Tuesday, May 20, 2014

Antara Karakter dan Program Kerja


***Versi yang telah disunting dari artikel ini telah dimuat di majalah Times edisi 7 April 2014 (klik untuk melihat fotonya)

Menuju hajatan pemilu tahun ini, masyarakat dihadapkan dengan sebuah kebimbangan berjamaah: bagaimana cara menilai pilihan-pilihan yang tersedia di kertas suara? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa meminjam sebuah hikayat yang menceritakan perdebatan antara Luqman Al Hakim dengan rajanya tentang thabi’ah (watak) dan tarbiyyah (pendidikan): mana yang lebih kuat?

Luqman berpendapat thabi’ah lebih kuat, Raja sebaliknya. Untuk memenangkan perdebatan ini, Raja melatih sekumpulan anak kucing. Namun di sisi lain Luqman tahu rencana ini. Tiba saatnya pembuktian dalam sebuah perjamuan makan. Keluarlah satu regu kucing berbusana layaknya para pelayan istana. Mereka berjalan diatas dua kaki dan berbaris rapi. Tangan-tangan, atau lebih tepat kaki-kaki depan mereka masing-masing menyangga nampan berisi hidangan ikan berbagai rasa. Kucing-kucing itu begerak lucu tapi tenang, meletakkan nampan-nampan ke atas meja tanpa sedikit pun keliahatan tertarik menyentuh ikannya.


Sang Raja tersenyum puas, “Lihat! Pendidikanku telah mengubah watak kucing-kucing itu!” Namun Luqman menanggapi santai, “Benarkan?” Lalu Luqman merogoh saku dan mengeluarkan senjata rahasianya: seekor tikus! Dia melepas tikus itu ke tengah ruangan dan kucing-kucing pun berserabutan mengejarnya. Lupa berjalan seperti manusia. Lupa busana dan disiplin pelayan istana. Tak peduli sama sekali pada tamu-tamu, bahkan pada Sang Raja tuan mereka.

Cerita tersebut diambil dari blog teronggosong.com yang diasuh oleh Yahya Cholil Staquf, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, Jawa Tengah. Ia memberikan pelajaran tentang pentingnya memisahkan antara kapabilitas (kompetensi) yang artifisial dengan penghayatan pengetahuan sehingga membentuk karakter yang sesungguhnya. Dalam konteks pemilu saat ini, kemampuan menilai karakter seseorang atau organisasi menjadi sangat penting. Pasalnya, demokrasi di negara ini masih berwujud politik pertunjukan (political show), sehingga bisa menghanyutkan siapa saja yang terpesona oleh lantunan retorika manis dalam sandiwara politik.

Partai politik dan para calon anggota legislatif di masa kampanye berlomba-lomba menjual dirinya, baik janji-janji untuk masa depan maupun rekam jejak waktu lalu. Janji-janji dan rekam jejak tersebut bisa ditemukan dalam dokumen formal seperti falsafah dasar organisasi, program kerja, dan materi iklan politik. Kata-kata melangit dan janji-janji surga dirangkai dalam retorika dan koreografi di atas panggung untuk meyakinkan publik atas kehebatan dirinya.

Di sini, publik diajak untuk mempercayai apa yang didengar dan dilihatnya. Seperti halnya pertunjukan drama, semakin penonton terbawa oleh akting di atas panggung, kian puaslah sang sutradara dan aktornya. Dihubungkan konteks pemilu, itu bisa berarti kantong suara yang makin gemuk. Tapi, politik tentu bukan pertunjukan karena politik akan berimplikasi langsung pada kehidupan nyata. Oleh karena itu, agar proses pemilu bisa memberikan manfaat yang optimal, publik dituntut harus mampu melihat hal-hal yang esensial di balik kostum dan riasan yang dipakai oleh para politisi dan partainya.

Namun demikian, dokumen formal seperti program kerja tetaplah penting. Program kerja bisa dilihat sebagai referensi atas pemikiran dan rencana seseorang. Sebagai dokumen politik, ia bisa memberikan gambaran tentang arah pergerakan seseorang atau organisasi dalam menjalankan amanahnya nanti.

Jika kembali ke belakang, naskah-naskah politik bisa kita temukan sejak periode sekitar kemerdekaan. Masa ini disebut-sebut sebagai zaman keemasan politik ideologi di Indonesia. Pasalnya, tulisan dan perkataan para politisi di masa itu merupakan cerminan dari  pengetahuan, ideologi, dan metode perjuangan yang diyakini. Antara dokumen formal dan individu yang mengusungnya saat itu hampir tidak berjarak. Jika ingin mengetahui wajah kehidupan tokoh di waktu tersebut, maka baca saja tulisan-tulisannya. Sebagai contoh, Mohammad Hatta yang mengusung konsep ‘ekonomi rakyat’ dikenal sebagai pribadi yang jujur, sederhana, dan tidak goyah pendirian di bawah moncong senjata. Bisa dikatakan bahwa konsep tersebut telah membudaya dan membentuk karakter seorang Hatta.

