Saturday, May 22, 2010

Just Curious,,,

Manusia mempunyai organ-organ tubuh yang menunjang kelangsungan hidupnya. Organ-organ ini mempunyai tugas yang spesifik dan berkoordinasi secara sempurna.
Untuk bisa hidup secara nyaman secara fisik, manusia hidup berdasarkan dua aturan.

Aturan pertama adalah, manusia hidup berdasarkan range tertentu.

Misalnya, dalam hal suhu udara, manusia yang terbiasa hidup di lingkungan tropis (panas) akan mengalami kesulitan hidup di lingkungan dingin seperti eropa saat musim dingin atau kutub utara. Yang lain lagi, dalam hal mengangkat beban; seseorang yang kurang berlatih atau beraktifitas mengangkat beban, akan kesulitan mengangkat beban, walaupun mungkin hanya 30kg atau 40kg. Juga orang yang jarang berlatih akan kesulitan jika harus bermain sepakbola 2 x 45 menit. Bagi mereka yang terbiasa hidup di kota dengan segala fasilitas yang ada pasti akan kesulitan jika tiba-tiba harus hidup di hutan tanpa persiapan mental dan skill yang cukup. Contoh-contoh ini membuktikan bahwa manusia hidup pada range tertentu.
Range ini dipengaruhi terutama oleh kebiasaan kita. Ya kebiasaan. Kita pasti pernah atau bahkan sering mendengar atau membaca bahwa awalnya kita yang membentuk kebiasaan, dan kemudian kebiasaan itu yang akan membentuk kita.

Aturan kedua adalah, manusia adalah makhluk yang sangat pandai beradaptasi.

Manusia bisa hidup dari lingkungan yang paling dingin di daerah kutub utara, sampai ke lingkungan paling panas di gurung Sahara. Manusia bisa hidup dari yang hampir tidak pernah olahraga sehingga obesitas, sampai yang hidupnya selalu dipenuhi aktifitas mengangkut beban macam kuli angkut di pelabuhan dan pasar. Manusia bisa hidup di daerah pantai yang panas dan lembab, dan juga di daerah pegunungan seperti Tibet yang kering dan dingin. Artinya, bahwa manusia bisa hidup di manapun karena pandai beradaptasi. Jika hewan hanya mengandalkan insting dan "fasilitas" di fisiknya seperti bulu, maka manusia bisa menyelesaikan masalahnya menggunakan akal dan kreativitasnya.

Pertanyaan pertama, apakah manusia bisa hidup di kedua lingkungan yang ekstrim?

Jawabnya adalah bisa, tentu dengan periode adaptasi tertentu. Orang yang terbiasa hidup di lingkungan tropis akan membutuhkan waktu beberapa hari untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di Rusia yang dingin dan kering. Begitu pula dengan orang eskimo, pasti shock begitu ditaruh di gurun Sahara.
Proses adaptasi membutuhkan perjuangan. Kadang disertai rasa sakit, baik fisik maupun mental. Tetapi bukan berarti tidak bisa.

Proses adaptasi yang lebih mudah dilakukan adalah jika beralih dari lingkungan yang "kurang nyaman", ke lingkungan yang "lebih nyaman". Misalnya dari lingkungan Afrika yang panas & kering, ke lingkungan tropis yang lebih sejuk dan basah semacam Indonesia. Atau misalnya dari daerah kumuh dan penuh kriminal di Honduras, pindah ke California yang jauh lebih teratur dan bersih.


Nah, ini memunculkan pertanyaan kedua, jika manusia sudah mencapai keadaan nyamannya di daerah yang lebih nyaman seperti contoh di atas yaitu di Indonesia dan California, apakah ia masih punya "sense" terhadap lingkungan yang lama?

Maksudnya adalah, apakah ia akan dengan mudah juga untuk kembali hidup di lingkungan yang lama? Tentu ini debatable, tapi besar kemungkinan ia akan mengalami kesakitan yang luar biasa ketika harus kembali ke habitatnya yang lama.
Artinya adalah, bahwa ketika sudah mencapai kenyamanan pada level yang tinggi, akan susah bagi seseorang untuk kembali menjalani hidup ke level rendah, walaupun dulu pernah hidup di level tersebut. Hal ini bisa berarti susah dalam artian tubuh akan menolak, maupun kemauan tidak ada lagi.


Dari uraian di atas, bisa kiranya kita tarik kesimpulan yaitu seseorang akan mengerti betul bagaimana keadaan sebuah lingkungan jika ia tinggal di dalamnya. Orang Indonesia akan sangat mengerti tentang bagaimana lingkungan tropis dibanding orang eropa atau orang korea misalnya. Orang Afrika jauh lebih mengerti tentang mensiasati lingkungan yang ganas di sekitar mereka dibanding siapapun di dunia ini.

Tentu orang kutub utara akan susah diajak ngobrol tentang ganasnya lingkungan Afrika; orang Indonesia yang mengeluh tentang cuaca pasti akan bersyukur bahwa negeri ini sangat ramah terhadap manusia kalau diajak ke kutub utara yang dingin; begitu juga orang yang tinggal nyaman di Bali tidak akan "mudeng" kalau diajak ngobrol tentang susahnya hidup sebagai orang Papua. Orang yang hanya bisa bermain catur yang membutuhkan pikiran, pasti kesulitan jika diajak bermain bola yang memerlukan kemampuan fisik; begitu juga jika seseorang yang hanya memainkan basket, ia akan linglung kalau ditantang catur.

Dan kemudian akan sampai pada pertanyaan berikutnya.

