Wednesday, May 07, 2014

Energi Nuklir: Bagaimana Dan Untuk (Si)apa

Polemik di sekitar pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tidak pernah berhenti. Sayangnya, polemik yang terjadi selama ini tidak banyak memberikan sumbangsih pengetahuan bagi masyarakat maupun membawa kemajuan dalam kebijakan energi kita. Itu terjadi karena masing-masing pihak yang berseteru mengajukan argumennya tanpa pernah memikirkan menyentuh pokok masalahnya, yaitu tata kelola teknologi.

Pihak yang pro gigih berpendapat bahwa pembangunan industri di negara ini membutuhkan nuklir untuk memenuhi kebutuhan energinya. Argumentasinya, jika ingin membangun ekonomi berbasis industri, maka konsumsi listrik Indonesia yang berkisar 700 kilowatt-jam (kWh) per kapita per tahun dipandang masih sangat kurang.

Di sisi lain, negara tetangga Malaysia dan Singapura mengonsumsi listrik masing-masing sebesar 3.500 dan 8.800 (kWh) per kapita per tahun. Karena pasokan energi listrik yang melimpah, kedua negara tersebut leluasa mengembangkan sektor industrinya sehingga mereka menikmati kemajuan ekonomi yang begitu besar. Menurut Kementrian ESDM, data statistik pemakaian listrik dan performa ekonomi di seluruh dunia memang menunjukkan relasi yang positif antara konsumsi energi listrik dengan kesejahteraan sebuah negara.


Menggunakan data tersebut, pihak pemerintah berargumentasi bahwa jika setidaknya ingin menyaingi industri Malaysia, maka Indonesia harus membangun pembangkit listrik sebesar 5 kali lipat dibanding yang dimiliki saat ini. Kapasitas total pembangkit listrik di Indonesia saat ini adalah berkisar pada 40 ribu megawatt (MW). Dengan demikian, kita butuh pembangkit yang mampu menyediakan listrik sebesar 160 ribu MW.

Pembangkit energi listrik yang dibutuhkan untuk mengembangkan industri adalah yang mampu melayani base load (beban dasar), yaitu beban yang berjumlah besar dan stabil (tetap) sepanjang waktu. Beban yang besar ini disebabkan oleh industri yang umumnya membutuhkan listrik untuk menjalankan mesin penggerak (motor listrik), serta untuk proses pemanasan (heating) dan pendinginan (cooling).

Jenis pembangkit listrik yang tersedia untuk melayani base load adalah berbasis batubara, gas, minyak bumi, air (PLTA), panas bumi, dan nuklir. Sementara itu, sumber terbarukan seperti angin, matahari, dan laut (gelombang, arus, dan pasang-surut) tidak cocok untuk industri karena suplai energinya tidak stabil.

Pembangkit menggunakan minyak bumi tidak memungkinkan karena tarif listriknya mahal, sedangkan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) telah ditinggalkan karena menghancurkan ekosistem. Batubara dan gas sebenarnya opsi yang baik karena kita memiliki sumber daya yang melimpah untuk kedua komoditas energi tersebut.  Namun, emisi pembangkit listrik batubara dan gas masing-masing sekitar 750 dan 300 gram karbon dioksida per kWh. Karena itu, keduanya dianggap tidak cocok dengan narasi perubahan iklim yang akhir-akhir ini mencengkeram negara-negara berkembang. Membangun pembangkit listrik batubara dan gas boleh, tapi harus dibatasi.

Di sisi lain, panas bumi praktis tidak mengeluarkan emisi karbon, sementara energi nuklir hanya menghasilkan 25 gram karbon dioksida per kWh. Jika menilik pada potensi yang dimiliki, maka panas bumi menjadi alternatif yang menarik. Namun demikian, walaupun potensi (resource) panas bumi kita begitu besar (28 ribu MW), namun cadangannya (reserve) hanya berkisar 10 ribu MW. Karena itu, pembangkit listrik panas bumi tidak memadahi untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus bertambah.

Dengan dasar itulah pemerintah beralasan bahwa PLTN menjadi opsi yang harus dipertimbangkan. Selain rendah emisi karbon, ia memiliki kerapatan energi yang begitu tinggi sehingga satu buah reaktornya mampu menghasilkan listrik sebesar 1.000 MW. Harga listriknya pun cukup murah, yaitu sekitar USD 8 sen per kWh. Angka tersebut meliputi semua komponen biayanya, yaitu konstruksi, perawatan, operasional, pembelian bahan bakar, pengolahan sisa bahan bakar, dan decommisioning, serta jangka waktu pengembalian investasinya adalah 30 tahun.

Investasi yang dibutuhkan memang besar, yaitu sekitar USD 4.000 per kilowatt (kW), sehingga dibutuhkan biaya sebesar Rp 40 triliun untuk membangun sebuah reaktornya. Namun itu terjadi karena sebagian besar (sekitar 70 persen) terserap untuk memenuhi biaya awal (initial cost) konstruksinya.

