Wednesday, March 11, 2015

Dari Investasi Menuju Inovasi

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat Penanaman Modal Asing (PMA) pada 2014 sebesar Rp 307 triliun. Dari gelaran APEC di Tiongkok beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo pun membawa “oleh-oleh” investasi asing sebesar lebih dari Rp 300 triliun. Dengan kondisi keuangan negara yang pas-pasan, bisa dimengerti jika pemerintah agresif menarik investasi asing untuk membiayai visi poros maritim yang akan menjadi narasi pokok pemerintahannya. Namun, tanpa mengerdilkan “prestasi” tersebut, Indonesia telah sejak lama menjadi primadona para investor asing. Para pendahulu Jokowi berhasil menarik investasi asing senilai ribuan triliun rupiah untuk ditanamkan ke dalam sektor pertambangan, minyak dan gas, telekomunikasi, perbankan, dan perkebunan. Investasi tersebut memang kemudian bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga awal 1990-an, namun kemudian stagnan pada level pendapatan menengah sehingga Indonesia dianggap mengalami jebakan kelas menengah (middle income trap).
Di sisi lain, para pelaku bisnis lokal kini gemetar menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan berlaku pada akhir tahun 2015. Fenomena ini bisa menjadi indikasi bahwa investasi asing yang begitu besar di masa lalu gagal dimanfaatkan sebagai instrumen dan fasilitas untuk membuat bangsa ini berdaya. Dalam hal pengembangan teknologi misalnya, alih-alih terjadi pembelajaran, investasi asing justru membuat pelaku usaha lokal tersingkir dan masyarakat kian bergantung pada pasokan teknologi dari luar negeri. Padahal, teknologi adalah kunci utama agar sebuah entitas bisnis menjadi kompetitif. Oleh karena itu, pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh Jokowi adalah, bagaimana mengonversi besaran investasi menjadi daya dorong inovasi?

Monday, March 09, 2015

Kolaborasi

Pemberantasan korupsi selama ini gagal karena KPK bertindak sendirian, seperti jagoan tunggal di film-film laga. Secara kebetulan masyarakat kita juga terbuai dengan "keberhasilan" semu karena diperlihatkan tontonan KPK bisa menangkap si ini dan si itu. Padahal, jumlah dan skala kasus yang diperiksa cuma segelintir. Pun tidak jarang kasus-kasus tersebut pesanan dari penguasa atau kelompok tertentu untuk membungkam lawan politiknya.
Jangkauan tangan KPK sebenarnya sangat kecil. Akibatnya KPK pilih-pilih, hanya bisa memproses kasus-kasus tertentu. Begitu banyaknya korupsi yang dilakukan secara terang-terangan, seperti di DKI Jakarta, memperlihatkan bahwa para koruptor tidak takut KPK. Sehingga, di kalangan para maling uang negara, berlaku pameo: hanya mereka yang lagi apes yang ketangkep KPK.

Friday, February 27, 2015

Mengukur Innovativeness

Dalam bidang inovasi dan kewirausahaan, salah satu persoalan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana mengukur innovativeness sebuah produk. Persoalan ini ada di perusahaan besar yang telah mapan saat mengembangkan produk mereka, maupun menilai start-up seperti yang diceritakan oleh Pak Budi Rahardjo dengan judul "Nasib Juara-Juara". Oleh karena masalah ini memang cukup pelik dan penting, Bruno Latour bersama sebuah tim bernama PROTEE juga pernah membuat publikasi yang dia sebut (bukan judul) "A Method for Following Innovation" (2000).

