Wednesday, April 21, 2010

PEREMPUAN; ANTARA KELUARGA DAN VISI HIDUP

Seringkali kita mendapati bahwa ketika sebuah pasangan menikah, pihak perempuan (terpaksa) harus merelakan visi hidupnya, yaitu mimpi dan cita-cita hidupnya, demi bersama dengan sang suami. Ada yang menjadi ibu rumah tangga, dan ada pula yang meninggalkan pekerjaan yang disukainya dengan memasuki pekerjaan yang kurang disenanginya.

Pertanyaannya, apakah salah kalau perempuan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga? Tentu jawabannya tidak. Sebagai ibu rumah tangga, akan ada banyak sekali hal yang dikerjakan; mulai dari membangunkan anak, menyiapkan sarapan, membersihkan rumah dan perabot, membayar tagihan bulanan, belanja kebutuhan sehari-hari, memasak makan siang dan makan malam, mengatur pengeluaran, antar-jemput anak sekolah, dll. Hal in menunjukkan bahwa menjadi ibu rumah tangga yang baik pun perlu “pintar”, dalam artian butuh manajemen yang baik dan stamina yang bagus, apalagi jika harus mengajari anak-anaknya yang sudah SMP, karena ada kecenderungan mata pelajaran makin susah.

Terus apa tujuan dari tulisan ini?
Tulisan in berusaha menelaah tentang perempuan dalam peranannya sebagai ibu, perempuan sebagai manusia yang mempunyai mimpi dan cita-cita, dan perempuan sebagai makhluk sosial yang mempunyai tanggun jawab terhadap sesama.
Tentu karena saya belum menikah, akan ada error disana-sini, oleh karena itu saya meminta bantuan untuk memberikan pandangan kepada rekan-rekan di milis alumni Fisika Teknik ITB untuk membahas hal ini.
Tulisan ini merupakan kompilasi dari berbagai pandangan yang ada, dengan beberapa penambahan.
Saya sangat mempersilahkan jika akan mengkritik atau memberikan saran.

……………………………………………………………


INTRODUCTION

Kita semua pasti setuju bahwa selayaknya lah kita memuliakan perempuan, bukan hanya karena alasan kemanusiaan, akan tetapi karena kemampuan mereka dalam menyeimbangkan dunia yang penuh dengan persaingan dan perlombaan, dunia yang hanya mengenal pemenang atau pecundang, sebuah dunia “milik” laki-laki. Kehadiran perempuan akan membuat dunia ini menjadi penuh kasih sayang, penuh dengan kelembutan, dan dengan demikian akan menjadi indah.

Hanya saja, sangat disayangkan ketika ada seorang perempuan yang sangat berbakat dan mempunyai visi hidup yang bagus, tiba-tiba harus merelakan dirinya “mengalah” demi mengurus keluarganya. Seperti yang telah saya jelaskan di atas, mengurus keluarga bukan hal yang sepele. Sebagian orang mengatakan bahwa, sikap mengalah sang istri adalah wujud cintanya pada sang suami. Akan tetapi perempuan juga mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya terhadap masyarakat, terutama bagi mereka yang talented, sehingga harus direncanakan dan diatur betul agar perempuan bisa menyeimbangkan antara tuntutan keluarga, cita-cita hidupnya, dan keberadaannya di dalam masyarakat.

Sepertinya tidak masalah jika sejak awal, perempuan tersebut memang dengan senang hati dan merasa bisa melakukan banyak hal ketika menjadi ibu rumah tangga. Akan tetapi akan menjadi masalah manakala sang perempuan tersebut mempunyai keinginan yang kuat untuk berkarya. Stress karena merasa “kurang berguna” sangat berbahaya karena bisa mengakibatkan seseorang tidak memiliki gairah hidup.
Mari menelaah beberapa latar belakang yg menjadikan perempuan memiliki pola pikir “mengalah” seperti itu.

Pertama, harus diakui bahwa kita hidup di dalam masyarakat patriarki, masyarakat yg memiliki budaya yang melemparkan semua urusan domestik rumah tangga pada perempuan sehingga perempuan hanya punya sedikit waktu yang dicurahkan untuk meningkatkan daya pikir dan wawasannya sendiri. Sudah tentu perempuan yg sangat talented-pun sejak kecil sudah terpapar (ter-indoktrinasi) oleh stigma atau rules yg berlaku dimasyarakat tersebut. Pola pikir demikian sudah menghunjam hingga alam bawah sadar. Disamping itu, tekanan dan tudingan dari masyarakat sekitar akan lebih dulu diarahkan ke perempuan jika terjadi hal buruk pd keluarga, mis: sang anak tidak naik kelas. Jadi, mau tidak mau, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, perempuan harus menghitung semua beban faktor tersebut dalam meniti karir.