Jika seseorang telah beralih ke lingkungan yang jauh lebih nyaman, akankah ia tetap bisa "mengerti" beratnya hidup di lingkungan yang lalu?
Maksudnya bukan hanya mengerti ia mengetahui, tetapi ia mempunyai empati.
Jawabannya bisa 2 macam.

Ada orang yang migrasi ke California kemudian lupa bagaimana rasanya tinggal di Honduras yang kumuh, miskin, dan penuh dengan kriminalitas. Untuk membantu saudaranya dan masyarakatnya di tempat asal, kecil kemungkinan ia akan melepaskan kenyamanan hidupnya di California dan kemudian berkarya di Honduras. Kemungkinan paling besar adalah ia mengirimkan sejumlah uang dan hadiah kepada saudara-saudaranya. Apakah saudara-saudara kandungnya cukup bahagia dengan uang kiriman tersebut, dan apakah ia bisa membantu tetangga-tetangganya yang lain, itu akan segera dilupakannya karena yang penting baginya adalah ia tetap nyaman dan tetap bisa membantu. Tidak peduli apakah bantuannya bermanfaat maksimal atau tidak.


Akan tetapi ada juga orang yang tetap menjaga agar dirinya tidak terlena di lingkungan yang nyaman, ia akan tetap bisa "merasakan" betapa tidak enaknya lingkungan yang dulu pernah ia hadapi. Dan orang seperti ini akan berusaha memperbaiki lingkungan yang tidak nyaman tersebut, atau mengajak saudara-saudaranya atau orang-orang yang pernah dikenalnya ke lingkungan yang lebih nyaman.

Orang ini, walaupun tinggal di lingkungan yang enak, ia tidak terlena dengan melalaikan latihan fisik, ia tidak terlena bermewah-mewahan dan menjauhkan dirinya dari kesederhanaan hidup.
Ketika ia tinggal di California, tidak hanya mengirimkan uang dan hadiah ke Honduras, tetapi ia juga mengorbankan kenyamanan hidupnya dengan menabung dan kembali ke tanah kelahirannya untuk memperbaiki keadaan.
Orang ini, adalah orang yang bisa menjaga nuraninya; ia tidak melupakan jasa sang angin ketika ia sudah bisa terbang.


Dari uraian bahwa manusia hidup dalam range tertentu dan manusia pandai beradaptasi, akhirnya kita sampai pada pertanyaan terakhir dan inti dari tulisan ini:


Jika seseorang mengaku (sampai sekarang masih) peduli pada kemiskinan dan kebodohan, tetapi terus-terusan enggan menanggalkan baju mewahnya, apakah ia jujur dan bukan sedang berfantasi?



Wallahu'alam.


-ismail-

Thursday, May 20, 2010

Ideologi Parpol; Masihkah Relevan?

Memperbincangkan ideologi, untuk saya, selalu menarik. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa ideologi adalah kuno.

Definisi;
An ideology is a set of ideas that discusses one's goals, expectations, and actions.
A political ideology is a certain ethical set of ideals, principles, doctrines, myths, or symbols of a social movement, institution, class, and or large group that explains how society should work, and offers some political and cultural blueprint for a certain social order.

Hatta pernah menulis, bahwa demokrasi adalah tentang kedewasaan berpikir dan bertindak, bukan tentang kebebasan. Lebih lanjut, Hatta berpendapat bahwa politik adalah panggung untuk memperjuangkan ideologi yang diyakini dalam membangun sebuah masyarakat (society?).

Sedangkan yang sekarang terjadi adalah, sebagian besar parpol tidak jelas mengusung ideologi apa.
Parpol yang seharusnya menjadi salah satu pagar dalam menjaga nilai, malah menjadi sekedar mesin pengumpul suara, tanpa peduli lagi nilai-nilai seperti apa yang diusung dan kader partai seperti apa yang ingin dibentuk. Kabar tentang jupe dan maria eva akan dicalonkan menjadi pemimpin daerah adalah bukti atas hal ini.
Wajar jika ketika pemilu parpol lebih banyak bersuara tentang rakyat dan banyak yang "mengunjungi" rakyat, karena itulah yang efektif untuk mendulang suara. Dan ketika pemilu selesai, maka dimulailah episode sinetron dengan rakyat menjadi penonton atas tingkah polah para politisi berebut kuasa untuk diri mereka sendiri.

Partai berbasis massa memang cenderung mengedepankan image karena memang efektif untuk meraup suara. Seperti PNI dengan soekarno yang dicintai rakyatnya, dan yang paling baru adalah PD dengan SBY yang santun.
Sedangkan partai kader, cenderung mengedepankan ideologi. seperti Sutan Sjahrir dengan Partai Sosialis Indonesia (dengan beberapa tokoh PSI yang dikenal, seperti Subadio Sastrosastomo, Sutan Takdir Alisyahbana, Prof Sarbini Somawinata, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, dan Mochtar Lubis), dan mungkin sekarang bentuk partai kader ini sedang diperjuangkan oleh PKS. Partai kader mempunyai sistem nilai tertentu dan setiap orang yang ingin bergabung menjadi kader harus melewati tahapan rekrutmen. Di satu sisi partai kader ini sangat ideal, yaitu sebagai institusi penjaga nilai; akan tetapi, di sisi yang lain, kurang bisa menjadi mesin peraup suara.

Jadi, ketika kita komplain atas tindakan politisi atau parpol yang menurut kita "kurang berkenan", sebenarnya salah sasaran. Karena sejak awal memang sebagian besar parpol tidak memiliki sistem nilai. Mungkin kita saja yang sebenarnya naif, bahwa politik adalah tentang memperjuangkan nilai-nilai. Padahal mungkin mereka yang duduk dan berdiri disana hanya berpikir tentang kepentingan dirinya. Kejadian Bu SM, yang beberapa bulan sebelumnya dikatakan oleh SBY bahwa Bu SM adalah menteri favoritnya, "dipindah" ke WB, mengindikasikan hal ini.

