Monday, February 02, 2015

Gaya Dakwah: Cerita Humor vs Indoktrinasi Emosional

Akhir-akhir ini saya senang mendengarkan rekaman ceramah dari Radio NU. Salah satu kesukaan saya adalah para kyai NU biasanya ceramah dengan kocak. Materi-materi yang berat sering dibawakan melalui guyonan dan cerita-cerita lucu. Di kalangan NU memang ada banyak cerita lucu. Dulu waktu kecil di kampung, saya paling suka bagian cerita ini. Kalau tidak percaya, Anda bisa ketik keyword "NU humor" di Google, pasti akan ada banyak stok cerita lucu dari komunitas NU.

Saya kemudian membandingkan ceramah-ceramah ustadz yang ngartis di TV. Ada beberapa yang guyon, tapi entah kenapa beda. Selain cerita yang bereda di NU itu khas guyonan orang Jawa, sehingga berbeda dengan lelucon dari etnis lain, sepertinya lelucon oleh para ustadz tersebut agak dipaksakan. Kadang humor para ustadz tersebut dikeluarkan agar ceramah menjadi menarik, tidak membosankan.
Lalu saya amati lagi, ada satu hal lain yang berbeda antara gaya dakwah NU dan ustadz di TV. Saya melihat bahwa gaya para ustadz tersebut mengandalkan indoktrinasi emosional. Itu bisa dilihat pada bagaimana mereka mengeluarkan kalimat-kalimat yang bernada sentimen terhadap agama atau kelompok lain, menyusun argumentasi untuk membangkitkan rasa cinta agama yang berlebihan (berbau agak fasis), dan biasanya ditutup dengan ungkapan atau doa yang menyentuh sehingga membuat para jamaah menangis tersedu-sedu.

Sementara itu, gaya NU justru biasanya sebaliknya. Ceramah di kalangan NU yang banyak pakai cerita humor tersebut bukan sekedar untuk membuat ceramah menjadi menarik. Cerita-cerita humor tersebut memiliki hikmah di dalamnya. Biasanya, para kyai mengeluarkan cerita humor sesuai dengan bahasan yang sedang dibicarakan. Setelah bertahun-tahun kemudian saya baru sadar bahwa cerita humor ini bisa membuat jamaah mendapatkan pelajaran tanpa harus indoktrinasi. Pasalnya, dakwah melalui bercerita menuntut para pendengarnya agar mampu menafsirkan pelajaran. Jadi, pelajaran bukan dijejalkan oleh penceramah, tapi disalurkan melalui medium cerita dan para pendengarnya yang akan menafsirkan pelajarannya. Pendeknya, dakwah melalui cerita adalah cara para kyai untuk berpikir dan mencerna ajaran agama dengan luwes dan toleran terhadap interpretasi yang berbeda. Tak heran kemudian jika NU dikenal sebagai komunitas yang santai dalam menghadapi perbedaan.

Oia, satu lagi. Para penceramah NU, baik yang sudah level kyai senior atau masih muda baru lulus pesantren, biasanya jago bahasa arab. Ceramah-ceramah di masjid NU biasanya menggunakan kitab kuning yang isinya berbahasa arab. Walaupun tingkat pemahaman bahasa arabnya berbeda-beda, setidaknya mereka tahu betul tentang sastra arab. Ini memang menjadi keunggulan mereka karena dibesarkan di lingkungan pesantren. Kemampuan berbahasa arab ini membuat mereka bisa menggali pendapat dari berbagai referensi primer dalam bahasa aslinya, bukan bermodal buku terjemahan. Dengan demikian, mereka menafsirkan ajaran agama menggunakan metodologi yang sangat tertib. Dengan begitu, kecil kemungkinan kyai NU akan mengeluarkan fatwa haram selfie, apalagi kalau fatwa selfie tersebut dikeluarkan karena berkaitan dengan marketing produk.

Kembali ke cerita humor di kalangan NU, itu bukan berarti bahwa para kyai tersebut tidak mampu membahas agama secara serius, dan bukan pula mereka bermain-main dengan agama. Tapi di balik itu, ada pelajaran penting tentang dakwah, yaitu mengajak orang untuk berpikir dan memberikan kesempatan menafsirkan pelajaran. Dengan demikian, setiap orang akan belajar untuk memahami perbedaan perspektif.

Mungkin ada yang bertanya, kenapa cerita humor, bukan cerita serius? Menurut saya bukan karena agar menarik, tapi biar mudah diingat.

[end]


No comments:

Post a Comment