Kedua, by nature perempuan sudah diberi insting lebih untuk mengasuh; yang memang berguna karena perempuan memiliki kodrat untuk hamil, melahirkan, dan menyusui. Proses tersebut dapat membuat kedekatan batin yang tak terbantahkan antara ibu dan anak, apalagi jika terdapat kesulitan (e.g: sakit) yang teramat sangat dalam proses kehamilan dan kelahiran menyebabkan ikatan tersebut makin kuat. Sehingga perempuan karir cenderung menghitung juga faktor social-personal (terutama anak) jika dibandingkan dg sisi finansial dan posisi. Jika dia melihat dan menimbang bahwa ada terlalu banyak sisi social-personal yg dikorbankan tetapi menurut dia tidak sesuai dg perolehan sisi-financial maka banyak yg memilih utk drop her career. Contohnya banyak perempuan karir yg tak ingin kehilangan "moment" atau masa tumbuh kembang anak saat masih balita; those moment will never come back again, they said.

Jadi, perempuan dalam masyarakat demikian sudah punya beban/tanggungan tak kasat mata di punggungnya. Mereka boleh berlaga tetapi dg membawa beban di punggung. Selalu di ingatkan:"hey your role is in domestic area". Slogan menjadi "ibu yang baik" lebih di dengung-dengunkan dibanding slogan menjadi "bapak yang baik". Slogan "istri shaleha" lebih diutamakan dibanding "suami shaleh". Jadi berbeda dengan pria, yang keberhasilannya di ukur di atas panggung, maka perempuan keberhasilannya diukur di belakang panggung.

Sekarang sudah tentu ada terjadi pergeseran nilai. Ada perempuan yang menganggap tugas domestik dan mengasuh/mendidik anak tidak seluruhnya adalah tugas perempuan (karena anak adalah hasil perbuatan berdua toh?). Ada pula yang menganggap perempuan punya hak yang sama untuk meningkatkan daya pikir dan wawasannya sendiri dan menuntut adanya "suami shaleha". Jika sang suami se-ide, maka berbahagialah dia, karena adanya pembagian tugas yg disepakati kedua belah pihak. Tentu tidak hanya berbagi tugas yg terlihat secara fisik, tetapi juga mau berbagi tugas beban "perasaan" di hati. Pada posisi tersebut maka perempuan merasa bahwa sang suami bisa mengimbangi keinginan dan ide-idenya.



VISI HIDUP INDIVIDU = VISI HIDUP BERSAMA

Bagaimana cara mensiasati jika sebuah pasangan ingin mencapai visi hidup dari keduanya?
Ketika sudah menikah, visi hidup seseorang tidak bisa lagi visi hidup masing-masing individu -- bisa-bisa malah berantakan dua-duanya kalau ternyata berseberangan. Bisa saja tetap ada visi hidup masing-masing invidividu, tapi visi hidup individu harus mendukung visi hidup bersama.

Sebelum ada janji pernikahan, misalnya saat pacaran, adalah saat tepat untuk membahas dan merencanakannya. Buat dulu rencana-rencana apa yang ingin dilakukan jika sudah menikah -- sang suami mau mengejar apa, sang istri mau mengejar apa, bagaimana dengan rencana memiliki anak, rencana pengeluaran, tanggung-jawab dalam mengelola keuangan, etc.; banyak-banyak lakukan simulasi 'what-if'. Tanpa ada diskusi sebelum nikah, yang akan terjadi adalah kekecewaan. Jika ternyata diskusi tidak mendapatkan titik temu, tidak apa-apa pacaran bubar. Lebih baik bubar saat pacaran daripada setelah pernikahan.

Sejak pengambilan keputusan itu, diharapkan tidak ada lagi keluhan-keluhan dari pasangan, walau kadang-kadang menyesal itu watak manusia -- kadang-kadang kita harus melewati masa buruk seperti grafik sinusoidal.

Kuncinya adalah bukan menyelesaikan apa yang sudah terjadi, tapi membuat rencana bersama. Setiap kali ada sebuah keputusan yang ingin diambil oleh salah satu pihak, sebaiknya diskusikan untuk bicara tentang keuntungan, resiko, dan juga concern yang ada. Memang terasa lebih bertele-tele, tapi itulah pernikahan; dua individu yang punya dua ego tapi harus selalu berjalan bersama-sama.



