Tuesday, February 10, 2015

Dokumen Ekonomi Kreatif Yang Tidak Kreatif

Barusan saya mencoba membaca cepat (skimming) buku ekonomi kreatif yang disusun oleh Kemenparekraf (nomenklatur kementerian jaman SBY). Ada dua dokumen, RPJM (48 Mb) dan RPJP (126 Mb). Keduanya secara berturut-turut memiliki ketebalan 411 dan 372 halaman. Buku ini colorful dan penuh dengan ilustrasi yang menarik, mirip dengan dokumen MP3EI.

Kesan pertama saya, kok tebal amat yak?! Lalu saya mencari dokumen ekonomi kreatif dari negara Eropa yang lebih mapan. Saya mendapatkan contoh dokumen dari beberapa negara: Jerman 32 halaman (download 900 kb), Finland 30 halaman (download 1.9 Mb), dan yang agak tebal adalah Eropa 80 halaman (download 3.31 Mb).

Dari jumlah halaman bisa dilihat bahwa dokumen Kemenparekraf jauh lebih besar dibandingkan rekan-rekannya kita di Eropa sana. Mungkin, saya menduga, Kemenparekraf ingin agar dokumen tersebut komprehensif, oleh karena itu menjadi sangat tebal.

Lalu, pertanyannya, apakah itu berarti dokumen Kemenparekraf tersebut lebih canggih? Belum tentu. Kecanggihan dokumen untuk kebijakan publik ditentukan bukan pada ke-komprehensif-an (comprehensiveness) isi sehingga menjadi sangat tebal, tapi pada apakah dokumen tersebut memiliki arah, tujuan, cara, dan langkah-langkah yang jelas. Tujuannya adalah agar dokumen tersebut bisa menjadi arena pembelajaran bersama yang efektif bagi pihak-pihak yang terlibat. Kalau membacanya saja sudah pusing, gimana mau belajar?
Untuk menentukan itu semua, pertama perlu pemaknaan ekonomi kreatif secara fundamental dan tajam. Fundamental berarti bahwa pemaknaan tersebut mencakup ontologi, sedangkan tajam terkait dengan bagaimana karakter atau nature sektor tersebut tumbuh dan berkembang. Pemaknaan ini penting karena sektor ekonomi kreatif memiliki karakter yang sangat berbeda dengan industri lain, seperti pertanian, manufaktur, atau finansial.

Sayangnya, di buku setebal ratusan halaman tersebut Kemenparekraf tidak mendalami persoalan ontologi dan karakter atau nature perkembangan sektor kreatif dengan jernih. Akibatnya, ketika merumuskan visi terasa normatif, mengambang, dan tidak operasional. Pernyataan visi mestinya membuat pembaca menjadi lebih paham kemana dan apa yang harus dilakukan. Coba saja lihat bagaimana visi tersebut dirumuskan:
Visi pembangunan ekonomi kreatif jangka menengah ketiga tahun 2015–2019 dirumuskan sebagai berikut:
Terciptanya landasan yang kuat untuk pengembangan Ekonomi Kreatif yang berdaya saing global.
Visi pengembangan ekonomi kreatif jangka menengah ketiga ini menekankan pada penciptaan landasan yang kuat bagi pengembangan Ekonomi Kreatif yang berdaya saing global. Landasan yang kuat didefinisikan sebagai kondisi terciptanya institusi, kebijakan dan peraturan yang memberikan daya dukung untuk orang kreatif dapat berkreasi dan berinovasi, adanya iklim usaha yang kondusif, dan jaminan kebebasan berekspresi dan berinteraksi dalam wadah-wadah kreatif. Daya saing didefinisikan sebagai kondisi masyarakat kreatif yang mampu berkompetisi secara adil, jujur dan menjunjung tinggi etika, unggul di tingkat nasional maupun global, dan memiliki kemampuan (daya juang) untuk terus melakukan perbaikan (continuous improvement), dan selalu berpikir positif untuk menghadapi tantangan dan permasalahan.
Apakah jelas? Buat saya, sih, tidak. Malah, kalimat tersebut agak berkesan Vickynisasi.

Bagaimana saran ke depan? Yang terpikirkan saat ini oleh saya adalah:
  1. Buat dokumen lebih sederhana. Saya merekomendasikan antara 15-25, atau maksimal 50 halaman dengan lampiran. Ini agar orang lain, terutama pelaku usaha kreatif sebagai stakeholder utama, bisa memahami dengan cepat dan jernih.
  2. Urutan pemikiran dibuat lebih jelas dan operasional. Hindari kalimat-kalimat yang mengambang. 
  3. Jelaskan langkah-langkah kongkrit yang akan dilakukan dan bagaimana follow-up-nya. Dengan demikian, orang lain akan punya gambaran bagaimana kemauan dari pihak pemerintah dan kemudian menyesuaikan diri.
  4. Kalaupun ingin memaksakan ratusan halaman, misalnya agar komprehensif, ada baiknya jika diberikan "executive summary" sekitar 10-15 halaman. 
Industri kreatif membutuhkan cara-cara pengelolaan yang juga kreatif. Ada banyak hal yang tidak bisa diukur dan diperkirakan, sehingga pola-pola proyeksi linier menjadi tidak banyak membantu. Artinya, ia tidak bisa dikelola melalui cara-cara serba terstruktur seperti sektor industri lainnya. Perkembangan industri kreatif sering bekerja melalui letupan-letupan inisiatif yang tidak mudah untuk dijelaskan, oleh karena itu ia memerlukan kejutan-kejutan "manis" yang mampu memperkaya ekosistem kreatif. Ini juga berarti bahwa mengembangkan industri kreatif tidak bisa melalui perencanaan yang serba kaku seperti halnya pengelolaan pabrik, sehingga ia harus direncanakan dalam kerangka memberikan ruang-ruang inisiatif dan kolaborasi (serta negosiasi) di dalamnya, serta bagaimana agar para pelaku di ekosistem kreatif bisa siap bertumbuh dan menangkap peluang. 

Upaya perencanaan yang kreatif tersebut, setidaknya, hendaknya dimulai dari dokumen yang juga kreatif. Yaitu, dokumen yang memiliki kejelasan tujuan dan arah, serta bisa menjadi wahana pembelajaran yang asyik bagi para pihak yang terkait, terutama para pelaku usaha sektor kreatif. Bukannya malah makin pusing dan bingung saat membaca dokumen tersebut.

Begitu, deh. Sok tahu aja ini mah. :D

-end-






No comments:

Post a Comment