Wednesday, February 25, 2015

Ekonomi Kreatif: Pembelajaran dan Kolaborasi Melalui Sistem Pasar

***Artikel ini telah dimuat di IDCE Watch.


Introduksi

Tulisan ini membahas tentang konsep pengembangan ekonomi kreatif dari 2 perspektif: pembelajaran dan kolaborasi antar pelaku usaha kreatif. Penekanan pada tulisan ini adalah pada upaya-upaya pembelajaran dan kolaborasi melalui sistem pasar. Posisi ini diambil karena penulis melihat bahwa berbagai upaya pengembangan ekonomi kreatif selama ini cenderung memperlakukan aktifitas kreatif dalam ranah normatif, sosial, dan akademik, bukan dalam ranah ekonomi. Menempatkan ke dalam ranah ekonomi artinya adalah menempatkan dinamika kegiatan kreatif ke dalam sistem pasar.
Sementara itu, mekanisme yang berlaku di ranah pasar ada dua, yaitu profit dan risiko. Semakin besar risiko yang diambil oleh pelaku usaha, maka pembelajarannya pun akan semakin banyak. Artinya, skala ekonomi sebuah usaha kreatif berbanding lurus dengan kemampuan mengelola risiko. Demikian pula aspek kolaborasi akan mengikuti ketika pelaku usaha memandang perlu bekerjasama dengan pelaku lainnya untuk mengelola risiko tersebut. Oleh karena itu, terkait kebijakan, melalui perspektif pasar ini penulis mencoba membahas hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan agar akselerasi pengembangan ekonomi kreatif bisa lebih cepat.
***
Ekonomi kreatif bisa diartikan sebagai membawa kreatifitas ke dalam sistem pasar. Kreatifitas disusun setidaknya oleh 3 hal: pengetahuan, keahlian (craft atau skill), dan gagasan kreatif. Sementara itu, di dalam sistem pasar terdapat 2 mekanisme: profit dan risiko (Gambar 1). Artinya, seseorang atau organisasi (firma) bersedia atau berkehendak berkecimpung di pasar karena dia bisa melihat potensi profit dan mampu mengelola risiko yang mungkin dihadapi. Oleh karena itu, bisa disimpulkan secara kasar bahwa seseorang atau organisasi disebut sebagai pelaku usaha kreatif yang unggul jika mampu mengelola (melakukan kalkulasi dan mitigasi) profit dan risiko di pasar.

Thursday, February 19, 2015

Kebenaran Ideal vs Kebenaran Realita: Opsi

Dalam bukunya Development As Freedom, salah satu konsep yang ditawarkan Amartya Sen adalah etika dalam pembangunan ditranslasikan dengan opsi. Konsep Sen ini berbeda dengan ideolog seperti Marx dan Friedman yang menekankan kriteria-kriteria ideal dalam perumusan konsep etika.  

Menurut Sen, etika tidak bisa dijalankan hanya dengan mengacu pada kriteria ideal. Antara ideal dan realita akan selalu ada celah/gap. Bahkan, hampir tidak mungkin mendapatkan kriteria ideal di dalam alam nyata. Oleh karena itu, perlu ada cara pandang lain untuk menjembatinya. Alih-alih berpegangan pada kriteria-kriteria ideal, Sen mengusulkan agar pelaksanaan pembangunan memberikan opsi-opsi. 

Di alam ideal, kita berbicara tentang prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria. Tapi di dunia nyata kita harus membicarakan prinsip dan kriteria tersebut dalam bentuk opsi-opsi dan optimasi dalam bentuk kompromi-kompromi. 

Tuesday, February 10, 2015

Dokumen Ekonomi Kreatif Yang Tidak Kreatif

Barusan saya mencoba membaca cepat (skimming) buku ekonomi kreatif yang disusun oleh Kemenparekraf (nomenklatur kementerian jaman SBY). Ada dua dokumen, RPJM (48 Mb) dan RPJP (126 Mb). Keduanya secara berturut-turut memiliki ketebalan 411 dan 372 halaman. Buku ini colorful dan penuh dengan ilustrasi yang menarik, mirip dengan dokumen MP3EI.

Kesan pertama saya, kok tebal amat yak?! Lalu saya mencari dokumen ekonomi kreatif dari negara Eropa yang lebih mapan. Saya mendapatkan contoh dokumen dari beberapa negara: Jerman 32 halaman (download 900 kb), Finland 30 halaman (download 1.9 Mb), dan yang agak tebal adalah Eropa 80 halaman (download 3.31 Mb).

Dari jumlah halaman bisa dilihat bahwa dokumen Kemenparekraf jauh lebih besar dibandingkan rekan-rekannya kita di Eropa sana. Mungkin, saya menduga, Kemenparekraf ingin agar dokumen tersebut komprehensif, oleh karena itu menjadi sangat tebal.

