Introduksi
Tulisan ini
membahas tentang konsep pengembangan ekonomi kreatif dari 2 perspektif:
pembelajaran dan kolaborasi antar pelaku usaha kreatif. Penekanan pada tulisan
ini adalah pada upaya-upaya pembelajaran dan kolaborasi melalui sistem pasar. Posisi
ini diambil karena penulis melihat bahwa berbagai upaya pengembangan ekonomi
kreatif selama ini cenderung memperlakukan aktifitas kreatif dalam ranah normatif,
sosial, dan akademik, bukan dalam ranah ekonomi. Menempatkan ke dalam ranah
ekonomi artinya adalah menempatkan dinamika kegiatan kreatif ke dalam sistem
pasar.
Sementara itu, mekanisme
yang berlaku di ranah pasar ada dua, yaitu profit dan risiko. Semakin besar
risiko yang diambil oleh pelaku usaha, maka pembelajarannya pun akan semakin
banyak. Artinya, skala ekonomi sebuah usaha kreatif berbanding lurus dengan
kemampuan mengelola risiko. Demikian pula aspek kolaborasi akan mengikuti
ketika pelaku usaha memandang perlu bekerjasama dengan pelaku lainnya untuk
mengelola risiko tersebut. Oleh karena itu, terkait kebijakan, melalui
perspektif pasar ini penulis mencoba membahas hal-hal apa saja yang perlu
diperhatikan agar akselerasi pengembangan ekonomi kreatif bisa lebih cepat.
***
Ekonomi kreatif
bisa diartikan sebagai membawa kreatifitas ke dalam sistem pasar. Kreatifitas
disusun setidaknya oleh 3 hal: pengetahuan, keahlian (craft atau skill), dan
gagasan kreatif. Sementara itu, di dalam sistem pasar terdapat 2 mekanisme:
profit dan risiko (Gambar 1). Artinya, seseorang atau organisasi (firma)
bersedia atau berkehendak berkecimpung di pasar karena dia bisa melihat potensi
profit dan mampu mengelola risiko yang mungkin dihadapi. Oleh karena itu, bisa disimpulkan
secara kasar bahwa seseorang atau organisasi disebut sebagai pelaku usaha
kreatif yang unggul jika mampu mengelola (melakukan kalkulasi dan mitigasi)
profit dan risiko di pasar.
Berdasarkan
preposisi di atas, industri kreatif akan berkembang menjadi sebuah tatanan
ekonomi yang tangguh jika para pelaku usahanya dari waktu ke waktu belajar
untuk mengelola risiko (dan profit) yang lebih besar. Sebenarnya, preposisi ini
tidak berbeda dengan sektor ekonomi yang lain, seperti pertanian atau
manufaktur. Namun, sektor kreatif memiliki karakter risiko yang berbeda, sehingga
dipandang mempunyai tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi. Oleh karena itu,
pengelolaan sektor kreatif harus dilakukan melalui cara-cara yang berbeda
dibandingkan sektor lainnya. Karena dinamikanya yang sulit diprediksi, tidak
bisa mengunakan model supply-demand konvesional,
perencanaan melalui proyeksi-proyeksi linier seperti di sektor manufaktur menjadi
kurang bermakna ketika diterapkan ke sektor kreatif. Upaya pengelolaan sektor
kreatif akhirnya disebut sebagai managing
the un-manageable. Ini membuat perencanaan ekonomi kreatif menjadi cukup
rumit, dan jika tidak hati-hati bisa jadi malah akan menghambat pertumbuhannya.Meninjau Masa Lalu
Terkait kebijakan
ekonomi kreatif, sebuah tulisan yang membandingkan dukungan pemerintah di
beberapa negara telah dibuat oleh Gustaff H. Iskandar dengan cukup
komprehensif. Untuk konteks Indonesia perlu kiranya kita meninjau kembali upaya
di masa lalu. Beberapa kritik bagi kebijakan di masa lalu bisa saya berikan
sebagai berikut:
- Kementerian Kemenparekraf (nomenklatur di era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono) menerbitkan dua buah dokumen blue print ekonomi kreatif. Masing-masing memiliki ketebalan 411 dan 372 halaman. Selain masalah ketebalan, pemaparan dalam dokumen ini terasa bertele-tele, sehingga malah menyulitkan para pelaku usaha kreatif untuk memahaminya. Sungguh ironis, dokumen yang seharusnya menjadi wahana pembelajaran bersama justru menjadi penghambat. Selain itu, sebagai sebuah dokumen rencana, ia tidak memuat langkah-langkah yang kongkret (siapa/apa melakukan apa), sehingga wajar jika para pelaku yang terlibat akan kesulitan memposisikan diri. Sebagai referensi, kita bisa menengok ke dokumen ekonomi kreatif Finlandia (30 halaman) dan Jerman (32 halaman) yang ringkas dan .
