indonesia terbuka bagi bisnis, Jokowi
juga menegaskan akan tetap mendahulukan kepentingan nasional. Dari perspektif
inovasi, kepentingan nasional tidak hanya berupa kepemilikan sebuah fragmen
aktivitas ekonomi, tetapi lebih kepada penguasaan teknologi pada aktivitas
tersebut. Dalam hal pengelolaan blok migas misalnya, perlindungan kepentingan
nasional tidak hanya tentang siapa yang menjadi pemilik blok tersebut, tapi lebih
kepada siapa yang memasok dan mengelola teknologinya. Para pemasok dan
pengelola teknologi inilah penikmat nilai tambah tertinggi. Selain itu, jika
suatu saat nanti aktivitas ekonomi di tempat tersebut telah berhenti, kapabilitas
teknologi bisa dialihkan untuk bidang yang lain. Pendeknya, pemerintah perlu mengubah
paradigma nasionalisme ekonomi dari sekedar kepemilikan menjadi kebisaan. Mengutip
istilah B. J. Habibie, pemerintah harus merebut jam kerja.
Sementara
itu, investasi asing tidak bisa dimaknai secara sempit hanya berupa aliran
dana. Menanamkan modal berarti bahwa para investor asing juga membawa serta
ilmu pengetahuan, teknologi, dan cara kerja mereka ke dalam negeri. Ini yang
membuat mengapa meski terdapat ribuan pabrik berteknologi tinggi bertebaran di
berbagai wilayah, para pelaku usaha teknologi lokal belum bisa terlibat aktif ke
dalam aktivitas produksi mereka. Sebagian besar teknologi dan bahan baku yang
dipakai masih diimpor. Oleh karena itu, jika Jokowi ingin memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi rakyat, dia harus meletakkan investasi asing tersebut
pada kerangka pembelajaran bagi para pelaku usaha lokal.
Sejauh
ini, niat pemerintah untuk memajukan industri nasional salah satunya
ditunjukkan oleh regulasi tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mendorong
pelaku usaha lokal menjadi penyedia material, tenaga kerja, dan alat kerja pada
proyek-proyek pengadaan pemerintah. Namun sejak diterapkan pada 2009, regulasi TKDN
dikritik karena industri lokal mendapat remah-remahnya saja. Komponen utama
yang bernilai tinggi masih berasal dari luar negeri.
Sementara
itu, para pelaku industri besar, baik lokal maupun asing, sebenarnya tidak
keberatan memanfaatkan material dan bahan baku yang dipasok oleh pengusaha lokal.
Mereka pun sadar bahwa kerjasama dengan pelaku usaha lokal akan memperkuat
ikatan sosial dengan lingkungan sekitarnya, selain potensi keuntungan dari
penghematan biaya. Salah satu kendala yang sering dihadapi adalah kontrol
kualitas. Selain itu, kalaupun ada perusahaan lokal yang mampu memenuhi
permintaan seperti standar, belum tentu bisa memroduksi sesuai dengan volume
yang diinginkan karena kekurangan modal. Yang lebih menyedihkan, ketika ada
perusahaan lokal yang mampu memroduksi sesuai standar dan volume yang diminta, kerjasama
tidak terwujud lantaran kedua pihak tersebut tidak saling kenal.
Oleh
karena itu, setelah berhasil membujuk para investor asing untuk menanamkan
modalnya, tugas pemerintahan Jokowi selanjutnya adalah membumikan investasi
asing tersebut. Pemerintah perlu melakukan pengembangan kapasitas (capacity building) bagi para pelaku
usaha lokal, baik dalam aspek teknologis maupun pengorganisasian kapital. Para
peneliti kita, baik di lingkungan akademik maupun lembaga riset pemerintah, bisa
diikutsertakan untuk berbagi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah mereka
kembangkan. Para ahli manajemen dan keuangan pun perlu dilibatkan agar para
pelaku usaha lokal bisa bersahabat dengan lembaga-lembaga finansial. Selanjutnya,
pemerintahan Jokowi bisa berperan sebagai “biro jodoh” yang mempertemukan para pihak
yang terkait agar mereka bisa saling mengenal dan kemudian “ngobrol”, sehingga terbukalah
peluang-peluang baru yang bisa dikembangkan lebih lanjut.
Upaya
ini bisa dimulai dengan langkah-langkah sederhana pada skala kecil sebagai
wahana belajar bersama bagi kalangan birokrasi, akademik, dan bisnis. Misalnya,
pemerintah memfasilitasi agar industri-industri besar di daerah Pantura bisa
terhubung dengan para pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) logam di daerah
Tegal dan Cirebon. Bahkan, lebih sederhana lagi, pemerintah bisa mendidik agar
warga di sekitar pabrik menjadi penyedia jasa katering profesional, sehingga
bisa jadi suatu saat nanti mereka akan mengembangkan industri kuliner di daerah
tersebut. Setelah skema yang sederhana bisa dijalankan dengan baik, berikutnya
bisa ditingkatkan untuk skema kerjasama dengan kompleksitas yang lebih tinggi.
Pemerintah
perlu memupuk dan membina inisiatif-inisiatif sederhana seperti ini sehingga skala
kapital dan nilai tambah teknologinya terus meningkat dari waktu ke waktu. Harapannya,
di masa depan kita tidak lagi membahas jumlah tenaga kerja yang bisa diserap
dari investasi asing, tapi berapa banyak industri lokal yang bisa ditumbuhkan
darinya.
No comments:
Post a Comment