Lalu, pertanyannya, apakah itu berarti dokumen Kemenparekraf tersebut lebih canggih? Belum tentu. Kecanggihan dokumen untuk kebijakan publik ditentukan bukan pada ke-komprehensif-an (comprehensiveness) isi sehingga menjadi sangat tebal, tapi pada apakah dokumen tersebut memiliki arah, tujuan, cara, dan langkah-langkah yang jelas. Tujuannya adalah agar dokumen tersebut bisa menjadi arena pembelajaran bersama yang efektif bagi pihak-pihak yang terlibat. Kalau membacanya saja sudah pusing, gimana mau belajar?

Sunday, February 08, 2015

Tips Untuk Jamaah Hateriyah: Membangun Kontroversi

Tips MEMBANGUN KONTROVERSI utk jamaah hateriyah:
1) Cari info miring dari presiden baru. Semakin ga jelas sumbernya maka semakin bagus karena orang akan sulit konfirmasi, sehingga kontroversi makin kuat.
2) Efeknya akan lebih mantap kalau yang berbau Islam*, ada kata jual**, atau impor barang pertanian***.
3) Sodorkan info tersebut kepada "fitnah generator", baik yang tipe socmed (hapit_ari, jonsu, mustofa nahra) maupun portal berita (pkspyongyang, voaislam).

Tips Untuk Jamaah Hateriyah: TEST THE WATER

Bagi jamaah hateriyah sekalian, ada satu argumentasi yang ampuh untuk mengolok-olok presiden. Apa itu? Namanya: TEST THE WATER.
1) Sebarkan informasi yang miring tentang pemerintah tanpa cek & ricek. Akan lebih baik kalau didramatisir (misalnya dengan bawa2 agama), sehingga emosi pembaca akan mudah tersulut.
2) Kalau ternyata salah, bikin tuduhan baru dalam bentuk "TEST THE WATER".
Contoh: "Untung kita (atau sebut orang/kelompok dari otoritas moral) cepat-cepat mengangkat isu ini di socmed, makanya dia batalin. Dia kan cuma tes the water, kalo kita diem bakal dilanjutin tuh niatnya."

SESAT?

Suatu ketika PBNU mengadakan rapat untuk menyikapi Ahmadiyah. Setelah dilakukan kajian dengan teliti dan sangat hati-hati, serta mengundang berbagai narasumber, PBNU mengambil kesimpulan bahwa ajaran Ahmadiyah tidak bisa diterima (dalam kerangka NU tentunya).
Namun, PBNU tidak lantas menggunakan kata "sesat". Atas permintaan Kiai Sahal Mahfudz, PBNU memakai kalimat "tidak sesuai dengan ajaran Islam yang diakui di dunia internasional". Alasannya, kata Kiai Sahal, adalah karena tidak mau nanti sesama orang Islam malah saling berkelahi. Ngga perlu lebay pake kata sesat, yang penting pesan tersampaikan tanpa bikin onar.
Anyway, Kiai Sahal ini ahli fiqih terkemuka, bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia, yang menulis buku Fiqih Sosial. Katanya sih bhuwagus bangeetttt (*saya belum nemu di toko buku).
**Cerita ini diriwayatkan oleh Kang Saiq Aqil.

ANALOGI

Jadi gini, 2 minggu yang lalu (sekitar akhir Desember 2014) saya ketemu dengan seorang--sebut saja Fulan--yang saya anggap suka maksa. Kelihatannya sih peduli dengan Islam, tapi kok suka maksa. Sudah dikasih teguran, masih juga pede dengan pemaksaannya. Karena saya penasaran, yaudah saya temui aja. Ada banyak hal yang dibicarakan, tapi karena saya tertarik dengan pola pikir seseorang (sekelompok orang), maka saya akan menyoroti tentang logika yang dipakai. Dari obrolan ini, ternyata ketahuan kalau ada lubang yang besar dalam cara pikir si Fulan. 
Orang sering pakai analogi untuk menjelaskan sesuatu. Pemilihan analogi ini biasanya terkait erat dengan logika yang dipakai olehnya. Nah, si Fulan ini, setelah saya desak dengan berbagai macam pertanyaan, akhirnya dia memuntahkan logika yang dianutnya dengan sebuah analogi.

