Wednesday, February 25, 2015

Ekonomi Kreatif: Pembelajaran dan Kolaborasi Melalui Sistem Pasar

***Artikel ini telah dimuat di IDCE Watch.


Introduksi

Tulisan ini membahas tentang konsep pengembangan ekonomi kreatif dari 2 perspektif: pembelajaran dan kolaborasi antar pelaku usaha kreatif. Penekanan pada tulisan ini adalah pada upaya-upaya pembelajaran dan kolaborasi melalui sistem pasar. Posisi ini diambil karena penulis melihat bahwa berbagai upaya pengembangan ekonomi kreatif selama ini cenderung memperlakukan aktifitas kreatif dalam ranah normatif, sosial, dan akademik, bukan dalam ranah ekonomi. Menempatkan ke dalam ranah ekonomi artinya adalah menempatkan dinamika kegiatan kreatif ke dalam sistem pasar.
Sementara itu, mekanisme yang berlaku di ranah pasar ada dua, yaitu profit dan risiko. Semakin besar risiko yang diambil oleh pelaku usaha, maka pembelajarannya pun akan semakin banyak. Artinya, skala ekonomi sebuah usaha kreatif berbanding lurus dengan kemampuan mengelola risiko. Demikian pula aspek kolaborasi akan mengikuti ketika pelaku usaha memandang perlu bekerjasama dengan pelaku lainnya untuk mengelola risiko tersebut. Oleh karena itu, terkait kebijakan, melalui perspektif pasar ini penulis mencoba membahas hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan agar akselerasi pengembangan ekonomi kreatif bisa lebih cepat.
***
Ekonomi kreatif bisa diartikan sebagai membawa kreatifitas ke dalam sistem pasar. Kreatifitas disusun setidaknya oleh 3 hal: pengetahuan, keahlian (craft atau skill), dan gagasan kreatif. Sementara itu, di dalam sistem pasar terdapat 2 mekanisme: profit dan risiko (Gambar 1). Artinya, seseorang atau organisasi (firma) bersedia atau berkehendak berkecimpung di pasar karena dia bisa melihat potensi profit dan mampu mengelola risiko yang mungkin dihadapi. Oleh karena itu, bisa disimpulkan secara kasar bahwa seseorang atau organisasi disebut sebagai pelaku usaha kreatif yang unggul jika mampu mengelola (melakukan kalkulasi dan mitigasi) profit dan risiko di pasar.
Berdasarkan preposisi di atas, industri kreatif akan berkembang menjadi sebuah tatanan ekonomi yang tangguh jika para pelaku usahanya dari waktu ke waktu belajar untuk mengelola risiko (dan profit) yang lebih besar. Sebenarnya, preposisi ini tidak berbeda dengan sektor ekonomi yang lain, seperti pertanian atau manufaktur. Namun, sektor kreatif memiliki karakter risiko yang berbeda, sehingga dipandang mempunyai tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengelolaan sektor kreatif harus dilakukan melalui cara-cara yang berbeda dibandingkan sektor lainnya. Karena dinamikanya yang sulit diprediksi, tidak bisa mengunakan model supply-demand konvesional, perencanaan melalui proyeksi-proyeksi linier seperti di sektor manufaktur menjadi kurang bermakna ketika diterapkan ke sektor kreatif. Upaya pengelolaan sektor kreatif akhirnya disebut sebagai managing the un-manageable. Ini membuat perencanaan ekonomi kreatif menjadi cukup rumit, dan jika tidak hati-hati bisa jadi malah akan menghambat pertumbuhannya.

