We're married at such a young age. At that times, we've found ourselves as a best friend who can talk about anything. We both had a difficult period growing up as an adult. So, basically that marriage was meant as a sanctuary for our soul. I was comforting her, and she was comforting me. We then had a son. And after years we lived together, there was one thing that missing: love.
I know that some people said love is overrated, that marriage is about committed to someone who comfort you. In our case, this comfort feeling is abundant, yet in years of our marriage I started to feel that we lacked one little thing: spark. You know, that butterfly in the stomach feeling when you see or being around her, jealousy when she with someone else, miss her if you hadn't see her for a while, wondering why she acts strange, and so on.
We felt so comfortable so that we never had an argument in that years. We trust each other so much so that we never felt jealous when one of us had a meeting with our friends and went home late.
Then I started to see someone else. I'm not particularly interested to set up another relationship actually. I'm just looking for a spark that I didn't found in my marriage. At that time I began to thought that our marriage has failed us. Even sex didn't give us pleasure. "It was like eating your favorite foods on top of huge garbage pile."
"I want to divorce," I said. "Why?" she was shocked and puzzled. It takes weeks to explain that the reason was I didn't love her and she didn't love me. After month of divorce trial, we were finally separated. But since we started as a best friend, we still seeing each other for business matters. Even some of our colleagues didn't realize that we have been divorced.
Then each of us remarried with someone else. Now I'm marrying a woman who I have this much sparks. But the thing is, you have to trade spark with comfort. We argue over small things as much as we enjoy of being together. I'm jealous when she said that her ex was attending high school reunion. She's questioning me if I had business meeting with female colleagues. Nevertheless, implicitly we admitted that we're craving for quality time. She texts me when I'm not around home for a while, and I phone her when she's working overtime.
I'm happy with my marriage now, and so does my ex wife. After she married with his new husband, she started to wear make up and her outfit improves a lot. She looks younger also. Another impact is our son has a positive impression whenever he discusses about his parents.
-----
I'm marrying a man who I've been dated for around eight years. All these years he always understand me, trusts me, and I never heard him complain. He's a man that gives me comfort and security. But, I started to sense something wrong when I find myself didn't like to have sex with him. I even hate to have sex. I don't know why.
A year after my son born, I began to see other guys. I just want to have a joy of feeling that thrill again. I even looking for a job posting far away from here so that I have a reason to distance from him. Marriage and raising a child is tough. It's tougher if your marriage doesn't has enough sparks. Spark is like a fuel to marriage. Without it, you don't have enough energy to sail through.
-----
I favor spark over comfort. That's why I choose you.
Societal Learning
Wednesday, September 21, 2016
Tuesday, August 23, 2016
Benih di Ladang Hati
Seperti tanaman, itulah cintamu
Kau tanam benihnya di ladang hatimu
Setiap detik kau tunggui benih itu
Kau saksikan akarnya tumbuh siap menerjang setiap laju
Kau airi dari setiap tetesan air mata
Agar bertahan dari kerontang yang mendera
Tangan-tangan penuh luka kau bentangkan
Untuk melindungi dari angin yang menerpa
Kau tanam benihnya di ladang hatimu
Setiap detik kau tunggui benih itu
Kau saksikan akarnya tumbuh siap menerjang setiap laju
Kau airi dari setiap tetesan air mata
Agar bertahan dari kerontang yang mendera
Tangan-tangan penuh luka kau bentangkan
Untuk melindungi dari angin yang menerpa
Lalu dia yang kepadanya tanaman itu kau persembahkan
Datang dan bertanya
Sejujurnya aku terganggu oleh keberadaan tanamanmu
Maukah kau bunuh itu?
Aku akan lakukan apa pun untukmu, pikirmu
Bahkan yang tak mungkin pun engkau mau
Kau petik satu demi satu daunnya
Kau pangkas setiap inci batangnya
Kau cabut setiap helai akarnya
Kau biarkan mengering dan merana
Akhirnya kau bakar mereka
Dan ke laut kau sebarkan abunya
Hingga suatu saat tiada lagi di hatimu jejak dirinya
Dengan wajahnya yang selalu cantik dia datang tiba-tiba
Aku merindukan teduhnya tanamanmu itu
Maukah kau hidupkan kembali untukku?