Salah Baca Atau Sengaja?

Saya ngga bisa komentar di status bu doktor ini. Saya mau komentar bahwa ada beberapa fakta yang ngga bener di situ:
Beberapa hal bisa dilihat di web Freeport: http://ptfi.co.id/…/facts-about-f…/facts-about-kontrak-karya
Quote: "Ketika Kontrak Karya Freeport diperpanjang tahun 2003/2004 tu adalah salah satu hadiah Ibu Banteng kepada bangsa ini (atau bangsa itu), entahlah. Ketika 2014 jatuh tempo lagi untuk memutuskan apakah diperpanjang lagi, kini anak banteng yg pernah disebut ibunya sbg petugas partai itu, memperpanjang upeti sampai 2041."

Ketika A.S Laksana Bikin Surat Terbuka


[...]
Burung yang sama hinggap di ranting yang sama, Pak Presiden. Sangat mustahil seorang presiden yang jujur bersih sederhana menunjuk seseorang yang rekam jejaknya meragukan, yang dicurigai oleh publik sebagai penerima suap dan gratifikasi dan sekarang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, menjadi calon tunggal Kapolri. Ini berlawanan sama sekali dengan nalar yang paling sederhana: Itik berkumpul dengan itik, kambing dengan kambing, dan seekor singa tidak mungkin berkomplot dengan dubuk.
[...]

*** surat terbuka yang ini bagus. ada sedikit nada serius, ada sedikit sarkasme, dan ada sedikit satire. urutan gagasannya mudah dipahami dan menggelitik secukupnya. bukan surat terbuka yang dibuat asal-asalan dan genit nyari perhatian. heuheu.

Buku Pertama

Buku pertama saya yang akan segera diterbitkan oleh WRKMA ITB. smile emoticon
----
Sketsa Ganesha: Bermacam Kisah ITB Berkarya

Jika ingin mengetahui karya sebuah perguruan tinggi, apa yang harus ditelusuri? Apa wujud pencapaian perguruan tinggi? Apakah produk-produk teknologi yang canggih, ilmu pengetahuan yang begitu luhur, atau bilangan rupiah kontrak-kontrak kerjasama?
Buku ini mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan cara mengikuti ke mana arah gerak dan kiprah 'anak kandung' ITB. Anak kandung tersebut bernama ‘ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni’, atau disebut juga IPTEKS.
Buku ini bercerita tentang bagaimana para akademisi ITB melahirkan IPTEKS, lalu membesarkannya hingga mampu memberikan solusi dalam menghadapi berbagai tantangan di masyarakat. Selain itu, buku ini juga mengulas tentang kiprah ITB dalam mengembangkan body of knowledge melalui publikasi di jurnal-jurnal ilmiah internasional terkemuka.
Sedikit banyak buku ini bercerita tentang kebijakan inovasi, manajemen riset, dan perubahan sosial melalui sains dan teknologi.

Perbedaan Control Room dan Command Center


Gambar tersebut sebenarnya adalah "control room" Gubernur DKI yang disamarkan menjadi akuarium. Di balik ini kalo ngga salah ada ruangan dan unit khusus Gubernur yang menjadi pusat komunikasi dan mengolah data.
Bentuk control room di DKI tersebut sangat sederhana jika dibandingkan dengan "command center" milik Walkot Bandung. 

Latah Mobnas

Sejauh ini (hingga jam 6 pagi, 7 Feb 2015), saya tidak menemukan kata MOBNAS keluar dari pejabat Indonesia. Istilah "mobnas" adalah INTERPRETASI media atas penandatanganan MoU Proton dengan perusahaan Hendropriyono, business to business. Para penghuni socmed kemudian latah pakai istilah mobnas tanpa menelisik lebih jauh apakah itu layak disebut mobnas.
Lebih jauh, media-media tidak memberikan definisi yang jelas tentang mobnas. Misalnya, disebut mobnas jika ia mendapatkan insentif dari pemerintah atau fasilitas khusus dari negara. Atau, digelari mobnas jika pemerintah mewajibkan penggunaannya untuk keperluan tertentu. Tapi nyatanya tidak ada keterangan definisi tersebut.