Namun di masa kini, konsep atau strategi yang dibungkus dalam program kerja bisa bermakna dangkal karena ia disusun atas pertimbangan politik. Jika membaca berbagai dokumen yang disodorkan oleh parpol, akan mudah dilihat bahwa di dalamnya sarat dengan jargon-jargon populer nan normatif, minim dengan gagasan yang kongkret. Bisa dikatakan bahwa program kerja tersebut adalah satu paket dengan rangkaian aktifitas pencitraan politik yang dirumuskan oleh para penasehat-penasehatnya.

Fenomena ‘konsultan politik’ ini dengan sendirinya mengurangi legitimasi program kerja. Jika menilik pengalaman di pemilu-pemilu yang lalu, kalimat-kalimat megah yang dibumbui dengan kata-kata ‘rakyat’ dimunculkan sekedar untuk merebut hati publik, tanpa ada penghayatan yang dalam. Selaras dengan itu, saat diadakan debat atau diskusi terbuka pun sering terlihat seseorang berargumentasi berdasarkan hal-hal yang jauh — atau bahkan bertentangan — dari apa yang dia yakini demi merebut simpati. Singkat kata, program kerja kemudian bisa tidak lebih dari sekedar naskah skenario dan skrip dialog seperti halnya dalam pertunjukan drama.

Masalahnya, tidak seperti skrip dialog dalam pertunjukan drama, program kerja harus dioperasikan dalam aktivitas yang nyata. Karena itu, program kerja seseorang atau organisasi bisa diamati pada perilaku dan keputusan-keputusan yang diambilnya. Mereka yang sungguh-sungguh akan terlihat bahwa tidak ada jarak antara program kerja sebagai dokumen formal dengan gerak-geriknya di alam nyata.

Dengan demikian, menilai seseorang atau organisasi berdasarkan dokumen formal dan penampilan saja tentu sangat tidak memadahi. Agar tidak hanyut oleh pertunjukan politik, karakter bisa menjadi parameter yang lebih akurat dalam menilai bagaimana seseorang atau organisasi akan berperilaku di masa depan. Dalam kata lain, karakter seseorang atau organisasi merupakan program kerja yang sesungguhnya (genuine).

Karakter atau akhlak, menurut pandangan Ghazali (dalam Quasem, 1988), bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’l) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’a rasikha fi-n-nafs). Kemantapan jiwa ini ditunjukkan dalam perbuatan atau pengamalan sehari-hari, baik di ranah pribadi maupun saat menjalankan pekerjaan. Dalam ranah individu, keempat kualitas tersebut bisa diamati pada tingkat pengetahuan dan empati seseorang. Sementara itu, pada organisasi politik, sifat-sifat tersebut bisa dilihat pada kecenderungan-kecenderungan kolektif dalam menghadapi berbagai isu, terutama yang tidak menguntungkan bagi dirinya, dan bagaimana perilaku anggotanya saat mendapatkan kekuasaan.

Dengan demikian, dalam era politik pertunjukan saat ini, aspek karakter memiliki makna yang lebih besar dibandingkan program kerja. Namun perlu digarisbawahi kembali bahwa bukan berarti program kerja tidak penting. Karena itu, penilaian karakter di sini secara umum merujuk pada seberapa dekat watak dan perilaku seseorang atau organisasi dengan perkataannya.

Sebagai contoh praktis, untuk menilai seseorang yang menjanjikan konsep ekonomi kerakyatan, bisa dikonfirmasi pada bagaimana dia memperlakukan orang lain, gaya hidup, dan kecenderungan menghadapi perbedaan. Jika selama ini dia menghormati hak-hak orang lain, hidup sederhana, dan mampu menunjukkan empati, maka secara umum kita bisa pegang janji tersebut. Begitu pun jika ada politisi yang tidak mau berbicara secara terbuka, publik bisa mengetahui ‘program kerja’ yang tersembunyi dari perilakunya selama ini.

Pada prakteknya tentu tidak sesederhana itu karena publik dihadapkan pada alternatif-alternatif yang serba abu-abu dan saling tumpang tindih di alam nyata, bukan hitam-putih dan terisolasi dalam ruang hampa. Publik pun harus pintar memilah dan memilih fakta yang relevan di tengah arus banjir informasi saat ini. Meski demikian, seperti kisah di awal tulisan ini, perlu diingat bahwa secerdik apapun ia berlagak dan menghias dirinya, seekor kucing akan selalu mengikuti watak yang sebenarnya. []

No comments:

Post a Comment