Agak masuk akal jika kita komplain karena misalnya PDIP yang mendeklarasikan bahwa partainya adalah partai kerakyatan, ternyata lebih terlihat memperjuangkan kaum elit. Atau misalnya kita komplain atas kader PKS yang mendeklarasikan dirinya partai Islam, ternyata mempunyai masalah dengan perilaku kadernya.
Akan tetapi jika PD atau Golkar misalnya terkesan lebih peduli dengan kehidupan para penyandang dana kampanye mereka, apa yang akan kita komplain menjadi tidak relevan karena kita tidak jelas mengetahui bagaimana parpol tersebut "berpikir".

Menarik jika kita membaca tentang Amartya Sen yang mengusung ide corective justice. Memang faktanya tidak ada ideologi yang menjamin bahwa sistemnya akan benar-benar adil. Tetapi ide corective justice menurut saya tidak bertentangan dengan adanya ideologi.
Ideologi akan membuat seseorang atau institusi mempunyai pegangan, sehingga akan ada konsistensi dalam berpikir dan bertindak. Sedangkan corective justice, akan membuat seseorang atau institusi senantiasa mengoreksi dan memperbaiki ideologi yang mereka usung sehingga bisa cukup aplicable dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu masyarakat yang adil.

*just my two cents.

salam,

ismail

Wednesday, April 21, 2010

PEREMPUAN; ANTARA KELUARGA DAN VISI HIDUP

Seringkali kita mendapati bahwa ketika sebuah pasangan menikah, pihak perempuan (terpaksa) harus merelakan visi hidupnya, yaitu mimpi dan cita-cita hidupnya, demi bersama dengan sang suami. Ada yang menjadi ibu rumah tangga, dan ada pula yang meninggalkan pekerjaan yang disukainya dengan memasuki pekerjaan yang kurang disenanginya.

Pertanyaannya, apakah salah kalau perempuan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga? Tentu jawabannya tidak. Sebagai ibu rumah tangga, akan ada banyak sekali hal yang dikerjakan; mulai dari membangunkan anak, menyiapkan sarapan, membersihkan rumah dan perabot, membayar tagihan bulanan, belanja kebutuhan sehari-hari, memasak makan siang dan makan malam, mengatur pengeluaran, antar-jemput anak sekolah, dll. Hal in menunjukkan bahwa menjadi ibu rumah tangga yang baik pun perlu “pintar”, dalam artian butuh manajemen yang baik dan stamina yang bagus, apalagi jika harus mengajari anak-anaknya yang sudah SMP, karena ada kecenderungan mata pelajaran makin susah.

Terus apa tujuan dari tulisan ini?
Tulisan in berusaha menelaah tentang perempuan dalam peranannya sebagai ibu, perempuan sebagai manusia yang mempunyai mimpi dan cita-cita, dan perempuan sebagai makhluk sosial yang mempunyai tanggun jawab terhadap sesama.
Tentu karena saya belum menikah, akan ada error disana-sini, oleh karena itu saya meminta bantuan untuk memberikan pandangan kepada rekan-rekan di milis alumni Fisika Teknik ITB untuk membahas hal ini.
Tulisan ini merupakan kompilasi dari berbagai pandangan yang ada, dengan beberapa penambahan.
Saya sangat mempersilahkan jika akan mengkritik atau memberikan saran.

……………………………………………………………


INTRODUCTION

Kita semua pasti setuju bahwa selayaknya lah kita memuliakan perempuan, bukan hanya karena alasan kemanusiaan, akan tetapi karena kemampuan mereka dalam menyeimbangkan dunia yang penuh dengan persaingan dan perlombaan, dunia yang hanya mengenal pemenang atau pecundang, sebuah dunia “milik” laki-laki. Kehadiran perempuan akan membuat dunia ini menjadi penuh kasih sayang, penuh dengan kelembutan, dan dengan demikian akan menjadi indah.

Hanya saja, sangat disayangkan ketika ada seorang perempuan yang sangat berbakat dan mempunyai visi hidup yang bagus, tiba-tiba harus merelakan dirinya “mengalah” demi mengurus keluarganya. Seperti yang telah saya jelaskan di atas, mengurus keluarga bukan hal yang sepele. Sebagian orang mengatakan bahwa, sikap mengalah sang istri adalah wujud cintanya pada sang suami. Akan tetapi perempuan juga mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya terhadap masyarakat, terutama bagi mereka yang talented, sehingga harus direncanakan dan diatur betul agar perempuan bisa menyeimbangkan antara tuntutan keluarga, cita-cita hidupnya, dan keberadaannya di dalam masyarakat.

Sepertinya tidak masalah jika sejak awal, perempuan tersebut memang dengan senang hati dan merasa bisa melakukan banyak hal ketika menjadi ibu rumah tangga. Akan tetapi akan menjadi masalah manakala sang perempuan tersebut mempunyai keinginan yang kuat untuk berkarya. Stress karena merasa “kurang berguna” sangat berbahaya karena bisa mengakibatkan seseorang tidak memiliki gairah hidup.
Mari menelaah beberapa latar belakang yg menjadikan perempuan memiliki pola pikir “mengalah” seperti itu.