- Dukungan pemerintah di ekonomi kreatif umumnya terbagi menjadi 3: event (promosi dan pertunjukan), capacity building (pelatihan dan beasiswa), dan mengembangkan infrastruktur. Namun, upaya tersebut belum mampu mengembangkan kapabilitas para pelaku usaha kreatif secara signifikan. Salah satu sebabnya adalah berbagai upaya tersebut dilakukan melalui skema sosial, tanpa ada kegiatan risk taking di dalamnya. Contohnya, program pelatihan yang dibuat gratis memang menarik banyak orang untuk ikut serta. Namun, siapa yang tidak mau diberi sesuatu yang gratis? Bahkan, lebih parah karena program-program pemerintah untuk capacity building sekedar untuk menghabiskan anggaran, tanpa ada desain yang baik. Sementara, apakah ia bisa mendongkrak kapasitas pelaku usaha itu persoalan lain. Alhasil pembelajaran pelaku usaha kreatif berjalan lambat, dan pada gilirannya membuat perkembangan industri kreatif di Indonesia terbata-bata jika dibandingkan negara-negara tetangga.
- Pemerintah memang telah memetakan beberapa masalah terkait sektor-sektor pendukung ekonomi kreatif, seperti lembaga finansial dan perpajakan. Namun, belum ada upaya serius untuk menjembatani antara pelaku usaha kreatif dengan pelaku penyedia produk/jasa pendukung tersebut. Padahal, pelaku usaha swasta di Indonesia sebenarnya bisa memberikan dukungan yang cukup besar jika diikutsertakan ke dalam agenda ekonomi kreatif. Dalam bidang pembiayaan misalnya, belum tampak upaya pemerintah untuk membuat agar sektor usaha kreatif menjadi ramah bagi investor dan bank.
Pembelajaran dan Kolaborasi Melalui Interaksi di Pasar
Berkenaan dengan aspek
kebijakan ini, kita perlu kembali kepada preposisi di atas, yaitu bahwa ekonomi
kreatif adalah upaya membawa kreatifitas ke dalam sistem pasar. Oleh karena
itu, prinsip dukungan oleh pemerintah harus menggunakan cara-cara yang sesuai
dengan sistem pasar (Gambar 2).
Secara umum,
dukungan pemerintah bagi pelaku usaha kreatif memiliki dua tujuan. Tujuan pertama adalah mengembangkan sistem pembelajaran
dalam hal pengelolaan profit dan risiko, memperbesar nilai tambah produk,
meningkatkan produktifitas, dan memunculkan inisiatif-inisiatif. Kapasitas pembelajaran
ini kemudian berwujud dalam upaya-upaya manajerial serta penguasaan pengetahuan
dan teknologi.
Tujuan kedua adalah mendorong kolaborasi antar
pelaku usaha dengan keahlian yang berbeda dan platform aktifitas yang berbeda. Misalnya, kolaborasi antara pelaku
usaha kreatif dengan lembaga finansial, penyedia jasa media, dan kontraktor
infrastruktur. Kolaborasi ini menjadi keharusan karena umumnya sektor kreatif
dituntut bisa membuat produk-produk yang highly
customised, berbeda dari waktu ke waktu sesuai kebutuhan dan situasi, sehingga
integrasi vertikal yang lazim dilakukan di industri manufaktur menjadi tidak
efisien.
Karena berada di
ranah pasar, maka kedua tujuan tersebut harus dicapai melalui interaksi di
sistem pasar pula. Artinya, proses pembelajaran dan kolaborasi di antara para
pelaku usaha kreatif dibentuk melalui aktifitas mengelola risiko untuk
mendapatkan profit tertentu. Di sini, pemerintah bisa memberikan dukungan agar
risiko menjadi mudah dimitigasi dan profit menjadi jelas terlihat. Dengan
demikian, sistem insentif dan disinsentif pasar bekerja dengan optimal.
