Friday, January 30, 2015

Makna 'Jokowi Effect' Yang Sebenarnya

**Catatan: Tulisan ini saya buat 10 April 2014, sebelum masa Pilpres.

Kehadiran Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta dipandang sebagai angin segar bagi warga kota ini dan sekitarnya. Pasalnya, sebelumnya dia memiliki reputasi bagus dalam membangun Solo menjadi kota yang tertata dan efisien sekaligus humanis. Tidak lama kemudian, bermodal popularitasnya yang terus melambung, dia maju sebagai calon presiden. Lembaga survey dan pengamat memperkirakan bahwa pencalonan Jokowi ini akan memberikan tambahan suara yang signifikan bagi partai PDI-P tempatnya bernaung. Fenomena tersebut lalu disebut sebagai Jokowi effect.

Tapi realita berkata lain. Berdasarkan hasil hitung cepat dari beberapa versi, ternyata PDI-P hanya mengantongi suara sekitar 19 persen, tidak terpaut jauh dari pemilu sebelumnya. Jokowi effect yang digembar-gemborkan ternyata tidak ngefek dalam pemilu legislatif ini. Karakter Jokowi sebenarnya memang kurang cocok sebagai vote-getter. Dia tidak pandai tampil di depan publik, pandai mengolah kata-kata puitis yang bisa membius pendengarnya, atau lihai bersilat lidah guna memenangkan argumen.


Meski demikian, sosok yang sederhana, apa adanya, dan taktis dalam bekerja adalah kekuatan Jokowi yang sesungguhnya. Masyarakat DKI telah merasakan sendiri bagaimana karakter Jokowi tersebut memberikan warna bagi berbagai perubahan selama 1,5 tahun belakangan ini. Untuk meninjau hal tersebut, kasus penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Tanah Abang dan relokasi warga di Waduk Pluit bisa digunakan sebagai bahan referensi.

Kawasan Tanah Abang dikenal sebagai pusat perbelanjaan, terutama produk pakaian jadi. Biasanya, warga Jakarta selalu menghindari daerah ini karena jalan raya dipenuhi oleh PKL. Bukan hanya di pinggir jalan, tapi hingga ke tengah bahu jalan. Imbasnya bisa ditebak, jalanan macet berat, sampai-sampai terasa mustahil bisa melewati daerah ini.

Untuk mengatasi masalah ini, pihak Pemprov DKI sebenarnya telah menyediakan tempat bagi mereka untuk berdagang, yaitu di Pasar Blok G. Pasar ini masih berada di wilayah Tanah Abang, tidak jauh dari jalan raya. Namun dari berbagai upaya penertiban yang dilakukan sebelumnya, pedagang tetap tidak mau beranjak dari jalan raya, dengan alasan nanti dagangannya tidak akan laku. Akhirnya pedagang terus berakumulasi dan bahu jalan berubah menjadi lapak-lapak PKL.

Bagaimana ini bisa terjadi? Selain karena pembiaran yang berlangsung selama bertahun-tahun, ada pula peran “penguasa” setempat. Buktinya, jalan tersebut dikapling-kapling menggunakan cat sesuai dengan ukuran lapak. Pedagang harus membayar sejumlah uang kepada penguasa setempat tersebut untuk mendapatkan lahan berjualan. Situasi ini jelas melanggar hukum dan mengganggu kehidupan masyarakat luas, karena itu harus segera diambil tindakan.

Pada kasus ini lah Jokowi untuk pertama kalinya benar-benar mendapatkan sorotan.  Semua mata memandang, menuntut agar dia membuktikan “keahliannya.” Pasalnya, salah satu faktor yang membuat nama Jokowi melambung adalah karena dianggap sukses merelokasi PKL di Solo.

Langkah pertama yang diambil oleh Jokowi adalah turun langsung ke Tanah Abang. Dia tidak mendelegasikan tugas ini, walaupun memungkinkan. Dengan mengunjungi secara langsung, maka ada dialog antara pedagang pasar dengan puncak pimpinan Pemprov DKI. Dengan demikian, hal-hal yang menjadi perhatian atau keinginan pedagang bisa ditangkap secara lebih lengkap. Begitu pula pedagang bisa mengetahui apa yang menjadi latar belakang dan rencana Pemprov terkait penggusuran PKL. Komunikasi bisa berjalan dua arah tanpa ada distorsi. Selain itu, cara ini juga bisa menumbuhkan kepercayaan bagi warga.