Pertama, harus diakui bahwa kita hidup di dalam masyarakat patriarki, masyarakat yg memiliki budaya yang melemparkan semua urusan domestik rumah tangga pada perempuan sehingga perempuan hanya punya sedikit waktu yang dicurahkan untuk meningkatkan daya pikir dan wawasannya sendiri. Sudah tentu perempuan yg sangat talented-pun sejak kecil sudah terpapar (ter-indoktrinasi) oleh stigma atau rules yg berlaku dimasyarakat tersebut. Pola pikir demikian sudah menghunjam hingga alam bawah sadar. Disamping itu, tekanan dan tudingan dari masyarakat sekitar akan lebih dulu diarahkan ke perempuan jika terjadi hal buruk pd keluarga, mis: sang anak tidak naik kelas. Jadi, mau tidak mau, suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, perempuan harus menghitung semua beban faktor tersebut dalam meniti karir.

Kedua, by nature perempuan sudah diberi insting lebih untuk mengasuh; yang memang berguna karena perempuan memiliki kodrat untuk hamil, melahirkan, dan menyusui. Proses tersebut dapat membuat kedekatan batin yang tak terbantahkan antara ibu dan anak, apalagi jika terdapat kesulitan (e.g: sakit) yang teramat sangat dalam proses kehamilan dan kelahiran menyebabkan ikatan tersebut makin kuat. Sehingga perempuan karir cenderung menghitung juga faktor social-personal (terutama anak) jika dibandingkan dg sisi finansial dan posisi. Jika dia melihat dan menimbang bahwa ada terlalu banyak sisi social-personal yg dikorbankan tetapi menurut dia tidak sesuai dg perolehan sisi-financial maka banyak yg memilih utk drop her career. Contohnya banyak perempuan karir yg tak ingin kehilangan "moment" atau masa tumbuh kembang anak saat masih balita; those moment will never come back again, they said.

Jadi, perempuan dalam masyarakat demikian sudah punya beban/tanggungan tak kasat mata di punggungnya. Mereka boleh berlaga tetapi dg membawa beban di punggung. Selalu di ingatkan:"hey your role is in domestic area". Slogan menjadi "ibu yang baik" lebih di dengung-dengunkan dibanding slogan menjadi "bapak yang baik". Slogan "istri shaleha" lebih diutamakan dibanding "suami shaleh". Jadi berbeda dengan pria, yang keberhasilannya di ukur di atas panggung, maka perempuan keberhasilannya diukur di belakang panggung.

Sekarang sudah tentu ada terjadi pergeseran nilai. Ada perempuan yang menganggap tugas domestik dan mengasuh/mendidik anak tidak seluruhnya adalah tugas perempuan (karena anak adalah hasil perbuatan berdua toh?). Ada pula yang menganggap perempuan punya hak yang sama untuk meningkatkan daya pikir dan wawasannya sendiri dan menuntut adanya "suami shaleha". Jika sang suami se-ide, maka berbahagialah dia, karena adanya pembagian tugas yg disepakati kedua belah pihak. Tentu tidak hanya berbagi tugas yg terlihat secara fisik, tetapi juga mau berbagi tugas beban "perasaan" di hati. Pada posisi tersebut maka perempuan merasa bahwa sang suami bisa mengimbangi keinginan dan ide-idenya.



VISI HIDUP INDIVIDU = VISI HIDUP BERSAMA

Bagaimana cara mensiasati jika sebuah pasangan ingin mencapai visi hidup dari keduanya?
Ketika sudah menikah, visi hidup seseorang tidak bisa lagi visi hidup masing-masing individu -- bisa-bisa malah berantakan dua-duanya kalau ternyata berseberangan. Bisa saja tetap ada visi hidup masing-masing invidividu, tapi visi hidup individu harus mendukung visi hidup bersama.

Sebelum ada janji pernikahan, misalnya saat pacaran, adalah saat tepat untuk membahas dan merencanakannya. Buat dulu rencana-rencana apa yang ingin dilakukan jika sudah menikah -- sang suami mau mengejar apa, sang istri mau mengejar apa, bagaimana dengan rencana memiliki anak, rencana pengeluaran, tanggung-jawab dalam mengelola keuangan, etc.; banyak-banyak lakukan simulasi 'what-if'. Tanpa ada diskusi sebelum nikah, yang akan terjadi adalah kekecewaan. Jika ternyata diskusi tidak mendapatkan titik temu, tidak apa-apa pacaran bubar. Lebih baik bubar saat pacaran daripada setelah pernikahan.

Sejak pengambilan keputusan itu, diharapkan tidak ada lagi keluhan-keluhan dari pasangan, walau kadang-kadang menyesal itu watak manusia -- kadang-kadang kita harus melewati masa buruk seperti grafik sinusoidal.

Kuncinya adalah bukan menyelesaikan apa yang sudah terjadi, tapi membuat rencana bersama. Setiap kali ada sebuah keputusan yang ingin diambil oleh salah satu pihak, sebaiknya diskusikan untuk bicara tentang keuntungan, resiko, dan juga concern yang ada. Memang terasa lebih bertele-tele, tapi itulah pernikahan; dua individu yang punya dua ego tapi harus selalu berjalan bersama-sama.



AKTUALISASI DIRI vs MENGURUS KELUARGA (ANAK)

Pertanyaan yang cukup berat untuk dijawab adalah bagaimana cara perempuan bisa mengaktualisasikan dirinya, mencapai mimpi dan cita-citanya, ketika dirinya juga merasa harus mencurahkan hati dan pikiran untuk keluarganya (terutama anaknya)?

Sejak punya anak, maka bagi sebagian besar perempuan, prioritas hidup berubah; sehingga tujuan hidup juga berubah total. Menjadi bagian penting dari perusahaan bukan lagi menjadi hal yang utama dan terasa membanggakan. Apalagi jika melihat si anak sangat butuh pendampingan yg intensif agar bisa tumbuh kembang dg "standar normal".