Aku akan lakukan apa pun untukmu, pikirmu
Bahkan yang tak mungkin pun engkau mau
Bahkan yang tak mungkin pun engkau mau
Bisakah kau bantu kumpulkan serpihan abu di lautan luas? tanyamu
Akan aku dayungkan sampan untukmu
Dan dia pun tersedu di bahumu
Tapi itu tiada arti lagi bagimu
Wednesday, March 11, 2015
Dari Investasi Menuju Inovasi
Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat Penanaman Modal Asing (PMA) pada
2014 sebesar Rp 307 triliun. Dari gelaran APEC di Tiongkok beberapa waktu yang
lalu, Presiden Joko Widodo pun membawa “oleh-oleh” investasi asing sebesar
lebih dari Rp 300 triliun. Dengan kondisi keuangan negara yang pas-pasan, bisa
dimengerti jika pemerintah agresif menarik investasi asing untuk membiayai visi
poros maritim yang akan menjadi narasi pokok pemerintahannya. Namun, tanpa
mengerdilkan “prestasi” tersebut, Indonesia telah sejak lama menjadi primadona
para investor asing. Para pendahulu Jokowi berhasil menarik investasi asing
senilai ribuan triliun rupiah untuk ditanamkan ke dalam sektor pertambangan,
minyak dan gas, telekomunikasi, perbankan, dan perkebunan. Investasi tersebut
memang kemudian bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga awal
1990-an, namun kemudian stagnan pada level pendapatan menengah sehingga
Indonesia dianggap mengalami jebakan kelas menengah (middle income trap).
Di
sisi lain, para pelaku bisnis lokal kini gemetar menghadapi Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) yang akan berlaku pada akhir tahun 2015. Fenomena ini bisa menjadi
indikasi bahwa investasi asing yang begitu besar di masa lalu gagal dimanfaatkan
sebagai instrumen dan fasilitas untuk membuat bangsa ini berdaya. Dalam hal
pengembangan teknologi misalnya, alih-alih terjadi pembelajaran, investasi
asing justru membuat pelaku usaha lokal tersingkir dan masyarakat kian
bergantung pada pasokan teknologi dari luar negeri. Padahal, teknologi adalah
kunci utama agar sebuah entitas bisnis menjadi kompetitif. Oleh karena itu, pertanyaan
besar yang perlu dijawab oleh Jokowi adalah, bagaimana mengonversi besaran
investasi menjadi daya dorong inovasi?
Monday, March 09, 2015
Kolaborasi
Pemberantasan korupsi selama ini gagal karena KPK bertindak sendirian, seperti jagoan tunggal di film-film laga. Secara kebetulan masyarakat kita juga terbuai dengan "keberhasilan" semu karena diperlihatkan tontonan KPK bisa menangkap si ini dan si itu. Padahal, jumlah dan skala kasus yang diperiksa cuma segelintir. Pun tidak jarang kasus-kasus tersebut pesanan dari penguasa atau kelompok tertentu untuk membungkam lawan politiknya.
Jangkauan tangan KPK sebenarnya sangat kecil. Akibatnya KPK pilih-pilih, hanya bisa memproses kasus-kasus tertentu. Begitu banyaknya korupsi yang dilakukan secara terang-terangan, seperti di DKI Jakarta, memperlihatkan bahwa para koruptor tidak takut KPK. Sehingga, di kalangan para maling uang negara, berlaku pameo: hanya mereka yang lagi apes yang ketangkep KPK.
Friday, February 27, 2015
Mengukur Innovativeness
Dalam bidang inovasi dan kewirausahaan, salah satu persoalan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana mengukur innovativeness sebuah produk. Persoalan ini ada di perusahaan besar yang telah mapan saat mengembangkan produk mereka, maupun menilai start-up seperti yang diceritakan oleh Pak Budi Rahardjo dengan judul "Nasib Juara-Juara". Oleh karena masalah ini memang cukup pelik dan penting, Bruno Latour bersama sebuah tim bernama PROTEE juga pernah membuat publikasi yang dia sebut (bukan judul) "A Method for Following Innovation" (2000).
Wednesday, February 25, 2015
Ekonomi Kreatif: Pembelajaran dan Kolaborasi Melalui Sistem Pasar
***Artikel ini telah dimuat di IDCE Watch.
Introduksi
Tulisan ini
membahas tentang konsep pengembangan ekonomi kreatif dari 2 perspektif:
pembelajaran dan kolaborasi antar pelaku usaha kreatif. Penekanan pada tulisan
ini adalah pada upaya-upaya pembelajaran dan kolaborasi melalui sistem pasar. Posisi
ini diambil karena penulis melihat bahwa berbagai upaya pengembangan ekonomi
kreatif selama ini cenderung memperlakukan aktifitas kreatif dalam ranah normatif,
sosial, dan akademik, bukan dalam ranah ekonomi. Menempatkan ke dalam ranah
ekonomi artinya adalah menempatkan dinamika kegiatan kreatif ke dalam sistem
pasar.