Alasan lainnya, teknologi PLTN saat ini telah berada pada fase yang matang. Standar keamanan pembangkit nuklir dan reaktornya telah sedemikian tinggi, sehingga bisa menghadapi berbagai skenario kegagalan atau bencana. Pembangunan PLTN pun harus memenuhi berbagai standar Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang sangat ketat, mulai dari survey penentuan lokasi, konstruksi, hingga operasionalnya.

Pada isu keamanan ini lah pihak yang kontra mengambil posisinya. Salah satu kejadian yang sering disebut adalah kecelakaan nuklir di pembangkit listrik Fukushima Daiichi. Hingga hari ini, otoritas pemerintah Jepang memang masih melakukan penanganan atas kebocoran dari pembangkit tersebut.

Namun, yang sering tidak disebutkan oleh pihak penentang nuklir adalah bahwa reaktor nuklir di Fukushima Daiichi adalah jenis reaktor tua yang kini tidak lagi dipakai. Ia merupakan tipe reaktor generasi pertama berjenis boiled water reactor (BWR) yang dibuat pada  era 1950an. Kelemahan terbesar dari tipe ini adalah menggunakan pendinginan aktif (memerlukan energi listrik untuk mengalirkan cairan pendingin) dan memiliki sungkup (containment) beton. Karena itu, saat air laut akibat tsunami merendam ruang generator listrik, ia tidak bisa mengalirkan air pendingin. Akibatnya, pembungkus bahan bakar (cladding) dan dinding inti reaktor yang terbuat dari campuran logam (alloy) itu meleleh (meltdown). Berikutnya, gas hidrogen pun muncul dalam jumlah besar. Karena konstruksi sungkup pembangkit ini sederhana, yaitu tidak menggunakan beton tebal seperti reaktor terbaru, maka ledakan akibat akumulasi gas hidrogen tidak terelakkan.

Hal lain yang jarang disebutkan adalah bahwa di pesisir timur Jepang tersebut sebenarnya ada 4 PLTN lain, yaitu Onagawa, Fukushima Daini, Tokai Daiichi, dan Tokai Daini. Mereka memiliki jenis reaktor yang lebih mutahir dibandingkan Fukushima Daiichi, yaitu memiliki sistem pendingin pasif dan sungkup beton yang tebal. Sungkup reaktor ini setebal hampir 50 centimeter, terinspirasi oleh desain bunker anti bom nuklir. Jika ditabrak oleh pesawat Boeing 747, ia hanya akan “lecet” sedalam 10 centimeter. Keempat reaktor bisa selamat melewati bencana gempa bumi dan tsunami.

Dari kejadian di Jepang tersebut bisa disimpulkan bahwa secara teknis, desain PLTN terkini mampu menghadapi bencana seperti gempa bumi dan tsunami. Hal ini pula lah yang membuat pemerintah Jepang mengaktifkan kembali PLTN sebagai sumber utama untuk memenuhi kebutuhan listriknya.

Dengan demikian, karena secara teknologi telah matang dan pengembangan industri membutuhkan energi yang besar, maka isu penting terkait agenda pembangunan PLTN di Indonesia bukanlah pada sisi teknis, namun pada tata kelola teknologinya. Ia terdiri dari dua hal, pertama adalah pengelolaan atau manajemen teknologi nuklir. Kedua, bagaimana pembangkit listrik ini bisa bermanfaat dan diterima oleh masyarakat.

Aspek pengelolaan meliputi perencanaan, konstruksi, pengembangan, operasional, pengendalian, dan mitigasi jika terjadi kecelakaan. Untuk keperluan tersebut, Badan Teknologi Nuklir Nasional (BATAN) melalui Badan Pengembangan Energi Nuklir (BPEN) harus dikawal agar rencana pembangunan PLTN ini dilakukan melalui kajian yang cermat dan komprehensif. Di sini, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) memegang peran yang krusial untuk menjaga agar agenda ini melalui proses yang seksama dan sekaligus transparan.

Di sisi lain, aspek pemanfaatan dan penerimaan energi listrik dari PLTN merupakan pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyatnya. Di negara-negara maju, resiko dan biaya tinggi untuk membangun PLTN terbayar karena ia mampu menopang inovasi dan pengembangan industri, sehingga kesejahteraan rakyat meningkat.

Karena itu, jika listrik dari PLTN hanya digunakan untuk melayani perusahaan asing, melanggengkan status sebagai bangsa kuli, atau bahkan sekedar agar pemirsa hiburan di televisi tidak terganggu, maka sebaiknya lupakan saja agenda energi nuklir. Namun apabila pemerintah bisa menunjukkan bahwa PLTN akan memberikan jaminan ketersediaan listrik untuk memajukan inovasi, menyuburkan kreatifitas, menumbuhkan industri nasional berbasis teknologi, dan mendorong pemerataan kesejahteraan, maka rencana pembangunan PLTN ini patut diberikan kesempatan.

Selain itu, berkaca pada penolakan di Jepara, Jawa Tengah, pembangunan PLTN harus disertai dengan upaya pendekatan kepada masyarakat melalui jalan dialog dan penyebaran pengetahuan. Untuk keperluan ini, dibutuhkan penguasa yang sabar menghadapi dinamika sosial di masyarakat dan mampu berempati untuk menjembatani perbedaan pendapat.

[end]

No comments:

Post a Comment