Sektor Pendukung: Dukungan Pemerintah vs. Pelibatan Swasta
Hal berikutnya yang
perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah bagaimana mendorong sektor swasta
agar ikut aktif menyukseskan agenda ekonomi kreatif (Gambar 3). Para pelaku
usaha swasta di Indonesia telah memiliki berbagai macam kemampuan yang bisa
mendukung sektor kreatif. Contohnya adalah dalam hal pengelolaan event (promosi dan pertunjukan),
pembiayaan, penyediaan media kreatif (panggung dan galeri), dan infrastruktur
pendukung (transportasi, logistik, dan teknologi informasi).
Dengan
mengikutsertakan swasta secara aktif untuk mendukung agenda ekonomi kreatif,
maka tugas pemerintah bisa lebih ringan. Dukungan pemerintah bisa difokuskan
untuk mendorong terjadinya interaksi pembelajaran dan kolaborasi di antara
pelaku usaha kreatif dan sektor pendukungnya. Misalnya, pemerintah bisa fokus
kepada capacity building dan membantu
mitigasi risiko usaha kreatif, sehingga ketidakpastian bisa dikurangi. Mitigasi
risiko ini misalnya melalui asuransi investasi, mempermudah pengurusan legalitas
produk kreatif, serta standarisasi dan sertifikasi. Harapannya, ketika
ketidakpastian bisa diminimalkan dan profit menjadi jelas terlihat, berbagai
pihak yang terkait dengan sektor kreatif akan tertarik untuk terlibat secara
aktif.
Event Sebagai Tipping Point Pengembangan Kapasitas
Salah satu bentuk
dukungan yang sering dilakukan oleh pemerintah adalah membuat event-event kreatif. Biasanya, event tersebut diharapkan bisa menjadi ajang
promosi bagi berbagai pihak terkait. Misalnya, berbagai acara pameran kerajinan
cukup sering dilakukan dan memang mampu menarik minat banyak pengunjung. Skala
transaksinya pun cukup besar, sehingga pameran-pameran tersebut selalu diadakan
kembali dari tahun ke tahun. Namun, jika diamati lebih lanjut, kapasitas para
pelaku usaha kreatif yang terlibat di acara tersebut tidak mengalami
perkembangan yang berarti. Indikasinya, tidak jarang ditemui mereka kewalahan
ketika mendapatkan pesanan dari luar negeri untuk jumlah dan kualitas tertentu.
Pendeknya, berbagai event tersebut
gagal menjadi tipping point (meminjam
istilah Malcolm Gladwell) bagi perkembangan usaha kreatif (Gambar 4).
Tipping point bagi perkembangan
industri kreatif bisa terjadi jika:
- Titik tersebut menjadi locus (titik kritis yang menjadi multiplier) dalam eksosistem ekonomi kreatif.
- Ada ‘lokomotif’ yang siap menarik sektor-sektor lainnya.
- Pasar dan penyedia sektor pendukung (seperti lembaga finansial dan legal) siap menangkap peluang yang ditawarkan oleh pelaku usaha kreatif.
- Scale up akan berjalan jika ada insentif untuk mengembangkan diri bagi masing-masing pelaku dalam eksositem. Karena ini dijalankan di ranah pasar, maka ia berbentuk insentif finansial.
Gambar 4 dibuat
berdasarkan event Social Media Festival. Ia berhasil menyemarakkan sektor usaha
media sosial di Indonesia, hingga mampu membuka mata banyak pihak tentang
potensi bisnis di bidang ini. Event
tersebut bisa menjadi tipping point
terjadi karena:
- Berbagai pihak bisa terbuka matanya dan kemudian menghasilkan sesuatu karena: a) Mereka mampu melihat values dari produk yang ditawarkan. b) Memiliki wewenang untuk mengambil keputusan dan memiliki kapasitas/kemampuan untuk mengambil tindakan stratejik.
- Infrastruktur sudah siap. Dalam hal bisnis online, infrastruktur tersebut adalah ketersediaan perangkat komunikasi berupa smartphone secara luas, jaringan internet & telekomunikasi yang memadahi, dan sistem pembayaran jarak jauh (transfer, paypal, kartu kredit).
- Masyarakat sudah familiar dengan berbagai produk berbasis internet, penggunaan social media sudah meluas, dan percaya dengan sistem transaksi di internet. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pasar siap menangkap produk.