AKTUALISASI DIRI vs MENGURUS KELUARGA (ANAK)

Pertanyaan yang cukup berat untuk dijawab adalah bagaimana cara perempuan bisa mengaktualisasikan dirinya, mencapai mimpi dan cita-citanya, ketika dirinya juga merasa harus mencurahkan hati dan pikiran untuk keluarganya (terutama anaknya)?

Sejak punya anak, maka bagi sebagian besar perempuan, prioritas hidup berubah; sehingga tujuan hidup juga berubah total. Menjadi bagian penting dari perusahaan bukan lagi menjadi hal yang utama dan terasa membanggakan. Apalagi jika melihat si anak sangat butuh pendampingan yg intensif agar bisa tumbuh kembang dg "standar normal".

Proses untuk menata kembali hidup adalah dengan kembali melihat "apa dan mana" yang lebih penting, menata ulang seluruh cita-cita dan tujuan hidup ke depan, serta mempersiapkan ilmu dan mental untuk berubah haluan. Untuk sebuah visi hidup, terdapat jenis pekerjaan atau kegiatan yang bermacam-macam yang bisa dilakukan; tentunya diperlukan kerja ekstra keras untuk mendapatkan peluang.

Persiapan untuk merubah haluan tak bisa dalam sekejap, kadang butuh beberapa tahun untuk bisa ganti haluan, termasuk di dalamnya proses untuk pikir-pikir, persiapan, dan tengok-tengok kanan-kiri. Keputusan yang diambil bisa mendasarkan pada parameter bagaimana passion dari seseorang, prospek pengembangan diri ke depan, dan tentunya seberapa banyak waktu, pikiran, dan tenaga yang akan tersita.



JIKA VISI HIDUP KELUARGA YANG DIANUT ADALAH VISI HIDUP PEREMPUAN

Memberikan pendidikan atau istilah lain memberdayakan perempuan akan membuat perempuan mempunyai pilihan dalam hidupnya. Pada saat ini, konon, 50% dari working force di usa diisi oleh perempuan, tapi masih berada di level bawah, belum di inner circle.

Jika visi hidup yang dominan “dipakai” di keluarga adalah dari pihak lelaki, maka hal ini sepertinya sudah cukup umum di masyarakat kita, dimana kemudian pihak perempuan mengalah.
Nah, bagaimana jika visi hidup yang dianut adalah dari pihak perempuan?
Apakah perempuan siap menjadi nakhoda dalam suatu biduk rumah tangga, melayarkannya dengan speed yang sama dengan lelaki? Walaupun banyak perempuan yang secara teknis mampu melakukannya bahkan mungkin lebih mampu dari pasangannya, kemungkinan besar sebagian besar perempuan, apapun rasnya, belum siap dengan mentality ini.

Pada saat ini di berbagai perusahaan, posisi di middle management saja masih langka diisi oleh perempuan. Perempuan yang terjerumus disini akan menemukan dirinya agak kesepian, harus mencoba sedemikan rupa menyesuaikan dengan lelaki, apalagi bila sudah di inner circle, dan akan bertambah berat lagi kalau tidak disupport pula sama pasangannya.

Berikut ini cuplikan yang menarik dari kisah hidup margareth tatcher;

(Ini pidato beliau waktu suaminya meninggal) Thatcher paid tribute to him by saying, "Being Prime Minister is a lonely job. In a sense, it ought to be—you cannot lead from a crowd. But with Denis there I was never alone. What a man. What a husband. What a friend".

Now in her declining years, she began complaining about her "lost" family, (Mark in South Africa, Carol in Switzerland) , but her daughter was less than sympathetic; "A mother cannot reasonably expect her grown-up children to boomerang back, gushing cosiness and make up for lost time. Absentee Mum, then Gran in overdrive is not an equation that balances.


Memang uraiannya cukup panjang, akan tetapi pesannya sederhana: jika engkau ingin agar engkau dan pasanganmu sukses bersama-sama, kejar mimpimu, dan cari pasangan yang juga berjalan kearah mimpi yang sama.


Didiklah perempuan kalau kita ingin memajukan suatu bangsa [unknown].


Selamat Hari Kartini, 21 April 2010


Thanks to: Bu KD, Mas AA, Bu Esthi, Uni Riza, Bu Fanny, Bu EB, Cak Datuk, dan rekan-rekan lainnya di milis alumni Fisika Teknik yang telah memberikan pandangannya.

2 comments:

  1. beautifully written. made my day :)
    terima kasih.

    ReplyDelete
  2. sama-sama, mbak nina.. (saya panggil mbak gapapa ya?!, hehe)

    senang kalau bisa bermanfaat. :D

    ReplyDelete