Sementara itu, mekanisme
yang berlaku di ranah pasar ada dua, yaitu profit dan risiko. Semakin besar
risiko yang diambil oleh pelaku usaha, maka pembelajarannya pun akan semakin
banyak. Artinya, skala ekonomi sebuah usaha kreatif berbanding lurus dengan
kemampuan mengelola risiko. Demikian pula aspek kolaborasi akan mengikuti
ketika pelaku usaha memandang perlu bekerjasama dengan pelaku lainnya untuk
mengelola risiko tersebut. Oleh karena itu, terkait kebijakan, melalui
perspektif pasar ini penulis mencoba membahas hal-hal apa saja yang perlu
diperhatikan agar akselerasi pengembangan ekonomi kreatif bisa lebih cepat.
***
Ekonomi kreatif
bisa diartikan sebagai membawa kreatifitas ke dalam sistem pasar. Kreatifitas
disusun setidaknya oleh 3 hal: pengetahuan, keahlian (craft atau skill), dan
gagasan kreatif. Sementara itu, di dalam sistem pasar terdapat 2 mekanisme:
profit dan risiko (Gambar 1). Artinya, seseorang atau organisasi (firma)
bersedia atau berkehendak berkecimpung di pasar karena dia bisa melihat potensi
profit dan mampu mengelola risiko yang mungkin dihadapi. Oleh karena itu, bisa disimpulkan
secara kasar bahwa seseorang atau organisasi disebut sebagai pelaku usaha
kreatif yang unggul jika mampu mengelola (melakukan kalkulasi dan mitigasi)
profit dan risiko di pasar.
Thursday, February 19, 2015
Kebenaran Ideal vs Kebenaran Realita: Opsi
Dalam bukunya Development As Freedom, salah satu konsep yang ditawarkan Amartya Sen adalah etika dalam pembangunan ditranslasikan dengan opsi. Konsep Sen ini berbeda dengan ideolog seperti Marx dan Friedman yang menekankan kriteria-kriteria ideal dalam perumusan konsep etika.
Menurut Sen, etika tidak bisa dijalankan hanya dengan mengacu pada kriteria ideal. Antara ideal dan realita akan selalu ada celah/gap. Bahkan, hampir tidak mungkin mendapatkan kriteria ideal di dalam alam nyata. Oleh karena itu, perlu ada cara pandang lain untuk menjembatinya. Alih-alih berpegangan pada kriteria-kriteria ideal, Sen mengusulkan agar pelaksanaan pembangunan memberikan opsi-opsi.
Di alam ideal, kita berbicara tentang prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria. Tapi di dunia nyata kita harus membicarakan prinsip dan kriteria tersebut dalam bentuk opsi-opsi dan optimasi dalam bentuk kompromi-kompromi.
Menurut Sen, etika tidak bisa dijalankan hanya dengan mengacu pada kriteria ideal. Antara ideal dan realita akan selalu ada celah/gap. Bahkan, hampir tidak mungkin mendapatkan kriteria ideal di dalam alam nyata. Oleh karena itu, perlu ada cara pandang lain untuk menjembatinya. Alih-alih berpegangan pada kriteria-kriteria ideal, Sen mengusulkan agar pelaksanaan pembangunan memberikan opsi-opsi.
Di alam ideal, kita berbicara tentang prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria. Tapi di dunia nyata kita harus membicarakan prinsip dan kriteria tersebut dalam bentuk opsi-opsi dan optimasi dalam bentuk kompromi-kompromi.
Tuesday, February 10, 2015
Dokumen Ekonomi Kreatif Yang Tidak Kreatif
Barusan saya mencoba membaca cepat (skimming) buku ekonomi kreatif yang disusun oleh Kemenparekraf (nomenklatur kementerian jaman SBY). Ada dua dokumen, RPJM (48 Mb) dan RPJP (126 Mb). Keduanya secara berturut-turut memiliki ketebalan 411 dan 372 halaman. Buku ini colorful dan penuh dengan ilustrasi yang menarik, mirip dengan dokumen MP3EI.
Kesan pertama saya, kok tebal amat yak?! Lalu saya mencari dokumen ekonomi kreatif dari negara Eropa yang lebih mapan. Saya mendapatkan contoh dokumen dari beberapa negara: Jerman 32 halaman (download 900 kb), Finland 30 halaman (download 1.9 Mb), dan yang agak tebal adalah Eropa 80 halaman (download 3.31 Mb).