- Investasi di bidang sosial media meluas karena para investor telah memiliki gambaran tentang potensi bisnis online, baik di Indonesia maupun di negara lain.
- Rantai produksi yang terlibat di industri tersebut telah siap untuk bekerja pada skala yang lebih besar dan kompleksitas lebih tinggi.
- Telah ada pemahaman tentang standar dan sistem kerja baku yang berlaku di industri, sehingga kualitas terjaga.
Social Media Fest
ini bisa menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan pelaku usaha kreatif
saat merencanakan sebuah event. Dengan
perencanaan yang baik, diharapkan sebuah event
akan memberikan manfaat yang optimal. Niat Kepala BEKRAF, Triawan Munaf, untuk
menggunakan sektor kuliner, fashion,
dan musik sebagai lokomotif adalah gagasan yang baik. Namun, seperti pada
Social Media Fest, penciptaan tipping
point memerlukan persiapan di berbagai macam aspek terkait.
Event Sebagai Pendorong Kolaborasi
Selain untuk
pengembangan kapasitas, event juga
bisa menjadi ajang kolaborasi. Senada dengan yang dijelaskan oleh Gustaff di
tulisannya beberapa waktu yang lalu, event
kreatif di sini juga bisa dilakukan selaras dengan kegiatan ekonomi yang
telah ada sebelumnya.
Pada kesempatan
ini, saya mengambil contoh event The
Young Director Award (YDA) yang
diadakan oleh European Federation for Commercial Film Producers (CFP-E) sejak
1998. YDA adalah lomba pembuatan film pendek bagi para sineas muda, sehingga
bisa menjadi ajang untuk mendukung dan mempromosikan karya-karya mereka. Di acara
ini para sineas muda bisa berkompetisi sekaligus belajar dari peserta lomba
lainnya.
Di Indonesia juga
telah ada lomba semacam ini, seperti Eagle Awards. Namun, menurut penuturan
salah seorang pelaku usaha video di Bandung, aspek skenario masih menjadi gap di bidang video dan film ini.
Kemampuan produksi video bisa dikatakan sudah cukup mumpuni, tapi kualitas
skenario masih lemah. Di sisi lain, ada kemungkinan bahwa masyarakat kita
sebenarnya memiliki potensi dalam penulisan skenario, tapi selama ini potensi
tersebut belum terhubung dengan aktifitas pembuatan video. Oleh karena itu,
perlu ada upaya untuk memperkuat aspek skenario ini dengan cara menghubungkan
kapabilitas penulisan skenario dengan keahlian pembuatan video.
Sebagai contoh,
untuk mendorong kolaborasi ini pemerintah bisa mengadakan 2 buah event: lomba penulisan skenario video
atau film pendek; dan lomba produksi video (Gambar 5). Cara seperti ini bisa
dilakukan oleh pemerintah daerah, tidak harus dilakukan oleh pemerintah pusat. Untuk
wilayah Kota Bandung misalnya, event
ini bisa dijalankan bersamaan dengan kebutuhan promosi (city branding). Oleh karena telah dialokasikan di dalam APBD, maka
pembiayaan event tidak perlu diadakan
secara khusus. Pemerintah Kota Bandung bisa menentukan kriteria-kriteria
penilaian bagi kedua lomba tersebut. Hasilnya, video promosi Kota Bandung akan
dibuat secara kolaboratif oleh mereka yang menggeluti penulisan skenario
bersama dengan orang-orang yang menekuni produksi video. Jika memang
diperlukan, pemerintah bisa mengadakan program capacity building. Melalui pengelolaan event seperti ini,
pemerintah daerah dapat memenuhi kebutuhan untuk promosi, sekaligus bisa
menjadi katalisator terwujudnya kolaborasi di antara para pelaku usaha kreatif.
Ada beragam cara
yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pembelajaran dan kolaborasi
di ranah para pelaku usaha kreatif. Di sisi lain, institusi pasar adalah sebuah
dunia yang diliputi berbagai ketidakpastian, tidak ramah dan bahkan kejam. Oleh
karena itu, pembelajaran dan kolaborasi tersebut mutlak dibutuhkan agar
institusi pasar bisa menjadi wahana yang menyenangkan untuk berkarya.■
No comments:
Post a Comment