Friday, February 27, 2015

Mengukur Innovativeness

Dalam bidang inovasi dan kewirausahaan, salah satu persoalan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana mengukur innovativeness sebuah produk. Persoalan ini ada di perusahaan besar yang telah mapan saat mengembangkan produk mereka, maupun menilai start-up seperti yang diceritakan oleh Pak Budi Rahardjo dengan judul "Nasib Juara-Juara". Oleh karena masalah ini memang cukup pelik dan penting, Bruno Latour bersama sebuah tim bernama PROTEE juga pernah membuat publikasi yang dia sebut (bukan judul) "A Method for Following Innovation" (2000).

Oia, sepertinya saya perlu kenalkan Bruno Latour secara singkat. Dia adalah sosiolog Perancis yang mengembangkan keilmuan Actor Network Theory. Bidang ini berawal dari pengamatan pada fenomena pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat. Akhirnya bidang ini bersinggungan erat dengan isu-isu inovasi. Inovasi sendiri, menurut pengertian saya, ditandai dengan pihak lain yang memberikan apresiasi positif (misalnya purchase order, jual-beli cash, kontrak kerjasama, dsb.). 

Dalam memahami inovasi, Latour melemparkan preposisi bahwa inovasi akan terjadi jika pelaku inovasi (sang "inovator") memperlakukan sisi sosial dan teknis secara simetri. Dalam hal kewirausahaan teknologi, ini berarti pula memperlakukan problem di pasar dan solusi teknologinya secara bersamaan dan dengan effort yang sama besar. Oleh karena itu, saya rangkum dari publikasi tersebut, Latour mengembangkan dua indikator inovasi: realisability dan negotiability. 

Realisability berkaitan erat dengan bagaimana seseorang atau organisasi usaha bisa mengupayakan agar gagasannya bisa direalisasikan. Untuk mengetahui aspek realisability ini kita bisa bertanya, misalnya: apakah si "inovator" tersebut memiliki pengetahuan dan keahlian (craft/skill) yang cukup untuk mengembangkan produk dan memodifikasinya; apakah bahan bakunya tersedia dan terjangkau; apakah alat-alat yang diperlukan bisa diakses; dan sebagainya. 

Sementara itu, negotiability kira-kira berarti tentang bagaimana penerimaan pihak lain atas produk. Pihak lain ini bisa calon konsumen, calon supplier bahan baku, calon investor, board of director (jika di perusahaan besar), bagian lain di perusahaan (misalnya pihak marketing atau operasional), infrastruktur distribusi dan konsumsi (misalnya ketersediaan listrik bagi alat elektronik tertentu), dan lain-lain. Di sini bukan hanya dilihat seperti apa peluang penerimaannya, tapi juga upaya apa yang bisa dilakukan agar "jendela" penerimaan tersebut membesar. 

Bisa dikatakan bahwa realisability lebih dekat kepada sisi teknis dari inovasi, sedangkan negotiability cenderung berada di ranah pasar. Namun, sebenarnya kedua indikator ini tidak berada dalam posisi yang diam terhadap teknologi dan pasar. Artinya, keduanya selalu bergerak secara dinamik sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi. Misalnya, ada seseorang mengembangkan produk elektronik untuk keperluan di pemerintahan. Dari parameter realisability, gagasan tersebut dianggap cukup mumpuni karena pembuatnya memiliki pengetahuan dan keahlian, bahan baku mudah didapatkan, dan tersedia alat-alat yang dibutuhkan untuk produksinya. Namun, ada satu hal yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika order dari pemerintahan berhenti? Apakah produk ini lantas tidak diproduksi lagi dan kemudian perusahaan gulung tikar? Untuk menjawab hal ini, sisi teknologi menawarkan solusi agar produk tersebut memiliki kemampuan negotiability yang lebih tinggi. Caranya, misalnya, dengan mengembangkan fungsinya bukan hanya untuk pemerintahan tapi juga untuk sektor swasta. Meminjam istilah de Bruijn, ini adalah trik enlarging the pie

Persoalan lain dalam aspek realisability dan negotiability ini juga terkait dengan bagaimana mengatasi kegagalan "sistem" yang dibangun.  Maksudnya, sebuah produk dibuat melalui sistem pola kerja tertentu. Ia melibatkan relasi dengan berbagai macam alat teknis (artifak) dan pihak-pihak lain (misalnya supplier bahan baku, infrastruktur, distributor, vendor alat, dsb.). Jika salah satu elemen terganggu, maka bisa menghambat kegiatan usaha. Sebuah sistem akan memiliki durability yang baik jika, salah satunya, aspek realisability dan negotiability dikelola dalam sebuah struktur yang memiliki banyak opsi. 

Selain itu, pergerakan antara pasar dan teknis tidak berjalan searah (linier), tapi secara bolak-balik (feedback loop) dari waktu ke waktu. Terlalu berat ke sisi pasar akan membuat seseorang atau perusahaan kewalahan saat harus mengelola input dari pasar ke dalam modifikasi teknologi. Sebaliknya, terlalu fokus ke teknologi akan berisiko melempar produk yang tidak dibutuhkan oleh pasar. 

