Sunday, February 08, 2015

ANALOGI

Jadi gini, 2 minggu yang lalu (sekitar akhir Desember 2014) saya ketemu dengan seorang--sebut saja Fulan--yang saya anggap suka maksa. Kelihatannya sih peduli dengan Islam, tapi kok suka maksa. Sudah dikasih teguran, masih juga pede dengan pemaksaannya. Karena saya penasaran, yaudah saya temui aja. Ada banyak hal yang dibicarakan, tapi karena saya tertarik dengan pola pikir seseorang (sekelompok orang), maka saya akan menyoroti tentang logika yang dipakai. Dari obrolan ini, ternyata ketahuan kalau ada lubang yang besar dalam cara pikir si Fulan. 
Orang sering pakai analogi untuk menjelaskan sesuatu. Pemilihan analogi ini biasanya terkait erat dengan logika yang dipakai olehnya. Nah, si Fulan ini, setelah saya desak dengan berbagai macam pertanyaan, akhirnya dia memuntahkan logika yang dianutnya dengan sebuah analogi.
Dia menggambarkan ajaran Islam itu seperti air yang mengalir dari gunung menuju ke hilir sungai. Dia menggambarkan bahwa Islam yang benar-benar benar adalah Islam yang dianut oleh Nabi Muhammad. Dia mengibaratkan Islam yang dianut Nabi Muhammad adalah air dari Gunung Salak yang masih jernih, masih asli. Islam (atau air) ini mengalir melalui banyak jalur. Untuk menggambarkan "pencemaran" ajaran Islam, dia mengibaratkan sebagai orang-orang yang tinggal di wilayah Koja Jakarta Utara mendapatkan air yang sudah kotor. Sederhananya, Islam yang benar adalah seperti air bersih di dekat Gunung Salak, sedangkan Islam yang sudah agak menyimpang adalah air yang sudah tercemari di Koja.
Dia kemudian menjelaskan bahwa sekarang banyak kaum muslim yang masih tinggal di Koja, sehingga mendapatkan ajaran Islam yang sudah tercemar. Sementara, dia melihat dirinya (dan kelompoknya) menganut ajaran yang lebih dekat dengan Nabi Muhammad, atau dalam analogi tersebut dia berada lebih dekat ke Gunung Salak. Oleh karena itu, dia merasa berhak untuk mengajak kaum muslim yang masih di Koja ini untuk mendekat ke Gunung Salak.
Masuk akal, bukan? Kalau Anda merasa bahwa analogi ini masuk akal dan benar, mari kita tinjau lebih detail.
Saya ringkaskan: Dalam batas-batas tertentu, analogi tersebut sebenarnya tidak masalah. Namun sebenarnya kesalahan serius yang dilakukan oleh si Fulan. Ada dua yang perlu kita tinjau:
Pertama, antara jaman sekarang dan jaman Nabi Muhammad itu adalah fungsi waktu. Sementara, antara Koja dan Gunung Salak adalah fungsi tempat. Sebuah analogi hanya bisa digunakan kalau ada kemiripan [bahasa teknisnya] struktur geometri. Sederhananya, kita ngga bisa pakai sebuah analogi kalau keduanya memiliki karakter yang berbeda.
Kesalahan pertama dari si Fulan ini membuatnya meyakini bahwa ada pihak yang dekat dengan Gunung Salak (dalam hal ini dirinya), sedangkan yang lain jauh dari Gunung Salak. Oleh karena itu, dia meyakini bahwa hanya ada SATU penafsiran Islam yang benar, selain daripada itu adalah kurang benar. Agar Islam seseorang bisa menjadi benar, maka dia harus pindah mendekat ke Gunung Salak, padahal karena kita sekarang hidup di akhir jaman, maka kita semua kan ngga mungkin membalik waktu ke masa lalu.
Kedua, kalau kita pakai analogi air ini dengan benar, maka kita semua sebenarnya sekarang ini sedang berada di Koja. Kita menjalani Islam saat ini seperti air yang dialirkan oleh saluran-saluran dari Gunung Salak. Oleh karena sama-sama hidup di Koja dan mengambil air dari saluran-saluran, maka tidak ada satu orangpun orang berhak mengklaim "lebih Islam" dibanding yang lain. Apa yang kita yakini benar itu karena kita menggunakan parameter-parameter di saluran yang kita pilih, orang lain pun meyakini benar karena menggunakan parameter di saluran yang mereka pilih. Di saluran yang misalnya mengutamakan warna kejernihan, maka warna kejernihan air tersebut yang menjadi pokok acuan. Di saluran lain yang mengutamakan kandungan kimiawi di dalam air, maka kandungan tersebut yang akan diperhatikan.
Pada akhirnya, secara sosial, kebenaran yang kita yakini ini bersifat relatif. Konsekuensinya, dari sisi akidah kita boleh saja mengklaim punya islam yang paling benar (air yang paling asli), tapi di ranah sosial kita ngga bisa begitu saja menuduh orang lain yang berbeda memiliki Islam yang kurang benar. Bisa jadi kita dan orang lain sama2 benar, bisa pula salah satu yang benar, dan tidak menutup kemungkinan keduanya sama-sama salah.
Kalau kita pakai analogi ini dengan benar, sebenarnya bisa menjadi pemandu bagi kita untuk mengembangkan Islam yang penuh empati.
Yang bisa dilakukan oleh masing-masing kita adalah berikhtiar sebaik-baiknya untuk mendekatkan diri. Yang harus dikembangkan adalah Islam yang saling menghormati perbedaan pandangan (dalam analogi air, menghargai pilihan saluran orang lain). Kalaupun ingin "berdakwah", harus dilakukan dengan penuh rendah hati dan dialogis (tidak memaksa).
Menuduh orang lain sesat (atau sesuai analogi, airnya kotor) tidak akan membuat Islamnya menjadi lebih benar (airnya menjadi jernih).
Analogi air ini mungkin hanya salah satu dari berbagai macam analogi yang banyak dipakai di luar sana untuk mengajarkan konsep-konsep keagamaan--yang menurut saya--kurang tepat dalam konteks Indonesia. Oleh karena itu, pesan moralnya adalah: Hati-hati dalam memilih analogi. Salah-salah bisa membuat logika Anda kacau. smile emoticon
***maaf kalau terlalu panjang dan berbelit-belit. saya agak kesulitan dalam menguraikan persoalan ini.

No comments:

Post a Comment