Proses untuk menata kembali hidup adalah dengan kembali melihat "apa dan mana" yang lebih penting, menata ulang seluruh cita-cita dan tujuan hidup ke depan, serta mempersiapkan ilmu dan mental untuk berubah haluan. Untuk sebuah visi hidup, terdapat jenis pekerjaan atau kegiatan yang bermacam-macam yang bisa dilakukan; tentunya diperlukan kerja ekstra keras untuk mendapatkan peluang.

Persiapan untuk merubah haluan tak bisa dalam sekejap, kadang butuh beberapa tahun untuk bisa ganti haluan, termasuk di dalamnya proses untuk pikir-pikir, persiapan, dan tengok-tengok kanan-kiri. Keputusan yang diambil bisa mendasarkan pada parameter bagaimana passion dari seseorang, prospek pengembangan diri ke depan, dan tentunya seberapa banyak waktu, pikiran, dan tenaga yang akan tersita.



JIKA VISI HIDUP KELUARGA YANG DIANUT ADALAH VISI HIDUP PEREMPUAN

Memberikan pendidikan atau istilah lain memberdayakan perempuan akan membuat perempuan mempunyai pilihan dalam hidupnya. Pada saat ini, konon, 50% dari working force di usa diisi oleh perempuan, tapi masih berada di level bawah, belum di inner circle.

Jika visi hidup yang dominan “dipakai” di keluarga adalah dari pihak lelaki, maka hal ini sepertinya sudah cukup umum di masyarakat kita, dimana kemudian pihak perempuan mengalah.
Nah, bagaimana jika visi hidup yang dianut adalah dari pihak perempuan?
Apakah perempuan siap menjadi nakhoda dalam suatu biduk rumah tangga, melayarkannya dengan speed yang sama dengan lelaki? Walaupun banyak perempuan yang secara teknis mampu melakukannya bahkan mungkin lebih mampu dari pasangannya, kemungkinan besar sebagian besar perempuan, apapun rasnya, belum siap dengan mentality ini.

Pada saat ini di berbagai perusahaan, posisi di middle management saja masih langka diisi oleh perempuan. Perempuan yang terjerumus disini akan menemukan dirinya agak kesepian, harus mencoba sedemikan rupa menyesuaikan dengan lelaki, apalagi bila sudah di inner circle, dan akan bertambah berat lagi kalau tidak disupport pula sama pasangannya.

Berikut ini cuplikan yang menarik dari kisah hidup margareth tatcher;

(Ini pidato beliau waktu suaminya meninggal) Thatcher paid tribute to him by saying, "Being Prime Minister is a lonely job. In a sense, it ought to be—you cannot lead from a crowd. But with Denis there I was never alone. What a man. What a husband. What a friend".

Now in her declining years, she began complaining about her "lost" family, (Mark in South Africa, Carol in Switzerland) , but her daughter was less than sympathetic; "A mother cannot reasonably expect her grown-up children to boomerang back, gushing cosiness and make up for lost time. Absentee Mum, then Gran in overdrive is not an equation that balances.


Memang uraiannya cukup panjang, akan tetapi pesannya sederhana: jika engkau ingin agar engkau dan pasanganmu sukses bersama-sama, kejar mimpimu, dan cari pasangan yang juga berjalan kearah mimpi yang sama.


Didiklah perempuan kalau kita ingin memajukan suatu bangsa [unknown].


Selamat Hari Kartini, 21 April 2010


Thanks to: Bu KD, Mas AA, Bu Esthi, Uni Riza, Bu Fanny, Bu EB, Cak Datuk, dan rekan-rekan lainnya di milis alumni Fisika Teknik yang telah memberikan pandangannya.

Monday, April 19, 2010

Penciptaan,,,

Suatu ketika, Allah menciptakan seorang manusia. Diciptakan-Nya manusia tersebut dengan kondisi fisik yang sempurna. Kemudian, diberi oleh-Nya rencana hidup hidup yaitu kapan lahir, siapa orang tuanya, anak ke berapa, bagaimana rejekinya, kapan meninggal, dsb; serta diberi-Nya pula bekal untuk mengarungi hidup di dunia, yaitu apa saja bakat yang dimilikinya, apa saja sifatnya, bagaimana tingkat kecerdasannya, dan semacamnya. Kemudian, terjadilah percakapan antara Tuhan dan manusia tersebut.


Manusia (M) : Ya Allah, sebentar lagi aku akan dilahirkan ke dunia, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada-Mu, Ya Allah.


Allah : Silahkan.


M: Untuk apa aku diturunkan ke dunia, Ya Allah?


Allah: Tugasmu di dunia adalah untuk menjadi khalifah. Menjadi seorang pemimpin. Yaitu pemimpin dalam bermanfaat bagi sesama.


M: Aku dengar bahwa dunia bisa memberiku banyak hal, seperti kemewahan, kekuasaan, dan kesenangan. Apakah aku akan bisa mendapatkan hal tersebut, Ya Allah?


A: Tentu saja engkau bisa mendapatkan hal itu. Hanya saja, segala kesenangan hanya akan membuatmu terlupa dengan tugas utamamu, yaitu untuk bermanfaat bagi sesama.


M: Aku mengerti, Ya Allah. Aku dengar bahwa dunia sangat kejam. Ada manusia yang membunuh sesamanya, ada manusia yang mencuri dari sesama. Tampaknya manusia seringkali hanya memikirkan dirinya sendiri, tanpa peduli ia menerjang apa, atau ia menendang siapa. Rasanya, tugas yang Engkau berikan berat sekali, Ya Allah. Aku tidak yakin bagaimana akan bisa melakukannya.