Upaya persuasi menggunakan jalan dialog bukan hal baru. Yang berbeda pada era Jokowi adalah persuasi merupakan bagian dari proses “negosiasi”. Jika umumnya persuasi sifatnya lebih cenderung pada upaya membujuk pihak lain, maka dalam negosiasi ala Jokowi terdapat musyawarah yang terbuka, transparansi proses, dan imbal-balik tertentu jika diperlukan.

Untuk meyakinkan pedagang, Pemprov DKI memberikan beberapa penawaran, di antaranya adalah merenovasi bangunan pasar Blok G sehingga lebih nyaman digunakan dan menggratiskan uang sewa selama 6 bulan. Selain itu, Pemprov juga mengatur kembali jalur sirkulasi untuk mengarahkan agar orang mau mengunjungi pasar Blok G, salah satu caranya adalah dengan membangun jembatan penyeberangan dari Stasiun Senen ke Blok G.

Berikutnya, pendaftaran untuk menempati pasar Blok G dilakukan secara transparan dan tanpa biaya. Upaya tersebut membuahkan hasil yang positif.  Saat waktu pendaftaran tiba, ternyata animo pedagang sangat besar, sampai-sampai Pemprov harus menyeleksi karena kekurangan tempat. Hasilnya, jalan raya yang awalnya disesaki oleh lapak PKL kini bisa dilalui dengan leluasa.

Namun beberapa bulan setelah pindah ke Blok G, ternyata hasil penjualan para PKL tersebut menurun drastis dibanding saat masih berjualan di jalanan. Bangunan pasar yang agak terisolasi membuat calon pembeli enggan berkunjung. PKL pun mulai mengeluhkan situasi ini, bahkan beberapa di antaranya mencoba kembali berdagang di pinggir jalan. Menanggapi hal ini, Jokowi tidak tinggal diam. Dia kecewa, namun tidak lantas membuatnya beralih kepada cara-cara pemaksaan. Pada sebuah kesempatan saat berkunjung ke Tanah Abang, Jokowi mengajak pula kalangan Ibu-Ibu dari organisasi Dharma Wanita untuk berbelanja. Ini memberikan kesan bahwa Jokowi tidak lepas tangan begitu saja setelah para pedagang bersedia pindah.

Pada kasus lain, yaitu relokasi warga dari bantaran Waduk Pluit, Jokowi juga menggunakan kiat yang kurang lebih serupa. Waduk Pluit yang awalnya seluas 80 hektar dan memiliki kedalaman 10 meter, sekitar 2 tahun lalu luasnya tinggal 60 hektar dan kedalaman rata-rata 2 meter. Selain karena sedimentasi dan akumulasi sampah, situasi tersebut terjadi akibat sebagian wilayahnya beralih fungsi menjadi lokasi perumahan.

Persoalan warga yang tinggal secara liar di bantaran waduk sebenarnya dapat dicegah jika saja aturan yang ada dilaksanakan dengan benar. Namun, ia menjadi semakin rumit dan masif karena pembiaran yang terjadi selama ini. Karena itu, Pemprov harus harus tegas terhadap pelanggaran semacam ini.

Sejak awal 2013, perencanaan program normalisasi Waduk Pluit dimulai. Menurut rencana tersebut, waduk tersebut akan diperdalam melalui pengerukan hingga kedalaman 7 meter. Luas waduk juga akan dikembalikan menjadi ukuran semula, yaitu 80 hektar. Implikasinya, sekitar 12.000 kepala keluarga yang tinggal di bantaran waduk harus direlokasi.

Menanggapi rencana relokasi ini, resistansi dari warga muncul dengan berbagai alasan seperti tempat relokasi yang jauh dari lokasi bekerja dan sekolah anak sehingga memerlukan biaya tambahan. Persoalan lainnya adalah akses transportasi umum yang sulit dan keharusan mengurus administrasi kependudukan baru yang juga memerlukan biaya. Penolakan ini terjadi karena informasi yang diperoleh warga mengenai rencana relokasi masih kurang, sehingga muncul kekhawatiran. Warga kemudian menuntut agar bisa berdialog dengan Pemprov DKI, khususnya dengan Jokowi.

