Thursday, February 19, 2015

Kebenaran Ideal vs Kebenaran Realita: Opsi

Dalam bukunya Development As Freedom, salah satu konsep yang ditawarkan Amartya Sen adalah etika dalam pembangunan ditranslasikan dengan opsi. Konsep Sen ini berbeda dengan ideolog seperti Marx dan Friedman yang menekankan kriteria-kriteria ideal dalam perumusan konsep etika.  

Menurut Sen, etika tidak bisa dijalankan hanya dengan mengacu pada kriteria ideal. Antara ideal dan realita akan selalu ada celah/gap. Bahkan, hampir tidak mungkin mendapatkan kriteria ideal di dalam alam nyata. Oleh karena itu, perlu ada cara pandang lain untuk menjembatinya. Alih-alih berpegangan pada kriteria-kriteria ideal, Sen mengusulkan agar pelaksanaan pembangunan memberikan opsi-opsi. 

Di alam ideal, kita berbicara tentang prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria. Tapi di dunia nyata kita harus membicarakan prinsip dan kriteria tersebut dalam bentuk opsi-opsi dan optimasi dalam bentuk kompromi-kompromi. 

Pandangan Sen ini bermanfaat bagi kita untuk mengamati dan menilai berbagai macam fenomena, bukan hanya ekonomi dan pembangunan. 

Salah satu contohnya adalah dalam perancangan di dunia engineering. Dalam perancangan, secara teoritik kita memiliki berbagai macam prinsip dan kriteria yang ideal tentang sebuah sistem. Tapi, prinsip dan kriteria tersebut pada kenyataannya terbatasi oleh pilihan-pilihan produk yang tersedia di pasaran dan berapa banyak sumber daya yang dimiliki (misalnya dana dan pengetahuan). Oleh karena itu, yang dilakukan oleh para engineer adalah bagaimana melakukan optimasi dari keterbatasan tersebut. Salah satu makna optimasi adalah berkompromi atas situasi yang kita miliki. 

Aplikasi lainnya, saya akan ambil contoh tentang Jokowi yang mengusulkan Budi Gunawan (BG) menjadi Kapolri. Jika dilihat dari sisi ideal, tentunya tindakan Jokowi ini salah. Betapa tidak, BG yang memiliki rekening gendut secara tidak proporsional terhadap gaji adalah calon yang kontroversial. Apalagi KPK sudah menetapkannya menjadi tersangka. Namun, apakah Jokowi benar-benar salah?

Kita bisa pakai konsep Sen untuk menilai tindakan Jokowi tersebut dengan bertanya: Apakah ada opsi lain bagi Jokowi selain mengajukan BG? Dan bisa ditambah dengan pertanyaan, pertimbangan praktis apa yang menjadi pertimbangan Jokowi? Atau, berapa banyak derajat kebebasan (degree of freedom) yang bisa dipilih oleh Jokowi? 

Menurut Tempo, banyak jenderal Polri memiliki rekening gendut dalam jumlah yang tidak wajar. Tidak mengherankan kemudian jika jika banyak kecurigaan terhadap integritas mereka. Singkatnya, ini berarti bahwa sangat sulit bagi Jokowi jika ingin mencari figur Kapolri yang bersih. Oleh karena itu, Jokowi memilih calon Kapolri bukan karena integritas, tapi karena kedekatan. Mengapa kedekatan menjadi penting? Karena sebagai penguasa baru, Jokowi memerlukan konsolidasi kekuatan politik, dan BG memberikan konsolidasi yang cukup solid.

Dari situ, bisa dilihat bahwa kita tidak bisa menilai benar/salah keputusan Jokowi mencalonkan BG hanya dari sisi rekening gendut, karena toh semuanya gendut. Artinya, dari sisi opsi, tindakan Jokowi memilih BG ini tidak salah, walaupun tidak bisa pula dianggap benar. Akhirnya, kita hanya bisa mengatakan bahwa tindakan Jokowi memilih BG adalah "sebuah tindakan yang bisa dimengerti". 

Apakah itu artinya kita harus serba permisif? Tentu tidak. Justru dengan perspektif opsi ini kita bisa menilai secara obyektif. Kita menghakimi tindakan seseorang berdasarkan pemahaman kita terhadapnya, bukan hanya kebenaran subyektif yang kita pikirkan.

-end-




No comments:

Post a Comment