Allah: Tentu Aku memberimu fasilitas khusus dan perbekalan untukmu agar bisa melakukan tugasmu. Fasilitas yang aku berikan adalah orang tua yang bisa memberimu kasih sayang dan mendidikmu menjadi manusia dewasa, aku memberimu jalan hidup yang memungkinkanmu mendaki sampai puncak kejayaan hidupmu, dan aku memberimu lingkungan masyarakat dan teman-teman yang akan memberimu pelajaran dan mendewasakanmu.


M: Dan perbekalannya?


Allah: Aku memberimu perbekalan berupa bakat, kepandaian, dan karakter yang akan memberimu cukup kekuatan untuk mengarungi dunia.


M: Aku mengerti, Ya Allah. Akan tetapi, mengapa aku melihat ada calon manusia yang lain diberi fasilitas dan perbekalan yang berbeda?


Allah: Karena mereka mempunyai tugas yang berbeda. Secara umum tugas manusia adalah sama, tetapi secara khusus berbeda-beda karena tidak ada manusia yang bisa melakukan segalanya. Aku memberi manusia fasilitas dan perbekalan yang sesuai dengan tugasnya, sesuai dengan tanggung jawabnya.


M: Aku mempunyai fasilitas dan perbekalan yang lebih baik dibanding yang lain. Apakah artinya aku mempunyai tanggung jawab yang lebih besar, Ya Allah?


Allah: Iya. Dan jangalah engkau bersedih hati jika nanti hidupmu terasa berat. Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan yang menantimu, dan tentu saja ada hadiah yang besar jika engkau bersabar dan ikhlas.


M: Aku telah mengerti, Ya Allah.


Allah: Ingat satu hal. Lakukan semuanya dengan ikhlas; hanya karena mengharap ridho-Ku. Maka engkau akan bahagia.



Dan kemudian, (calon) manusia tersebut lahir. Mulai ia belajar mengenal dunia, mengenal arti hidup, dan mulailah ia mengisi hidup. Tiada yang lebih baik bagi manusia, selain mereka yang bisa memberi manfaat bagi orang lain.



“Life is never easy for those who dream.”

~ Robert James Waller (American author; also known as a writer, photographer and musician)

Tuesday, March 30, 2010

Pasangan Hidup; Antara Logika dan Perasaan

Akhir-akhir ini, tema yang sedang saya dalami adalah tentang bagaimana menentukan atau lebih tepatnya menemukan pasangan hidup. Judul sementara yang bisa saya temukan adalah 'Pasangan Hidup; Antara Logika dan Perasaan". Tentu yang pas di mata dan pas di hati.

Nah, definisinya panjang, oleh karena itu sekarang sedang saya kembangkan kerangka pikirnya. Clue-nya adalah bagaimana memilih calon pasangan, bukan hanya soal hati & perasaan, tapi juga ditinjau dari karakter, intelektualitas, dan pemikiran yang secara sederhana tergambar dalam misi dan visi hidup.

Sekarang sedang didiskusikan, dipikirkan, dan (mencoba) dituliskan. Dalam waktu dekat (insyaAllah) akan segera saya publish.

Best Regards,,,

Monday, December 01, 2008

in my life..

in my life.mp3 -

There are places I'll remember

All my life though some have changed
Some forever not for better
Some have gone and some remain
All these places had their moments
With lovers and friends I still can recall
Some are dead and some are living
In my life I've loved them all

But of all these friends and lovers
There is no one compares with you
And these memories lose their meaning
When I think of love as something new
Though I know I'll never ever lose affection
For people and things that went before
I know I'll often stop and think about them
In my life I love you more

Though I know I'll never lose affection
For people and things that went before
I know I'll often stop and think about them
In my life I love you more
In my life I love you more

-Beatles-

Tuesday, October 28, 2008

IND ONE SIA

teringat dengan salah satu pameran anak2 SR di CC ITB kira2 satu setengah tahun yang lalu...
ada yang buat tulisan seperti ini:


Wednesday, September 10, 2008

Jangan Berjanji,,



....


Jangan berjanji kalau merasa tidak akan pernah bisa menepati.


...




... :: Jakarta, 09 Sept 2008

Friday, August 22, 2008

Neocortical Warfare: Operasi Cuci Otak

Sudah lama pengen nulis tentang artikel ini, tapi belum sempat karena ada dua kendala, yaitu bahan2 yang ada di otak saya masih berantakan (belum terstruktur) dan juga referensi yang mendukung pemikiran saya belum ketemu.
Saya menemukan artikel ini di gatra.com
dan kebetulan hampir sama persis dengan apa yang saya pikirkan, kemudian saya copy-paste aja ke blog ini.
Kebetulan sang penulis artikel ini,
Budiono Kartohadiprodjo, adalah salah satu guru saya, maka tidak heran kalau tulisan beliau hampir sama dengan apa yang saya pikirkan.

Selamat membaca!


____________________________


Merdeka atau mati! Sejarah Indonesia mencatat, semboyan itu bukanlah omong kosong. Ia pernah muncul sebagai kesadaran kolektif yang menimbulkan kekuatan yang dahsyat. Semboyan itu lahir dari nasionalisme yang telah mengkristal sebagai persepsi umum. Nasionalisme mengobarkan perlawanan yang amat fanatik oleh mereka yang terjajah terhadap penjajah. Semangat itu pula yang melahirkan bangsa Indonesia.

Pergerakan kebangsaan Indonesia memperoleh momentum pada akhir Perang Pasifik. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pun berkumandang pada 17 Agustus 1945. Keyakinan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa tak bisa ditawar-tawar lagi. Ia tak bisa pula diintimidasi oleh kekuatan bersenjata seberapa pun besarnya. Kekuatan senjata tak efektif lagi untuk pembenaran sebuah bangsa berhak memperlakukan bangsa lain sebagai jongos dan babu.