Dari jumlah halaman bisa dilihat bahwa dokumen Kemenparekraf jauh lebih besar dibandingkan rekan-rekannya kita di Eropa sana. Mungkin, saya menduga, Kemenparekraf ingin agar dokumen tersebut komprehensif, oleh karena itu menjadi sangat tebal.
Lalu, pertanyannya, apakah itu berarti dokumen Kemenparekraf tersebut lebih canggih? Belum tentu. Kecanggihan dokumen untuk kebijakan publik ditentukan bukan pada ke-komprehensif-an (comprehensiveness) isi sehingga menjadi sangat tebal, tapi pada apakah dokumen tersebut memiliki arah, tujuan, cara, dan langkah-langkah yang jelas. Tujuannya adalah agar dokumen tersebut bisa menjadi arena pembelajaran bersama yang efektif bagi pihak-pihak yang terlibat. Kalau membacanya saja sudah pusing, gimana mau belajar?
Kesan pertama saya, kok tebal amat yak?! Lalu saya mencari dokumen ekonomi kreatif dari negara Eropa yang lebih mapan. Saya mendapatkan contoh dokumen dari beberapa negara: Jerman 32 halaman (download 900 kb), Finland 30 halaman (download 1.9 Mb), dan yang agak tebal adalah Eropa 80 halaman (download 3.31 Mb).
Dari jumlah halaman bisa dilihat bahwa dokumen Kemenparekraf jauh lebih besar dibandingkan rekan-rekannya kita di Eropa sana. Mungkin, saya menduga, Kemenparekraf ingin agar dokumen tersebut komprehensif, oleh karena itu menjadi sangat tebal.
Lalu, pertanyannya, apakah itu berarti dokumen Kemenparekraf tersebut lebih canggih? Belum tentu. Kecanggihan dokumen untuk kebijakan publik ditentukan bukan pada ke-komprehensif-an (comprehensiveness) isi sehingga menjadi sangat tebal, tapi pada apakah dokumen tersebut memiliki arah, tujuan, cara, dan langkah-langkah yang jelas. Tujuannya adalah agar dokumen tersebut bisa menjadi arena pembelajaran bersama yang efektif bagi pihak-pihak yang terlibat. Kalau membacanya saja sudah pusing, gimana mau belajar?
Sunday, February 08, 2015
Tips Untuk Jamaah Hateriyah: Membangun Kontroversi
Tips MEMBANGUN KONTROVERSI utk jamaah hateriyah:
1) Cari info miring dari presiden baru. Semakin ga jelas sumbernya maka semakin bagus karena orang akan sulit konfirmasi, sehingga kontroversi makin kuat.
2) Efeknya akan lebih mantap kalau yang berbau Islam*, ada kata jual**, atau impor barang pertanian***.
3) Sodorkan info tersebut kepada "fitnah generator", baik yang tipe socmed (hapit_ari, jonsu, mustofa nahra) maupun portal berita (pkspyongyang, voaislam).
2) Efeknya akan lebih mantap kalau yang berbau Islam*, ada kata jual**, atau impor barang pertanian***.
3) Sodorkan info tersebut kepada "fitnah generator", baik yang tipe socmed (hapit_ari, jonsu, mustofa nahra) maupun portal berita (pkspyongyang, voaislam).
Tips Untuk Jamaah Hateriyah: TEST THE WATER
Bagi jamaah hateriyah sekalian, ada satu argumentasi yang ampuh untuk mengolok-olok presiden. Apa itu? Namanya: TEST THE WATER.
1) Sebarkan informasi yang miring tentang pemerintah tanpa cek & ricek. Akan lebih baik kalau didramatisir (misalnya dengan bawa2 agama), sehingga emosi pembaca akan mudah tersulut.
2) Kalau ternyata salah, bikin tuduhan baru dalam bentuk "TEST THE WATER".
Contoh: "Untung kita (atau sebut orang/kelompok dari otoritas moral) cepat-cepat mengangkat isu ini di socmed, makanya dia batalin. Dia kan cuma tes the water, kalo kita diem bakal dilanjutin tuh niatnya."
2) Kalau ternyata salah, bikin tuduhan baru dalam bentuk "TEST THE WATER".
Contoh: "Untung kita (atau sebut orang/kelompok dari otoritas moral) cepat-cepat mengangkat isu ini di socmed, makanya dia batalin. Dia kan cuma tes the water, kalo kita diem bakal dilanjutin tuh niatnya."
Subscribe to:
Posts (Atom)