Meninjau Masa Lalu

Terkait kebijakan ekonomi kreatif, sebuah tulisan yang membandingkan dukungan pemerintah di beberapa negara telah dibuat oleh Gustaff H. Iskandar dengan cukup komprehensif. Untuk konteks Indonesia perlu kiranya kita meninjau kembali upaya di masa lalu. Beberapa kritik bagi kebijakan di masa lalu bisa saya berikan sebagai berikut:
  1. Kementerian Kemenparekraf (nomenklatur di era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono) menerbitkan dua buah dokumen blue print ekonomi kreatif. Masing-masing memiliki ketebalan 411 dan 372 halaman. Selain masalah ketebalan, pemaparan dalam dokumen ini terasa bertele-tele, sehingga malah menyulitkan para pelaku usaha kreatif untuk memahaminya. Sungguh ironis, dokumen yang seharusnya menjadi wahana pembelajaran bersama justru menjadi penghambat. Selain itu, sebagai sebuah dokumen rencana, ia tidak memuat langkah-langkah yang kongkret (siapa/apa melakukan apa), sehingga wajar jika para pelaku yang terlibat akan kesulitan memposisikan diri. Sebagai referensi, kita bisa menengok ke dokumen ekonomi kreatif Finlandia (30 halaman) dan Jerman (32 halaman) yang ringkas dan .
  2. Dukungan pemerintah di ekonomi kreatif umumnya terbagi menjadi 3: event (promosi dan pertunjukan), capacity building (pelatihan dan beasiswa), dan mengembangkan infrastruktur. Namun, upaya tersebut belum mampu mengembangkan kapabilitas para pelaku usaha kreatif secara signifikan. Salah satu sebabnya adalah berbagai upaya tersebut dilakukan melalui skema sosial, tanpa ada kegiatan risk taking di dalamnya. Contohnya, program pelatihan yang dibuat gratis memang menarik banyak orang untuk ikut serta. Namun, siapa yang tidak mau diberi sesuatu yang gratis? Bahkan, lebih parah karena program-program pemerintah untuk capacity building sekedar untuk menghabiskan anggaran, tanpa ada desain yang baik. Sementara, apakah ia bisa mendongkrak kapasitas pelaku usaha itu persoalan lain. Alhasil pembelajaran pelaku usaha kreatif berjalan lambat, dan pada gilirannya membuat perkembangan industri kreatif di Indonesia terbata-bata jika dibandingkan negara-negara tetangga.
  3. Pemerintah memang telah memetakan beberapa masalah terkait sektor-sektor pendukung ekonomi kreatif, seperti lembaga finansial dan perpajakan. Namun, belum ada upaya serius untuk menjembatani antara pelaku usaha kreatif dengan pelaku penyedia produk/jasa pendukung tersebut. Padahal, pelaku usaha swasta di Indonesia sebenarnya bisa memberikan dukungan yang cukup besar jika diikutsertakan ke dalam agenda ekonomi kreatif. Dalam bidang pembiayaan misalnya, belum tampak upaya pemerintah untuk membuat agar sektor usaha kreatif menjadi ramah bagi investor dan bank.

Pembelajaran dan Kolaborasi Melalui Interaksi di Pasar

Berkenaan dengan aspek kebijakan ini, kita perlu kembali kepada preposisi di atas, yaitu bahwa ekonomi kreatif adalah upaya membawa kreatifitas ke dalam sistem pasar. Oleh karena itu, prinsip dukungan oleh pemerintah harus menggunakan cara-cara yang sesuai dengan sistem pasar (Gambar 2).
Secara umum, dukungan pemerintah bagi pelaku usaha kreatif memiliki dua tujuan. Tujuan pertama adalah mengembangkan sistem pembelajaran dalam hal pengelolaan profit dan risiko, memperbesar nilai tambah produk, meningkatkan produktifitas, dan memunculkan inisiatif-inisiatif. Kapasitas pembelajaran ini kemudian berwujud dalam upaya-upaya manajerial serta penguasaan pengetahuan dan teknologi.
Tujuan kedua adalah mendorong kolaborasi antar pelaku usaha dengan keahlian yang berbeda dan platform aktifitas yang berbeda. Misalnya, kolaborasi antara pelaku usaha kreatif dengan lembaga finansial, penyedia jasa media, dan kontraktor infrastruktur. Kolaborasi ini menjadi keharusan karena umumnya sektor kreatif dituntut bisa membuat produk-produk yang highly customised, berbeda dari waktu ke waktu sesuai kebutuhan dan situasi, sehingga integrasi vertikal yang lazim dilakukan di industri manufaktur menjadi tidak efisien.
Karena berada di ranah pasar, maka kedua tujuan tersebut harus dicapai melalui interaksi di sistem pasar pula. Artinya, proses pembelajaran dan kolaborasi di antara para pelaku usaha kreatif dibentuk melalui aktifitas mengelola risiko untuk mendapatkan profit tertentu. Di sini, pemerintah bisa memberikan dukungan agar risiko menjadi mudah dimitigasi dan profit menjadi jelas terlihat. Dengan demikian, sistem insentif dan disinsentif pasar bekerja dengan optimal.