Maka, ketika dianggap hendak merampas kemerdekaan yang telah diraih, kekuatan Inggris dan Belanda menghadapi perlawanan sengit bangsa Indonesia. Bangsa-bangsa Barat mencatat pengalaman pahit ketika vis a vis harus menghadapi semangat nasionalisme ini. Di luar Belanda, Amerika Serikat dan Prancis punya kenangan buruk di Vietnam. Rusia mencatat sejarah kelam di Afghanistan.

Tatanan dunia memang telah banyak berubah sejak 63 tahun silam, ketika bangsa ini lahir. Globalisasi yang menafikan batas-batas wilayah negara kini menjadi mantra baru. Muncul paham baru bahwa peran negara harus ditarik ke belakang, dan biarkan korporasi multinasional mengelola hubungan kepentingan bangsa. Kedaulatan negara, nasionalisme, dan kebangsaan dianggap urusan jadul, jaman dulu, yang tidak relevan.

Kita sering tersihir oleh mantra globalisasi itu, seraya melupakan nasionalisme. Kenyataan bahwa terjadi proses pemiskinan negara-negara tertentu di tengah globalisasi cukup dijelaskan bahwa itu hanya lantaran mismanajemen pembangunan. Kita menafikan pula bahwa agenda korporasi multinasional dan badan-badan dunia itu bekerja sejalan dengan kepentingan negara maju, yang sesungguhnya tidak terlalu peduli terhadap kesenjangan global dan eksploitasi bumi.

Dalam konteks inilah nasionalisme Indonesia bisa dianggap sebagai gangguan. Apa yang terjadi jika RI mengatur lalu lintas 50.000 kapal kargo dan tanker yang melintas Selat Malaka per tahun. Lalu lalang tanker di perairan ini mengangkut 10,5 juta barel minyak per hari. Sulit dibayangkan tragedi yang akan menimpa bila tanker satu juta barel bertabrakan di selat yang padat itu. Kalau saja Indonesia ini negara kuat, dengan rakyatnya yang teguh memegang nasionalisme, bisa kita paksa tanker-tanker raksasa itu melewati Selat Lombok atau Selat Sunda. Selain menghasilkan keuntungan, ini menekan risiko lingkungan.

Tindakan sepihak itu tentu akan menghadapi perlawanan korporasi multinasional dan negara-negara yang ada di belakang mereka. Di tempat lain (baca: negara maju), nasionalisme tetap dijaga untuk mengamankan kepentingan mereka sendiri. Pemuda-pemuda Amerika terus dibangkitkan nasionalismenya agar bersedia menjadi serdadu yang ditempatkan di Jepang, Korea, Timur Tengah, atau Afghanistan. Bagi mereka, yang tidak boleh adalah nasionalisme di tempat lain. Bagi mereka, ancaman perang tak akan pernah berakhir.

Kekuatan militer Amerika Serikat adalah perangkat keras untuk menjaga kepentingan mereka, selain untuk mengintimidasi nasionalisme orang lain yang mengusik kepentingan mereka. Tapi itu senjata pamungkas. Yang didahulukan ialah melumpuhkan nasionalisme dan semangat persatuan-kesatuan di tempat orang lain.

Dengan pengalamannya di pelbagai kawasan, mereka tahu, daripada mereka menekan nasionalisme dengan senjata yang perlu ongkos besar, mengapa tak melakukan operasi cuci otak saja yang lebih murah.

***

Menurut evolusinya, otak itu tersegmentasi dalam tiga organ: bagian batang atau otak reptilia (primitif), sistem limbic (otak mamalia), dan neokorteks. Hasil evolusi pertama adalah otak reptil yang terkait insting hidup, bernapas, mencari makan, dan dorongan untuk reproduksi. Manusia memiliki bagian otak reptil, yang menyumbang daya kecerdasan paling rendah.

Di sekeliling otak reptil terdapat sistem limbic, yang membungkus batang otak seperti kerah baju. Bagian ini sering disebut paleo mamalian. Otak ini berkaitan dengan perasaan atau emosi, memori, bioritmik, dan sistem kekebalan. Sistem limbic memungkinkan untuk merekam suatu kejadian yang menyenangkan.

Sistem limbic memberikan kontribusi yang mendasar terhadap proses belajar, yaitu meneruskan informasi ke dalam memori. Ia juga terkait dengan peran thalamus dan hypothalamus yang berperan dalam mengatur suhu tubuh, keseimbangan kimia, debar jantung, tekanan darah, dan dorongan seks. Segmen ini pula yang mengontrol marah, senang, lapar, haus, kenyang, misalnya, selain terlibat dalam bekerjanya sistem ingatan. Terkait dengan perilaku makhluk hidup, peran sistem imbic besar dalam pengendalian emosi.

Bagian ketiga adalah neokorteks atau otak neomamalian. Organ ini terbungkus di bagian atas dan kedua sistem limbic. Dia memberi kita kemampuan belajar, bicara, kreativitas, memahami angka, memecahkan masalah, dan dapat menentukan perilaku dalam berhubungan dengan lingkungan alam dan sosialnya. Karena itu, ia juga disebut the thinking cap atau otak rasional, sekaligus menjadi bagian terluar yang menutupi sistem limbic. Neokorteks yang meliputi 80% dari seluruh volume otak memberikan kemampuan berpikir, berpersepsi, berbicara, berperilaku, dan sebagainya.