Tuntutan tersebut direspon oleh Jokowi dengan cara mengundang perwakilan warga untuk berdialog dan makan siang bersama di balai kota pada Mei 2013. Di situ warga meminta kejelasan mengenai batas-batas wilayah bantaran waduk yang akan dinormalisasi dan perumahan warga mana saja yang akan direlokasi. Dengan dingin Jokowi mengakui bahwa dirinya belum bisa memberikan informasi yang jelas karena perencanaan masih disusun, karena itu pihaknya akan mengundang warga kembali jika peta normalisasi waduk dan ketentuan relokasi telah lengkap. Dia juga meminta pengertian warga bahwa pihaknya harus bekerja secara taktis dan cepat sebelum musim hujan turun dan masalah kian ruwet.

Selain itu, terkait kekhawatiran warga terhadap penggusuran, Jokowi menegaskan bahwa Pemprov tidak akan melakukan relokasi sebelum tempat tinggal yang baru, yaitu berupa rumah susun (rusun), siap dihuni. Pemprov pun memberikan beberapa alternatif lokasi rusun seperti di Daan Mogot, Muara Baru, dan Luar Batang, sehingga warga dapat memilih rusun mana yang lebih cocok bagi mereka.

Lebih jauh, Pemprov menjamin bahwa tempat tinggal yang baru nanti akan lebih baik. Semua keperluan telah disiapkan termasuk keperluan rumah tangga seperti tempat tidur, lemari, dan pakaian. Fasilitas umum pun tak lupa disediakan, seperti untuk kesehatan, transportasi, dan pendidikan. Untuk memupuk kepercayaan, sampai-sampai Pemprov mengadakan “presentasi” langsung dengan mengajak 100 perwakilan warga untuk menyaksikan sendiri kondisi rusun yang akan mereka tempati. Dengan demikian, karena menyediakan alternatif pilihan yang layak dan menjaga agar prosesnya transparan, bisa dikatakan bahwa Pemprov telah mengupayakan pemecahan yang adil.

Sebagai hasil dari upaya tersebut, mulai terlihat perubahan sikap dari warga. Beberapa warga yang diwawancara oleh media (kompas.com, 5 Mei 2013) mengaku sadar bahwa selama ini telah melakukan kesalahan karena telah menempati lahan waduk secara ilegal sehingga merugikan orang lain. Sebagian yang lain merasa antusias untuk pindah ke tempat yang baru.

Beberapa upaya Jokowi tersebut memang belum bisa dikatakan sepenuhnya berhasil karena masalah-masalah sampingan terus muncul, tapi ia memberikan makna lain atas penegakan hukum. Selama ini, pemerintah memiliki paradigma “implementasi” yang kurang lebih berarti bahwa peraturan adalah sesuatu yang kaku dan bersifat memaksa sehingga warga harus mematuhinya. Secara formal pemerintah memang memiliki hak untuk memaksa warganya mematuhi hukum. Namun realita menunjukkan bahwa cara-cara pemaksaan seperti itu tidak memberikan ketertiban yang bertahan lama (durable) karena didasarkan atas rasa takut.

Dengan demikian, agar penegakan hukum mengakar dalam diri masyarakat dan berlangsung dengan adil, ia harus dijalankan dengan cara menanamkan kesadaran melalui upaya kultural seperti musyawarah. Dari sisi ini, Jokowi telah memperlihatkan wajah humanis atas penegakan hukum yang berdasarkan pada kepercayaan bersama (mutual trust) dan menghargai hak warga.

Saat mencalonkan diri bersama Basuki Tjahja Purnama, Jokowi menawarkan cita-cita “Jakarta Baru.” Kata “baru” di situ merujuk pada sebuah asa untuk membangun kota yang tertata dan memanusiakan penghuninya. Banyak kalangan, terutama lawan politiknya, memandang Jokowi sebelah mata. Dia dianggap terlalu lugu untuk memimpin Jakarta yang penuh dinamika serta sarat dengan masalah sosial dan ekonomi. Namun dari uraian di atas, bisa dikatakan bahwa makna Jokowi effect yang sebenarnya terjadi pada kerja nyata dari hari ke hari yang bisa dirasakan oleh masyarakat, bukan pada tontonan drama kampanye politik.

[end]

No comments:

Post a Comment