Sektor Pendukung: Dukungan Pemerintah vs. Pelibatan Swasta

Hal berikutnya yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah bagaimana mendorong sektor swasta agar ikut aktif menyukseskan agenda ekonomi kreatif (Gambar 3). Para pelaku usaha swasta di Indonesia telah memiliki berbagai macam kemampuan yang bisa mendukung sektor kreatif. Contohnya adalah dalam hal pengelolaan event (promosi dan pertunjukan), pembiayaan, penyediaan media kreatif (panggung dan galeri), dan infrastruktur pendukung (transportasi, logistik, dan teknologi informasi).
Dengan mengikutsertakan swasta secara aktif untuk mendukung agenda ekonomi kreatif, maka tugas pemerintah bisa lebih ringan. Dukungan pemerintah bisa difokuskan untuk mendorong terjadinya interaksi pembelajaran dan kolaborasi di antara pelaku usaha kreatif dan sektor pendukungnya. Misalnya, pemerintah bisa fokus kepada capacity building dan membantu mitigasi risiko usaha kreatif, sehingga ketidakpastian bisa dikurangi. Mitigasi risiko ini misalnya melalui asuransi investasi, mempermudah pengurusan legalitas produk kreatif, serta standarisasi dan sertifikasi. Harapannya, ketika ketidakpastian bisa diminimalkan dan profit menjadi jelas terlihat, berbagai pihak yang terkait dengan sektor kreatif akan tertarik untuk terlibat secara aktif.

Event Sebagai Tipping Point Pengembangan Kapasitas

Salah satu bentuk dukungan yang sering dilakukan oleh pemerintah adalah membuat event-event kreatif. Biasanya, event tersebut diharapkan bisa menjadi ajang promosi bagi berbagai pihak terkait. Misalnya, berbagai acara pameran kerajinan cukup sering dilakukan dan memang mampu menarik minat banyak pengunjung. Skala transaksinya pun cukup besar, sehingga pameran-pameran tersebut selalu diadakan kembali dari tahun ke tahun. Namun, jika diamati lebih lanjut, kapasitas para pelaku usaha kreatif yang terlibat di acara tersebut tidak mengalami perkembangan yang berarti. Indikasinya, tidak jarang ditemui mereka kewalahan ketika mendapatkan pesanan dari luar negeri untuk jumlah dan kualitas tertentu. Pendeknya, berbagai event tersebut gagal menjadi tipping point (meminjam istilah Malcolm Gladwell) bagi perkembangan usaha kreatif (Gambar 4).
Tipping point bagi perkembangan industri kreatif bisa terjadi jika:
  1. Titik tersebut menjadi locus (titik kritis yang menjadi multiplier) dalam eksosistem ekonomi kreatif.
  2. Ada ‘lokomotif’ yang siap menarik sektor-sektor lainnya.
  3. Pasar dan penyedia sektor pendukung (seperti lembaga finansial dan legal) siap menangkap peluang yang ditawarkan oleh pelaku usaha kreatif.
  4. Scale up akan berjalan jika ada insentif untuk mengembangkan diri bagi masing-masing pelaku dalam eksositem. Karena ini dijalankan di ranah pasar, maka ia berbentuk insentif finansial.
Gambar 4 dibuat berdasarkan event Social Media Festival. Ia berhasil menyemarakkan sektor usaha media sosial di Indonesia, hingga mampu membuka mata banyak pihak tentang potensi bisnis di bidang ini. Event tersebut bisa menjadi tipping point terjadi karena:
  1. Berbagai pihak bisa terbuka matanya dan kemudian menghasilkan sesuatu karena: a) Mereka mampu melihat values dari produk yang ditawarkan. b) Memiliki wewenang untuk mengambil keputusan dan memiliki kapasitas/kemampuan untuk mengambil tindakan stratejik.
  2. Infrastruktur sudah siap. Dalam hal bisnis online, infrastruktur tersebut adalah ketersediaan perangkat komunikasi berupa smartphone secara luas, jaringan internet & telekomunikasi yang memadahi, dan sistem pembayaran jarak jauh (transfer, paypal, kartu kredit).
  3. Masyarakat sudah familiar dengan berbagai produk berbasis internet, penggunaan social media sudah meluas, dan percaya dengan sistem transaksi di internet. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa pasar siap menangkap produk.
  4. Investasi di bidang sosial media meluas karena para investor telah memiliki gambaran tentang potensi bisnis online, baik di Indonesia maupun di negara lain.
  5. Rantai produksi yang terlibat di industri tersebut telah siap untuk bekerja pada skala yang lebih besar dan kompleksitas lebih tinggi.
  6. Telah ada pemahaman tentang standar dan sistem kerja baku yang berlaku di industri, sehingga kualitas terjaga.
Social Media Fest ini bisa menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan pelaku usaha kreatif saat merencanakan sebuah event. Dengan perencanaan yang baik, diharapkan sebuah event akan memberikan manfaat yang optimal. Niat Kepala BEKRAF, Triawan Munaf, untuk menggunakan sektor kuliner, fashion, dan musik sebagai lokomotif adalah gagasan yang baik. Namun, seperti pada Social Media Fest, penciptaan tipping point memerlukan persiapan di berbagai macam aspek terkait.