Akhirnya, untuk menjawab persoalan yang dilempar oleh Pak Budi Raharjo di atas, perlu ada perbaikan rumusan untuk menilai innovativeness dari sebuah produk yang ditawarkan. Saat ini orang-orang sudah mulai sadar bahwa aspek manusia perlu diberikan bobot lebih tinggi. Ini adalah suatu kemajuan dibandingkan sebelumnya yang lebih fokus kepada aspek produk. Pertimbangan lain yang dipakai adalah bahwa produk sebuah perusahaan bisa berganti-ganti, oleh karena itu fokus kepada kualitas produk saja tentunya tidak bisa menangkap competitiveness perusahaan secara lengkap. 

Pertanyaannya adalah, aspek manusia seperti apa yang harus diperhatikan? Jika mengambil kedua indikator yang ditawarkan oleh Latour di atas, maka setidaknya sang manusia (atau beberapa manusia) harus memiliki kemampuan untuk membuat sebuah produk yang realisable dan negotiable. Sebagai contoh, produk eFishery bisa berhasil karena ada seseorang yang cakap memetakan kebutuhan di pasar dan bagaimana "menjual" gagasan, dan seseorang lain yang memiliki kapasitas teknis untuk menerjemahkan kebutuhan pasar tersebut menjadi solusi produk teknologi. Pemetaan kebutuhan pasar dalam produk tersebut berdasarkan pengetahuan tentang perikanan dan ekologi yang cukup padat yang dikombinasikan dengan pengamatan sosial yang cukup cermat.  

Kualitas realisability dan negotiability yang dipunyai oleh manusia-manusia ini kemudian tercermin ke dalam produk teknologi yang juga memiliki nilai realisability dan negotiability. Pemahaman ini merupakan konsekuensi atas komitmen untuk memperlakukan teknologi dan manusia secara simetri. Teknologi adalah hasil karya manusia, dan manusia mengembangkan konsep atas dunia sekitarnya juga berdasarkan teknologi yang melingkupinya. Oleh karena itu, penilaian tentang aspek manusia tidak terlepas dari kualitas teknologi yang dihasilkan, begitu pula penilaian aspek teknologinya tidak bisa terpisah dari kapabilitas manusianya.

Akan muncul pula pertanyaan, lalu bagaimana kita menilai sebuah produk (atau gagasan) teknologi? Jika menggunakan indikator realisability dan negotiability, maka yang paling perlu diperhatikan adalah bagaimana proses terbentuknya gagasan atau produk tersebut. Misalnya, apakah ia didekati melalui serangkaian pengerucutan (konvergensi) pengetahuan dan pengalaman yang cukup kaya, atau hanya sekedar lompatan pikiran? Dari sisi negotiabilityapakah gagasan tersebut muncul dari interaksi dengan berbagai macam pihak, atau cuma hasil sikap "sok tahu" dari pelaku inovasi? Pertanyaan ini bisa dipakai untuk memperkirakan berapa magnituda (skala) dan variasi pihak-pihak yang berpeluang menerimanya.

Dengan indikator realisability dan negotiability ini pula kita bisa melihat mengapa aktivitas kewirausahaan membutuhkan kolaborasi. Jarang sekali ada satu orang yang bisa mengelola semua aspek realisability dan negotiability secara lengkap. Steve Jobs bekerjasama dengan Wozniak untuk membuat blue box dan akhirnya mereka menciptakan Apple I. Begitu juga ketika Zuckerberg harus menghadapi situasi yang semakin kompleks dalam membesarkan Facebook, dia mengajak Eduardo Saverin, Andrew McCollum, Dustin Moskovitz dan Chris Hughes. Ini menunjukkan bahwa sebuah gagasan akan semakin matang jika dikelola bersama-sama.  

Agak sulit memang untuk merumuskan hal ini secara ringkas. Pasalnya, seperti juga dialami oleh Johann Fuller (Kepala Inovasi dan Kewirausahaan Universitas Innsbruck, Austria; dan Direktur HYVE Company) di SBM ITB beberapa waktu yang lalu, persoalan inovasi memang memiliki ketidakpastian yang tinggi, sehingga tidak ada rumusan yang saklek dalam menilai sebuah gagasan. Ada sisi-sisi spekulasi saat menilai prospek sebuah teknologi. Artinya, selain indikator-indikator tertentu yang coba dikembangkan, ada pula ruang-ruang penilaian yang dibiarkan tetap longgar dan kemudian diisi dengan judgment yang didapat secara eksperensial oleh para penilainya.

Perspektif ini juga mengindikasikan bahwa proses penilaian sebuah gagasan harus disertai dengan meletakkan gagasan tersebut di dalam ruang yang dinamis. Ini berarti kita perlu melihat bagaimana gagasan tersebut berrelasi "ke dalam" (aspek realisability) dan berinteraksi "ke luar" (negotiability).[]

No comments:

Post a Comment