Di era globalisasi ini, terus dikembangkan teknik-teknik baru untuk mengendalikan persepsi dan perilaku atas kelompok sasaran. Targetnya, mengontrol perilaku mereka sesuai dengan yang diprogram, dengan mengubah secara perlahan persepsinya. Karena areal target otak, maka senjatanya adalah pesan-pesan rasional dalam bentuk verbal (suara), visual (gambar), dan tulisan (teks). Pesan-pesan itu menjadi senjata penaklukan. Itu perang yang disebut neocortical warfare (perang neokortikal) atau perang tanpo bolo (tanpa tentara).

Dalam konteks ini, pesan-pesan tadi harus terartikulasikan dan dikemas sebagai sebuah pengetahuan yang rasional, kritis, akademis, selain juga seksi bagi pers, bahkan terkesan heroik: membela lingkungan atau HAM. Aktor yang dipilih bisa para cendekiawan, aktivis, tokoh karismatis, tapi yang tak bisa dilupakan, para praktisi media pula. Dengan strategi perang neokortikal, kepentingan sebuah negara bisa masuk tanpa harus dikawal tank atau pesawat tempur.

Dalam konteks globalisasi, boleh jadi, yang terpilih sebagai target salah satunya adalah Pancasila. Nilai-nilai yang berasaskan kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah-mufakat harus didekonstruksi, lalu ditempatkan sebagai hal yang irasional. Yang rasional ialah kompetisi individu, debat, dan voting. Masalah hak individu pun dibenturkan dengan hak kolektif. BUMN harus diidentifikasikan dengan KKN, tidak efisien.

Pokoknya, harus terjadi kontroversi, hal yang membuat bangsa ini cerai-berai dan loyo. Ujung-ujungnya, rasa kebangsaan melemah dan kecintaan pada tanah air berubah menjadi kecintaan atas materi serta aset. Itukah cita-cita bangsa ini? Kalau itu yang dikehendaki, harus diakui, kita telah memasuki area cortical warfare.

***

Pengalaman kegagalan Belanda dan Inggris di Indonesia (1945-1949) boleh jadi juga memberi referensi sejarah cortical warfare. Awalnya, Inggris yang datang dengan misi melucuti Jepang dan mengevakuasi interniran orang Eropa itu membiarkan NICA dan KNIL memboncenginya ketika mendarat di kota-kota besar Indonesia. Sikapnya berubah setelah pasukannya mendapat perlawanan keras, terutama di Surabaya. Divisi Mansergh berhasil menguasai kota itu, tapi menghadapi perlawanan dan pengorbanan yang luar biasa dari arek-arek Surabaya itu, November 1945.

David Wehl, perwira staf yang diperbantukan pada Divisi Mansergh, menuliskan laporan kepada atasannya dengan rasa miris: “Sekiranya pertempuran seperti ini berlangsung di seluruh Jawa, baik Republik Indonesia atau Hindia Timur akan tenggelam dalam lautan darah.” Wehl mengakui adanya gelegak nasionalisme rakyat yang begitu kuat. Maka, Inggris mendorong Belanda menyelesaikan urusannya secara diplomatik. Boleh jadi, pengalaman buruk di Indonesia itu ikut mendorong Inggris memerdekaan India dan Pakistan (1947) secara damai.

Mematahkan semangat juang yang tertanam di otak memang tidak bisa dilakukan dengan tank dan rudal. Bahwa negara-negara maju tetap perlu memegang hegemoni. Itu bisa dilakukan melalui keunggulan teknologi, politik, dan kebudayaannya. Penaklukan akan lebih elegan. Yang diperlukan adalah bagaimana hegemoni itu bisa ditancapkan tanpa perlawanan. Di situlah peran cortical warfare.

Target-target hegemoni itu sendiri umumnya empat sektor. Yang pertama adalah sektor perbankan, yang menguasai arus uang --serupa dengan peran aliran darah pada manusia. Kedua, sektor komunikasi dan media yang serupa dengan impuls listrik pada saraf manusia. Tak terlihat tapi menentukan perilaku kelompok target. Yang ketiga, penguasaan sektor infrastruktur, utamanya energi --otot penggerak pada tubuh manusia. Keempat, sektor retail bahan pokok hajat kehidupan orang banyak, utamanya bahan kebutuhan pokok makanan. Bila keempat sektor ini terkuasai, maka terkuasai pulalah kedaulatan suatu bangsa oleh bangsa lain, tanpa letusan senjata dan tanpa kerusakan fisik.

Untuk membentengi dampak perang neokortikal itu, agaknya bidang keilmuan psikologi dan komunikasi massa bisa menjadi salah satu tumpuan, setelah diintegrasikan dalam pusat kesenjataan maya pada tingkat nasional. Tapi, di luar itu, kita mesti lebih tegas mengartikulasikan prinsip-prinsip kehidupan kita dalam bernegara.

Budiono Kartohadiprodjo
Pengamat geopolitik

Monday, July 28, 2008

Hobi Baru : Fotografi


haha.. udah lama bgt gw sebenernya pengen nulis ini..

Sejak beberapa bulan lalu gw dijangkiti hobi fotografi.
Awalnya karena ad temen gw bawa Canon 30D ke nikahan temen gw, eh gw jadi deh jatuh cinta ma fotografi.
Lagi pengen beli kamera, nikon D60 sadja lah, yang terjangkau.
Ntar kalo ad rejeki pengen punya lensa tele Nikon AF-S VR 70-200mm f/2.8G IF ED (19 jeti boo...) soalnya interest gw adalah candid photography, intinya memfoto ekspresi orang gitu.. jadinya butuh lensa tele biar gw bisa lancar curi2 foto..heuheu..

Salah satu hasilnya adalah ini (*pake kamera pinjeman) :



Jadi, si cewe ini biasanya selalu senyam-senyum ma semua orang, ramah pisan lah pokoknya, tapi di suatu ketika tiba2 dia jadi galak betul..
(piss ya bu...) hewhew...