Monday, March 07, 2011

Kemandirian Ekonomi Bersama Imajinasi

"Innovation is the central issue in economic prosperity"
Michael Porter (Harvard University Professor)


Krisis energi berada di depan mata. Krisis ini bukan hanya soal ketersediaan energi, akan tetapi juga mengenai akibat yang harus ditanggung dari pola pemenuhan dan penggunaan energi. Pemenuhan energi yang ditopang oleh energi fosil selama beberapa dekade terakhir menyebabkan perubahan iklim di bumi. Untuk kasus Indonesia, krisis energi menyangkut pula soal masih cukup besarnya jumlah warga yang belum menikmati listrik. Masalahnya, jika melihat ke negara maju, ketersediaan energi secara kasat mata berbanding lurus dengan kesejahteraan.

Menuju Indonesia yang maju, mandiri, dan bermartabat, tentunya bukan sekedar pertumbuhan yang kita targetkan. Sayangnya, para pemimpin negeri ini sepertinya hanya mengenal konsep pertumbuhan dari pelajaran matematika, yaitu sekedar hasil dari hitung-hitungan perkalian, penjumlahan, pembagian, dan pengurangan. Akibatnya, dengan terus-menerus memberi gizi pada bagian yang mempunyai potensi berat berlebih, sedangkan di sisi yang lain dipertahankan kurus, akan menghasilkan angka pertumbuhan.
Seharusnya mereka belajar soal anatomi tubuh. Jika hanya memusatkan pertumbuhan pada bagian tertentu saja, maka tidak akan dihasilkan proporsi tubuh yang baik, apalagi cantik atau seksi. Selain itu, kondisi tubuh pun tidak sehat dan akan timbul penyakit-penyakit yang tidak ringan, seperti penyakit jantung, kolesterol, diabetes, atau kanker.


Dalam bernegara, ketimpangan pembangunan bukan hanya mengakibatkan timbulnya berbagai masalah urbanisasi di perkotaan, akan tetapi juga bisa memicu konflik horisontal dan rawannya ketahanan nasional.

Prioritas pada pertumbuhan inilah yang mengakibatkan kebijakan soal energi lebih berpihak pada bagaimana memenuhi mesin-mesin pertumbuhan, yaitu industri dan kota-kota besar. Sementara di luar sana masih ada masyarakat yang menganggap bahwa Soekarno masih menjadi presiden mereka karena minimnya informasi akibat tiadanya listrik.

Pertanyaannya, apa yang kurang dari bangsa kita? Jawabnya adalah: imajinasi. Imajinasi yang dikembangkan pada awal kemerdekaan bahwa masyarakat nusantara senasib sepenanggungan telah membentuk negara Indonesia. Imajinasi ini bisa menjadi ilusi jika ada sebagian masyarakat menyadari bahwa dirinya terpinggirkan dalam arus pembangunan ekonomi yang terpusat pada pertumbuhan.

Imajinasi bahwa bangsa Indonesia senasib sepenanggungan hendaknya dipupuk oleh imajinasi berikutnya, yaitu imajinasi untuk memanen berbagai potensi menjadi ujung tombak kemajuan bangsa. 4 hal pokok dalam kemajuan, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan iklim bisnis. Dengan energi menjadi jantung dari keempat hal tersebut, disinilah seharusnya imajinasi mulai dikembangkan.

Dalam konteks teknologi, bisnis, dan kenegaraan, imajinasi diterjemahkan dalam wujud riset dan inovasi. Riset dan inovasi tumbuh dari perencanaan yang matang, komitmen yang tinggi dari pelakunya, dan fleksibilitas dalam menyikapi hasil. Inovasi adalah sebuah kegiatan jangka panjang dan berkesinambungan.

Pemenuhan energi sebagai urat nadi pertumbuhan hendaknya juga melihat pada daerah-daerah tertinggal yang sebagian besar berada di Indonesia bagian timur.

Kabar baiknya adalah Indonesia bagian timur cukup kaya akan energi angin. Potensi ini harus digali lebih jauh melalui penelitian dan pemetaan potensi secara akurat. Inovasi di bidang teknologi Pembakit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang optimal bagi karakteristik angin di Indonesia pun harus terus digalakkan.

Ketika energi angin bisa dipanen secara maksimum, keekonomian PLTB bisa memberikan daya tarik yang kuat bagi investor maupun pebisnis energi. Dengan demikian, penyediaan energi akan semakin cepat terpenuhi dan akan pada akhirnya akan berkontribusi positif bagi percepatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi daerah dan nasional. []

*sebenarnya tulisan ini bisa ditemukan di Majalah Energi, dengan versi yang sudah diedit habis2an sama si editor. :(

No comments:

Post a Comment