Critical Review

Mengkritisi sesuatu itu ada tata caranya. Tujuannya adalah agar kritik tersebut bisa menjadi wahana pembelajaran bersama, bukan malah jadi pemicu pertentangan. Materi dari UNSW ini cukup bagus untuk dipelajari.

Monday, February 02, 2015

Gaya Dakwah: Cerita Humor vs Indoktrinasi Emosional

Akhir-akhir ini saya senang mendengarkan rekaman ceramah dari Radio NU. Salah satu kesukaan saya adalah para kyai NU biasanya ceramah dengan kocak. Materi-materi yang berat sering dibawakan melalui guyonan dan cerita-cerita lucu. Di kalangan NU memang ada banyak cerita lucu. Dulu waktu kecil di kampung, saya paling suka bagian cerita ini. Kalau tidak percaya, Anda bisa ketik keyword "NU humor" di Google, pasti akan ada banyak stok cerita lucu dari komunitas NU.

Saya kemudian membandingkan ceramah-ceramah ustadz yang ngartis di TV. Ada beberapa yang guyon, tapi entah kenapa beda. Selain cerita yang bereda di NU itu khas guyonan orang Jawa, sehingga berbeda dengan lelucon dari etnis lain, sepertinya lelucon oleh para ustadz tersebut agak dipaksakan. Kadang humor para ustadz tersebut dikeluarkan agar ceramah menjadi menarik, tidak membosankan.

Sunday, February 01, 2015

Beberapa Poin Tentang Ekonomi Kreatif

Hari Jumat yang lalu ikut diskusi dengan Kang Motulz di Simpul Space BCCF tentang ekonomi kreatif, industri kreatif, dan social media. Ada beberapa poin menarik di sana. Berikut catatan pendek saya:

  1. Manusia (people) sebagai representasi dunia kreatif, bukan produk. Dalam kata lain, people adalah aset terbesar dalam sektor kreatif. Paradigma ini sejalan dengan literatur-literatur inovasi yang memandang teknologi sebagai representasi dari aktifitas manusia (dan institusi yang terbangun di dalamnya). 
  2. Kualitas, bukan kuantitas. Industri kreatif di Indonesia harus punya ciri khas dan berorientasi pada kualitas. Artinya, scale up perusahaan kreatif bukan didasarkan pada kuantitas produk saja, tapi mestinya diarahkan agar disandarkan pada perbaikan kualitas. Jika kualitas naik, maka valuasi akan naik.

Friday, January 30, 2015

Makna 'Jokowi Effect' Yang Sebenarnya

**Catatan: Tulisan ini saya buat 10 April 2014, sebelum masa Pilpres.

Kehadiran Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta dipandang sebagai angin segar bagi warga kota ini dan sekitarnya. Pasalnya, sebelumnya dia memiliki reputasi bagus dalam membangun Solo menjadi kota yang tertata dan efisien sekaligus humanis. Tidak lama kemudian, bermodal popularitasnya yang terus melambung, dia maju sebagai calon presiden. Lembaga survey dan pengamat memperkirakan bahwa pencalonan Jokowi ini akan memberikan tambahan suara yang signifikan bagi partai PDI-P tempatnya bernaung. Fenomena tersebut lalu disebut sebagai Jokowi effect.

Tapi realita berkata lain. Berdasarkan hasil hitung cepat dari beberapa versi, ternyata PDI-P hanya mengantongi suara sekitar 19 persen, tidak terpaut jauh dari pemilu sebelumnya. Jokowi effect yang digembar-gemborkan ternyata tidak ngefek dalam pemilu legislatif ini. Karakter Jokowi sebenarnya memang kurang cocok sebagai vote-getter. Dia tidak pandai tampil di depan publik, pandai mengolah kata-kata puitis yang bisa membius pendengarnya, atau lihai bersilat lidah guna memenangkan argumen.