Event Sebagai Pendorong Kolaborasi

Selain untuk pengembangan kapasitas, event juga bisa menjadi ajang kolaborasi. Senada dengan yang dijelaskan oleh Gustaff di tulisannya beberapa waktu yang lalu, event kreatif di sini juga bisa dilakukan selaras dengan kegiatan ekonomi yang telah ada sebelumnya.
Pada kesempatan ini, saya mengambil contoh event The Young Director Award (YDA) yang diadakan oleh European Federation for Commercial Film Producers (CFP-E) sejak 1998. YDA adalah lomba pembuatan film pendek bagi para sineas muda, sehingga bisa menjadi ajang untuk mendukung dan mempromosikan karya-karya mereka. Di acara ini para sineas muda bisa berkompetisi sekaligus belajar dari peserta lomba lainnya.
Di Indonesia juga telah ada lomba semacam ini, seperti Eagle Awards. Namun, menurut penuturan salah seorang pelaku usaha video di Bandung, aspek skenario masih menjadi gap di bidang video dan film ini. Kemampuan produksi video bisa dikatakan sudah cukup mumpuni, tapi kualitas skenario masih lemah. Di sisi lain, ada kemungkinan bahwa masyarakat kita sebenarnya memiliki potensi dalam penulisan skenario, tapi selama ini potensi tersebut belum terhubung dengan aktifitas pembuatan video. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk memperkuat aspek skenario ini dengan cara menghubungkan kapabilitas penulisan skenario dengan keahlian pembuatan video.
Sebagai contoh, untuk mendorong kolaborasi ini pemerintah bisa mengadakan 2 buah event: lomba penulisan skenario video atau film pendek; dan lomba produksi video (Gambar 5). Cara seperti ini bisa dilakukan oleh pemerintah daerah, tidak harus dilakukan oleh pemerintah pusat. Untuk wilayah Kota Bandung misalnya, event ini bisa dijalankan bersamaan dengan kebutuhan promosi (city branding). Oleh karena telah dialokasikan di dalam APBD, maka pembiayaan event tidak perlu diadakan secara khusus. Pemerintah Kota Bandung bisa menentukan kriteria-kriteria penilaian bagi kedua lomba tersebut. Hasilnya, video promosi Kota Bandung akan dibuat secara kolaboratif oleh mereka yang menggeluti penulisan skenario bersama dengan orang-orang yang menekuni produksi video. Jika memang diperlukan, pemerintah bisa mengadakan program capacity building. Melalui pengelolaan event seperti ini, pemerintah daerah dapat memenuhi kebutuhan untuk promosi, sekaligus bisa menjadi katalisator terwujudnya kolaborasi di antara para pelaku usaha kreatif.

Ada beragam cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pembelajaran dan kolaborasi di ranah para pelaku usaha kreatif. Di sisi lain, institusi pasar adalah sebuah dunia yang diliputi berbagai ketidakpastian, tidak ramah dan bahkan kejam. Oleh karena itu, pembelajaran dan kolaborasi tersebut mutlak dibutuhkan agar institusi pasar bisa menjadi wahana yang menyenangkan untuk berkarya.■

No comments:

Post a Comment